Sabtu, 09 Februari 2013

Politik dan Diskriminasi Gender


Politik dan Diskriminasi Gender
Supadiyanto  ;   Dosen Jurusan KPI Fakultas Dakwah UIN Yogyakarta,
Mahasiswa Program Pascasarjana Undip Semarang
SUARA KARYA, 09 Februari 2013


Salah satu isu yang paling sensitif diperbincangkan di ranah publik adalah persoalan gender. Mengingat kaitannya dengan persamaan dan keadilan distribusi hak dan kewajiban antara kaum lelaki dan kaum wanita dalam konteks berbagai sisi kehidupan, penulis sengaja tidak menyebut kaum wanita di atas sebagai kaum perempuan. Sebab, idiom perempuan cenderung berkonotasi negatif, yakni merendahkan kedudukannya.

Berhubungan dengan dunia politik, tentu saja sangat menarik jika disinggungkan dengan persoalan gender. Karena, di samping masih sangat sedikit wanita yang terjun menjadi politikus; juga akibat stigmatisasi publik (common sense) yang menempatkan kaum wanita sebagai pihak yang lemah, tak berdaya dan tidak memiliki kekuatan penuh dalam domain kekuasaan. Sehebat-hebatnya kaum wanita, sepintar-pintarnya mereka; ketika mereka sudah berkeluarga, harus tunduk dan hormat pada suami. Memang itulah idealnya seorang wanita, ia bisa ber-partner dengan baik dalam lingkungan keluarga maupun ketika berada di area publik. Wilayah domestik dan area publik, menempatkan wanita harus pandai-pandai dalam menyesuaikan diri (beradaptasi).

Bersandarkan data yang dimiliki Sekretriat Jenderal DPR RI (2009), jumlah anggota DPR RI tahun 1999-2004 yang berjenis kelamin wanita hanya berjumlah 46 orang. Padahal, total anggota DPR RI pada masa itu mencapai 500 orang. Artinya, representasi kaum wanitanya hanya 9 persen saja.

Jumlah di atas kemudian mengalami kenaikan pada masa pemerintahan tahun 2004-2009, di mana jumlah anggota DPR RI yang berjenis kelamin wanita sebanyak 61 orang (dari total anggota DPR RI adalah 550 orang). Memang ada peningkatan persentase sebanyak 2,09 persen jika dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya.

Sedangkan jumlah senator perempuan pada masa pemerintahan SBY-Boediono (2009-2014) sekarang ini adalah sebanyak 98 orang atau setara 17,66 persen (total 560 orang).
Memang dari tahun ke tahun, komposisi jumlah senator perempuan yang berkantor di Gedung Senayan Jakarta bertambah besar. Akan tetapi, hal tersebut belum menunjukkan adanya kesadaran kolegial untuk menghilangkan stereotip terhadap eksistensi wanita yang dipandang lemah dan tak layak dengan dunia politik.

Di zaman penjajahan, apalagi dalam kultur Jawa; posisi wanita memang selalu dinomorduakan. Dalam adat pernikahan saja, mempelai wanita harus didudukkan pada posisi sebelah kiri mempelai pria. Hanya putri raja saja yang boleh duduk di sebelah kanan, ketika ia melangsungkan pernikahannya.
Mitra

Politisasi gender semacam inilah yang kemudian secara menahun memperlemah kedudukan wanita. Padahal, secara fitrah, jiwa dan raga antara lelaki dan wanita memiliki proporsi yang sama. Hanya jenis kelaminnya saja yang membedakan. Artinya, tidaklah adil, ketika dalam pengimplementasiannya posisi lelaki selalu nomor satu atas eksistensi wanita. Lelaki tidak boleh menindas wanita. Keduanya harus ber-partner dan bermitra. Masing-masing memiliki kedudukan yang sama, egaliter dan sejajar.

Kepemimpinan wanita yang dahulu berkali-kali dipermasalahkan, di masa sekarang ini sudah tidak relevan lagi diperbincangkan. Kesadaran kaum wanita untuk menuntut persamaan hak di negeri ini telah mendapatkan tempatnya seiring dengan lahirnya organisasi-organisasi wanita.

Seperti Aisyiyah di lingkungan Muhammadiyah, Dharma Wanita, PKK di area sosial kemasyarakatan dan bahkan dalam organisasi politik pun, sejak era reformasi ini; kaum wanita sudah mendapatkan proporsi hak yang sama untuk menjadi pejabat eksekutif, yudikatif dan legislatif. Kesuksesan Megawati Soekarnoputri menjadi wakil presiden, yang kemudian menggantikan Gus Dur manjadi presiden; adalah puncak prestasi wanita modern di Indonesia.

Pemasungan hak-hak politik wanita untuk tampil di wilayah publik, termasuk dalam dunia politik yang penuh dengan pergulatan fisik, intelektual dan psikologis; hanya akan melahirkan budaya patriarkisme yang otoriteristik dan menindas. Apalagi, dalam sistem kenegaraan Indonesia yang mayoritas jumlah penduduknya lebih banyak kaum wanita. Pemberdayaan kaum wanita dan mendorong para wanita aktif dan masuk dalam dunia politik adalah langkah yang pantas dikembangkan dalam khasanah pembangunan nasional.

Jadi, kaum wanita modern di Indonesia akan memiliki multitalenta. Pertama, mereka akan lihai dalam mengelola kehidupan rumah tangga; khususnya dalam mendidik anak-anak dan bermitra dengan suami. Kedua, mereka akan memiliki aktivitas kerja di luar rumah yang semakin memaksimalkan perannya dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa.

Hal itu bukan berarti mengeksploitasi dan menuntut wanita untuk bekerja selama 24 jam mengurusi wilayah domestik berkenaan dengan kehidupan rumah tangga dan mengurusi soal publik (dunia politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain). Tetapi, dengan pembukaan kran keadilan dalam berpolitik tersebut, memberikan kesempatan (kans) yang sama kepada kaum wanita dan pria untuk saling memahami hak dan kewajiban mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar