Sabtu, 09 Februari 2013

Mewujudkan Pers Bermartabat


Mewujudkan Pers Bermartabat
Aunillah Reza Pratama  ;   Anggota Dewan Isyrafi Yasalma, Yogyakarta
SUARA KARYA, 09 Februari 2013


Mental insan pers Indonesia mulai tampak secara terang-terangan pasca keruntuhan rezim Orde Baru. Di masa rezim Orde Baru, pers begitu terbelenggu dan benar-benar terikat oleh rezim pemerintahan. Soeharto sebagai orang nomor satu di Indonesia pada masa Orde Baru, berlaku sangat represif terhadap pers. Bahkan, jika ada insan pers yang berani sedikit menyinggung pamerintahan, khususnya diri pribadi dan keluarga presiden, tidak segan pers tersebut masuk dalam daftar blacklist yang akan ditindaklanjuti secara tiranik.

Reformasi 1998 membawa babak baru bagi pers di Indonesia. Sebagaimana sebuah negara yang mengaplikasikan demokrasi, kebebasan pers menjadi salah satu simbolnya. Pers lebih bebas menyajikan berita dan kabar tentang berbagai hal dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kebebasan pers pun menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pasca reformasi.

Agenda kebebasan pers tersebut, di satu sisi sangat membantu masyarakat sehingga masyarakat mampu mengikuti berbagai kabar yang berkembang. Masyarakat dengan mudah mampu mengetahui berbagai hal yang telah disuguhkan oleh pers sehingga berita sangat mudah diketahui oleh masyarakat luas. Namun demikian, kebebasan pers di sisi lain juga tetap dianggap berbahaya, khususnya apabila berita yang disuguhkan tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan-kepentingan politik, kapitalisme, dan kejahatan-kejahatan pers lainnya.

Pers yang sekarang ini menjadi sebuah kekuatan besar, tidak lepas dari berkembangnya demokrasi yang mengiringinya. Kebangkitan pers yang melahirkan kebebasan pers, telah membuat dunia baru dalam ranah sosial, politik, hukum, dan bisnis. Kekuatan pers yang tak terbendung tersebut menjadi kekuatan maha dahsyat yang nyaris tanpa kendali, terkecuali pada modal.

Dalam dunia pers atau jurnalistik, tentunya juga terdapat berbagai kode etik untuk mengendalikan pers atau jurnalistik tersebut. Memang aneh, jika pers itu harus dikendalikan, namun demikian jika pers tidak dikendalikan oleh kode etik, maka pers bisa dipastikan akan disalahgunakan sehingga banyak menimbulkan dampak negatif, bahkan mencemari nilai-nilai demokrasi. Oleh karenanya, rambu-rambu jurnalistik mutlak harus diperhatikan. Selain rambu-rambu yang sifatnya etika profesi dan hukum (berbagai undang-undang), media massa atau pers di Indonesia terikat pada norma masyarakat dan hati nurani. (Sirikit Syah, 2011).

Pro-Aktif

Pers yang bermartabat adalah pers yang dijalankan dengan berbagai kode etiknya sehingga mampu memberikan hasil yang positif bagi perkembangan demokrasi dan sosial masyarakat. Pers yang baik dalam sebuah negara demokrasi adalah pers yang turut andil secara pro-aktif menyuarakan keadilan, kebenaran, dan kejujuran.

Kekuatan pers tidak boleh disalahgunakan hanya untuk kepentingan-kepentingan politik dan pelaku-pelaku kapitalisme, melainkan harus menjadi kontrol sosial dan sumber berita serta ilmu pengetahuan bagi masyarakat. Dengan demikian, kode etik dalam dunia jurnalistik benar-benar penting dan harus diperhatikan secara serius.
Insan pers atau jurnalis (wartawan) harus memerhatikan kode etik yang diberlakukan organisasinya. Seorang jurnalis yang menjadi pemegang kontrol kekuatan pers, menjadi tokoh utama dalam menyajikan berita. Berita yang telah sampai ke tangan masyarakat luas tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dan mampu memberikan pengaruh terhadap wawasan, bahkan ideologi masyarakat. Oleh karenanya, salah-salah dalam memberitakan suatu kejadian, masyarakat bisa sangat mudah bisa terprovokasi oleh pers.

Memang, provokasi pers secara persuasif itulah sejatinya wujud dari kekuatan pers. Masyarakat yang mengkonsumsi pers bisa mengklaim buruk seorang tokoh jika tokoh tersebut dicitrakan buruk oleh pers. Sebaliknya, masyarakat akan menganggap seorang tokoh itu sebagai pahlawan yang hebat jika tokoh tersebut dicitrakan baik dalam pemberitaan pers.

Lebih dari itu, pers juga bisa mengendalikan alur pikiran masyarakat konsumennya. Di dalam media massa, baik cetak maupun elektronik, di samping menyajikan berita yang aktual dan ilmu pengetahuan, juga disuguhkan berbagai berita bisnis, life-style, dan berbagai iklan serta promosi. Oleh karenanya, melalui media massa tersebut, masyarakat tanpa sadar juga dirangsang dengan gaya hidup hedonisme dan konsumerisme. Pada gilirannya, jurnalis adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam berbagai hal tersebut.

Posisi pers yang memiliki kekuatan besar tersebut hendaknya digunakan sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya. Posisi pers terkadang bisa menjadikan pihak oposisi dari pemerintah ketika pemerintahan hanya membagi-bagi kue kekuasaan sementara kepentingan rakyat terabaikan. Namun demikian, pers juga harus berposisi sebagai pendukung pemerintah ketika mendapati kebijakan yang diterapkan baik dan relevan dengan nilai-nilai demokrasi.

Tidak selayaknya jika kekuatan besar pers tersebut disalahgunakan oleh para jurnalis (insan pers) sendiri atau bahkan para politisi untuk memengaruhi ideologi masyarakat. Dengan kode etik jurnalistik yang berlaku, pers bisa dikendalikan (dalam arti tidak disalahgunakan), serta bisa menjadi pers yang bermartabat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar