Sabtu, 09 Februari 2013

Narkoba Ancam Generasi Muda


Narkoba Ancam Generasi Muda
Siti Marwiyah  ;   Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya
SUARA KARYA, 08 Februari 2013


Apa yang menimpa artis Raffi Ahmad dan kawan-kawannya merupakan sejarah yang tidak perlu berlanjut di kemudian hari. Masalahnya, mampukah generasi muda membebaskan dari jerat penyalahgunaan narkoba?

Kenapa produsen atau pebisnis narkoba itu layak mendapatkan vonis hukuman mati, bukan duapuluh tahun penjara atau seumur hidup? Karena distributor itu neodehumanis atau sosok manusia yang sangat keji, yang segala momentum bisa digunakannya sebagai 'pasar liberal' dalam memperdagangkan zat-zat pembunuh secara berkelanjutan.
Satu lapis generasi bisa digunakan oleh produsen atau distributor untuk menjadi pelapis generasi berikutnya. Generasi berikut ini pun dijadikan jembatan untuk membuka dan memperluas pasar, memasuki lorong-lorong kelas elit hingga kelas akar rumput (the grass root), dari kelas borjuis hingga buruh, dari kelas gedongan hingga abangan dan pinggir jalan.

Produsen atau pebisnis sudah terlatih bukan sebatas jadi pemasok, pedagang atau pengedar, tetapi juga membuka pasar seluas-luasnya. Produsen atau pebisnis pun bukan semata terlatih untuk membunuh. Tetapi, merumuskan strategi apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata untuk mengalahkan dan mengamputasi siapa pun yang bermaksud menghancurkannya. Produsen atau pebisnis berkemampuan intelektual memadai untuk membaca para pejuang kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan, termasuk pejuang HAM.

Kampanye lain bertemakan HAM paling sering mengedepan adalah berelasi dengan terpidana narkoba, bahwa sudah tidak zamannya lagi hukuman mati digunakan sebagai pilihan untuk mengakhiri hak hidup (right for live) seseorang yang sedang bersalah ini. Ia wajib diberi kesempatan untuk melanjutkan kehidupannya, supaya bisa kembali menempuh jalan yang lurus, benar, dan menghormati hak orang lain.

Kalau hak hidupnya diakhiri atau dikartumatikan di tiang gantungan, di mesiu regu tembak, disengat oleh kursi listrik, atau lainnya, bagaimana mungkin dirinya punya peluang untuk membuktikan, bahwa ada saatnya orang itu khilaf dan salah, dan pada saat lain jadi pembela kebenaran dan pelindungan keberlanjutan hidup orang lain.

Model kampanye tersebut boleh jadi di kemudian hari akan terus berkembang seiring dengan modus jaringan yang dikonstruksi oleh produsen dan pebisnis narkoba. Mereka menjadi pemegang kunci di lapangan, baik regional, nasional maupun internasional.
Antara produsen dengan pebisnis narkoba terbukti sudah jadi jaringan mafia. Para produsen, misalnya, memang telah menjadi akar utama maraknya jenis-jenis narkoba di tengah masyarakat, akan tetapi produsen ini tidak akan bisa terus menerus mampu melanjutkan produksinya, manakala pebisnis tidak mau dan tidak mampu mengepakkan sayap-sayap pengedarannya.

Jika sayap-sayap pengedaran mampu dijaga keberlanjutan dan kemapanannya, maka ini berarti pembantaian manusia atas manusia akan terus mengisi agenda sejarah kekejaman manusia (distributor) atas manusia lainnya. Jagat kehidupan yang dijamin oleh instrumen HAM internasional, agama, maupun hukum positif di lini hak kesehatan, keselamatan, dan keberlanjutan hidup, berlanjut terkoyak mengerikan.

Pertama, akselerasi pebisnis semakin berani memasuki wilayah tertentu. Sebut, misalnya, distribusi narkoba bukan hanya beredar di tengah masyarakat luas (terbuka), tetapi juga di lingkaran eksklusif seperti di lingkungan lembaga pemasyarakatan (LP) dan komunitas selebriti, termasuk rumah.

LP yang semestinya menjadi lembaga rehabilitas moral atau kawah candradimuka untuk penyadaran manusia-manusia yang sedang tersesat jalan menuju terbentuknya manusia taat hukum, penyayang pada sesama, atau tidak mengulangi kejahatan yang diperbuatnya, justru dijadikan penitipan sementara dan bahkan area membangun strategi bisnis narkoba yang lebih luas.

Memang, dalam beberapa kasus, aparat berhasil membongkar jaringan produksi dan pengedaran narkoba, akan tetapi seperti teori gunung es, masih lebih banyak lagi jaringan yang tidak terbongkar akibat kelihaian para produsen atau pebisnisnya. Data BNN menunjukkan bahwa 49,5 ton sabu, 147 juta ekstasi, 242 ton ganja, dan hampir 2 ton heroin lepas dari jerat petugas sepanjang 2011.

Kedua, tragedi neodehuhamnisme semakin sering terjadi dan liberal. Produsen atau distributor telah diberikan amosfir lebih menyenangkan (kondusif dan progresif) untuk menjalankan neodehumanisme sebagai pilihan logis dari 'hukum dagang' yang mesti menggunakan rumus untung dan rugi. Akibat pilihan mereka, negara atau masyarakat Indonesia kehilangan banyak generasi mudanya.

Berdasarkan kondisi tersebut, tidak salah jika kita memberi gelar Indonesia sebagai negeri darurat narkoba dan kiamat bagi generasi. Di samping jaringan produksi dan pengedaran yang kian berani, mereka juga sudah menghabisi (membantai) 15 ribu warga setiap tahunnya, yang sebagian besar berasal dari kalangan generasi muda (remaja sekolah), terutama dari kalangan anak orang kaya dan pejabat, yang nota bene komunitas elitis atau keluarga penghasil kandidat para pemimpin (pejabat).

Terbunuhnya puluhan ribu generasi akibat penyalahgunaan narkoba menunjukkan, bahwa produsen atau pebisnis itu tergolong sang penjagal yang tidak selayaknya mendapatkan hak hidup, seperti diberikan grasi yang membatalkan vonis hukuman mati. Kita akhirnya mengalami krisis generasi berkualitas secara fisik maupun moral dan intelektualitasnya akibat mereka menjadi korban keberanian distributor yang telah memberikannya kesenangan semu dan mematikan.

Mereka dibuat lupa dan terhanyut dalam buaian kesenangan menikmati zat-zat adiktif sehingga meminggirkan komitmen edukasi moral, agama, dan yuridis. Sementara keluarga yang idealnya jadi benteng, justru dibiarkan jadi bagian dari 'neraka' yang mempercepat daya laju kematian generasi muda. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar