UNDANG-Undang Nomor
28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme di pasal 3 menyebutkan asas-asas umum penyelenggaraan
negara. Ini meliputi asas kepastian hukum, tertib penyelenggara negara,
kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan asas
akuntabilitas.
Dalam penjelasan pasal tersebut, asas akuntabilitas
adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan
penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintah sudah menerbitkan Inpres Nomor 7/1999 tentang
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Peraturan perundang-undangan
lain juga sudah dikeluarkan untuk mendukung akuntabilitas itu. Kini laporan
keuangan pemerintah yang terdiri atas laporan realisasi anggaran (LRA),
neraca, laporan arus kas (LAK), dan catatan atas laporan keuangan (CALK)
merupakan bentuk akuntabilitas keuangan pemerintah (dimensi akuntabilitas financial); sebelumnya, wujud akuntabilitas pemerintah hanya
perhitungan anggaran negara.
Menurut catatan raker DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI
dengan BPK, Juni 2008, ada persoalan kurang maksimalnya sistem pengendalian
internal. Tidak kuatnya sistem pengendalian internal dan tidak patuh
dilaksanakannya akuntabilitas menyebabkan terjadinya korupsi.
Hubungan antara korupsi dan akuntabilitas digambarkan
oleh Robert Klitgaard (1998) dalam layanan pengadaan barang dan jasa publik
dengan rumus: C=D+M-A. Korupsi (C) adalah adanya monopoli (M) kekuasaan
terhadap barang/jasa ditambah dengan adanya kekuasaan untuk diskresi (D)
siapa yang akan atau berhak menerima barang/jasa tersebut, tetapi tanpa
diimbangi dengan adanya akuntabilitas (A).
DPD RI adalah lembaga negara baru yang dianggap wakil
daerah yang melakukan tugasnya sejalan dengan wewenang DPD sebagaimana
diatur dalam pasal 22D UUD 1945, yaitu otonomi daerah? hubungan pusat dan
daerah? pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah?
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah? APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
DPD lahir pada 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD
disumpah. Kini anggota DPD 132 orang dari tambahan provinsi baru Sulawesi
Barat. Latar belakang lahirnya DPD RI pada masa pencarian bentuk sistem
ketatanegaraan Indonesia pada awal reformasi menempatkan posisi kelembagaan
DPD RI sangat tidak umum dalam praktik bernegara. Basis legitimasi yang
kuat tidak sejalan dengan kewenangan yang dimiliki. Tidak heran jika
sebagian akademisi menganggap DPD RI merupakan contoh yang tidak lazim
dalam praktik lembaga perwakilan rakyat dengan sistem bikameral karena
merupakan kombinasi lembaga dengan kewenangan yang amat terbatas dan
legitimasi murni (represents the odd combination of limited powers and
high legitimacy ).
DPD dibagi menjadi delapan unit kerja atau "alat
kelengkapan". Periode 2009-2014, unit kerja DPD menjadi delapan, yaitu
pimpinan DPD, panitia musyawarah, komite, panitia perancang undang-undang
(PPUU), panitia urusan rumah tangga (PURT), badan kehormatan (BK), panitia
hubungan antar lembaga (PHAL), dan panitia akuntabilitas publik (PAP).
Komite DPD ini mirip komisi di DPR. Di sinilah
fungsi-fungsi DPD dilaksanakan. Menurut tata tertib DPD RI, ada dua alat
kelengkapan yang berfungsi mengawasi keuangan daerah. Keduanya adalah
komite IV dan panitia akuntabilitas publik.
Lingkup tugas komite IV adalah APBN, pajak, perimbangan
keuangan pusat dan daerah; BPK koperasi dan UMKM (lembaga keuangan).
Sementara PAP adalah alat kelengkapan yang bertugas mengawal,
menindaklanjuti pengaduan masyarakat, dan menindaklanjuti hasil temuan BPK
yang terindikasi korupsi.
Secara kelembagaan, Komite IV dan PAP DPD RI, dalam
setiap kunjungan kerjanya dengan mitra kerja baik pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten dan BPK, selalu mendorong agar penggelolaan keuangan
daerah menjadi lebih baik dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan
oleh BPK. Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk melaporkan kepada
publik (melalui BPK) tentang apa saja yang dilakukan dalam mendayagunakan
APBN dan APBD.
Meski demikian, harus diakui masih banyak kelemahan
mendasar pada pemerintah daerah seluruh Indonesia dalam membuat laporan
keuangan yang sesuai dengan standar. Pertama, ada kelemahan dalam
ketersediaan sumber daya manusia (akuntan) pada pemerintah daerah kabupaten
kota. Ketika rekrutmen pegawai, mestinya diutamakan tenaga akuntan ini.
Kedua, persoalan identifikasi aset daerah-daerah yang mengalami pemekaran,
seperti Sambas, Bengkayang, dan Singkawang di Kalbar.
Kelemahan-kelemahan ini menyebabkan sangat sedikit daerah
yang bisa mencapai target tertinggi dari penilaian BPK, yakni wajar tanpa
pengecualian (WTP). Banyak daerah yang tidak menyelesaikan asetnya, status
laporan keuangannya tidak bisa lebih dari WTP.
Melihat persoalan di atas, DPD RI secara kelembagaan
telah melakukan beberapa langkah. Pertama, mendorong pemerintah daerah agar
mendayagunakan struktur birokrasi lokal, yakni inspektorat dan BPKP, untuk
membantu persoalan ketersediaan sumber daya manusia. Kedua, mendorong pendampingan dari BPK perwakilan
seluruh provinsi untuk mendampingi pemerintah daerah dalam membenahi urusan
aset daerah pemekaran.
Ketiga, menjalin kerja sama dengan penegak hukum untuk
memproses hukum semua tindak penyimpangan anggaran negara yang
teridentifikasi korupsi/ merugikan keuangan negara berdasarkan audit BPK. Keempat, bekerja sama dengan kelompok masyarakat sipil
(LSM dan ormas) untuk mendorong pengawasan dari kasus-kasus penyelewengan
keuangan negara yang terjadi di daerah, yang sedang ditangani aparat hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar