Theodore Roosevelt pada 1912
dengan keras mengkritik partai-partai politik (parpol) yang sudah eksis
(lama).
Ia menyatakan,
parpol-parpol lama (old parties)
tak lagi “menggonggong”, tak bersuara untuk perbaikan, jiwanya pun tak
jelas (no real soul). Pernyataan
kritis itu, memang, berdasarkan pada idealisasi di mana seharusnya setiap
parpol yang sudah eksis (para kadernya duduk di parlemen) secara
terus-menerus lantang menyuarakan kepentingan rakyat yang telah memberinya
mandat—yang tentu saja muaranya untuk perbaikan bangsa dan atau peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Kritik terhadap
kecenderungan atau fakta kehidupan politik pada awal abad ke-20 itu, dalam
bacaan sederhana, tentu mengarah pada setidaknya dua alternatif harapan,
yakni agar parpol yang sudah ada melakukan introspeksi sehingga aspirasi
dan kepentingan rakyat benar-benar terakomodasi serta bisa disuarakan atau
diperjuangkan secara efektif; bukan sekadar “dikanalisasi tanpa makna”
melalui pemilu periodik. Atau, jika parpol lama tak lagi bisa dipercaya,
parpol(-parpol) baru muncul terbentuk sehingga masyarakat yang kecewa atau
tak percaya lagi kepada parpol lama (yang ada) memiliki harapan baru untuk
penyaluran dan perjuangan aspirasi mereka.
Tapi, ternyata kritik
Roosevelt itu belum juga membuahkan hasil hingga seabad kemudian. Adalah
Ben Dupre (50 Political Ideas You
Really Need to Know, 2010) yang menegaskan bahwa kondisi saat ini bukan
saja masih tetap tidak berubahnya watak parpol seperti yang diresahkan
Roosevelt itu, melainkan lebih parah lagi.parpol berikut para kadernya
cenderung selalu bersikap munafik dan korup (hypocrisy and corrupt) sehingga berdampak pada munculnya
sinisme serta menurunnya derajat kepercayaan dan dukungan publik secara
luas. Kondisi seperti itu juga nyata sebagai kecenderungan di Indonesia.
Setelah
Soeharto lengser dari jabatan presiden dan masuk di era Reformasi, parpol
telah tumbuh subur bagai cendawan di musim hujan. Kecuali parpol yang
pernah berkuasa dan atau eksis di era Orde Baru (Golkar, PPP, dan PDI) yang
tetap bertahan hingga sekarang, juga terbentuk parpol baru, bahkan silih
berganti dari tiga pemilu yang sudah berlangsung (1999, 2004, 2009) di era
demokrasi ini. Para figur pejuang reformasi yang memiliki libido politik
kekuasaan dan tak mau gabung dengan atau terdepak dari parpol warisan Orde
Baru ramai-ramai mendirikan parpol baru.
Dalam konteks
ini, baik parpol lama maupun baru sebenarnya sudah tak memiliki perbedaan
karena semua figurnya merupakan campuran antara politisi Orde Baru dengan
para pemain baru yang memperoleh ruang di pentas politik, termasuk sejumlah
dedengkot aktivis mahasiswa dan NGO yang sebelumnya sangat vokal, kritis,
dan bahkan jadi “korban politik kekuasaan”. Semuanya mengisi panggung
politik, termasuk jabatan-jabatan strategis.
Namun, faktanya
dan inilah yang kemudian jadi persoalan bangsa ini, ternyata baik “parpol
baru” maupun parpol lama, baik yang berhasil mengisi kursi di parlemen
nasional maupun hanya di DPRD atau baik yang tergabung dalam koalisi
pemerintahan maupun menyebut diri sebagai oposisi atau tak kebagian jatah
di kabinet, cenderung tak memiliki karakter pembeda yang signifikan.
Sama-sama tidak
ada ketegasan dari pimpinan parpol agar seluruh anggotanya (baik di
parlemen maupun eksekutif) mencegah dan atau memberantas korupsi untuk
menghadirkan pemerintahan yang bersih dengan orientasi pada terwujudnya
kesejahteraan rakyat sebagaimana mandat UUD 1945. Bahkan sebaliknya yang
terjadi adalah pembiaran praktik korupsi di suatu kementerian, lembaga
pemerintahan atau pemerintah daerah yang dipimpin figur parpol.
Buktinya adalah
ada kader-kader parpol yang jadi calo atau mafia anggaran/ proyek, apalagi
terakhir dengan ditersangkakannya (oleh KPK) Andi Mallarangeng (mantan
Menpora dan petinggi Partai Demokrat) dalam kasus pembangunan proyek Sport Center Hambalang dan terakhir
Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dalam kasus suap impor daging sapi. Ini
merupakan fakta-fakta tak terbantahkan bahwa parpol-parpol produk reformasi
dengan figur-figur politisinya yang terdidik dan relatif bebas dari
pengaruh era Orde Baru pun “terjebak
permainan kotor nan busuk dalam lumpur korupsi”.
Parahnya lagi,
sebagian politisi itu sepertinya tak punya rasa malu lagi dengan berbagai
argumen pembenaran subjektif melakukan pembelaan terhadap kolega-koleganya
yang sudah tercium aroma busuknya itu. Padahal pada tingkat tertentu
merupakan pembohongan dan yang kian menambah ketakpercayaan publik terhadap
parpol dan politisi. Sebagian, bahkan, mencela KPK sebagai “melakukan tebang pilih” atau “bekerja berdasarkan pesanan” atau “berkonspirasi menghancurkan parpol”.
Pada saat yang
sama, para pengacara memanfaatkan kesempatan untuk membela para politikus
kotor itu dengan kompensasi materi (dan atau untuk kepentingan rating popularitas) signifikan di mana
besar kemungkinan semua pembiayaannya diambil dari uang hasil korupsi.
Kecenderungan seperti itu menunjukkan bahwa eksistensi parpol-parpol
seperti itu, bila tetap tak ada introspeksi yang mendasar,akan tetap sulit
diposisikan sebagai agen perubahan yang sesuai dengan agenda substantif
reformasi.
Setidaknya
hingga hari-hari ini, hal itu bukan saja masih gagal diwujudkan, melainkan
sebaliknya bisa dianggap sebagai “virus
penyakit reformasi” yang jika terus dibiarkan akan kian merusak tatanan
sistem pemerintahan dan moralitas masyarakat luas. Kendati begitu, bukanlah
berarti kita harus membenci parpol. Karena pada tataran konseptual idealis,
parpol merupakan bagian dari “jantung
demokrasi”.
Sehat dan
tidaknya “jantung demokrasi”
sangat ditentukan oleh para aktor yang mengisi atau berada di dalamnya.
Jika di dalamnya diisi dengan, dan dikendalikan oleh, orang-orang baik
dalam arti memiliki moralitas, kapasitas, dan orientasi kerakyatan, parpol
akan baik, akan didambakan rakyat, dan selanjutnya akan berkontribusi besar
dalam mewujudkan agenda reformasi. Di sinilah pentingnya proses rekrut
kader parpol, terlebih yang akan mengisi caleg dalam Pemilu 2014, juga
persiapan untuk mengisi formasi di kabinet periode 2014–2019.
Yang paling
utama di sini adalah figur pimpinan parpolnya harus bersih dan mau
membersihkan. Pertanyaannya, masih adakah figur pimpinan parpol seperti
itu? Jika tidak, harapan untuk adanya perubahan melalui peran parpol hanya
akan terus jadi ilusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar