Ini
sejumlah cuplikan pemberitaan terkait konflik sepakbola Indonesia beberapa
hari terakhir.
Menpora Roy Suryo mengisyaratkan mengambil-alih pengelolaan timnas senior
jika tampil buruk saat menghadapi Irak pada laga pertama kualifikasi Pra
Piala Asia. Belakangan, Roy Suryo menganulir pernyataannya, khususnya
setelah Timnas ternyata 'hanya' kalah 0-1 dari tim juara Piala Asia 2007
itu--padahal Andik Vermansyah dkk dipermalukan Yordania 0-5 dalam ujicoba
beberapa hari sebelumnya.
Namun, Roy Suryo kemudian mengurai kekesalannya setelah Djohar Arifin Husin
dkk dari PSSI 2011-2015 melakukan penandatangan kontrak dengan pelatih asal
Argentina Luis Manuel Blanco, yang disebut-sebut akan menggantikan posisi
Nilmaizar di timnas senior. Menurut Djohar, pendanaan untuk perekrutan Luis
Manuel Blanco dilakukan oleh 'pihak ketiga'.
Namun, perekrutan Luis Manuel Blanco ini dilakukan tanpa melibatkan
persetujuan seluruh Exco (atau tepatnya anggota Exco yang tersisa dari
kepengurusan PSSI Djohar). Diketahui bahwa Bob Hippy dan Sihar Sitorus tak
mendukung perekrutan Luis Manuel Blanco itu.
Masih
di hari yang sama, pelatih Arema ISL Rahmad Darmawan (coach RD)
ditetapkan oleh Satlak Prima KON Pusat sebagai pelatih kepala timnas U-23
yang diproyeksikan ke SEA Games 2013, Desember mendatang di Myanmar.
Sementara itu, agak lepas dari perhatian komunitas media, Djohar Arifin
Husin yang disertai Bob Hippy, anggota komite media dan beberapa wartawan,
'terbang' ke Timika, Papua, untuk meresmikan pelatnas Timnas U-19 yg
dipersiapkan ke Hongkong. Pada kesempatan itu, Djohar kepada Bob Hippy
menyatakan bahwa ia belum secara resmi menetapkan 'status' Luis Manuel
Blanco.
Pelajaran atau 'pencerahan' apa yang dapat dipetik dari cuplikan
pemberitaan di atas?
Pertama, PSSI Djohar yang kepengurusannya sudah tak diakui lagi oleh
mayoritas anggotanya itu, masih saja terus mencoba eksis. 'Mengolah' timnas
adalah 'bagian' yang paling menyita perhatian publik, karena penyuka
sepakbola Tanah Air sejatinya sangat mencintai timnas.
Kedua, sudah terjadi perpecahan diantara Exco PSSI. Atau persisnya,
'kebobrokan' PSSI Djohar semakin terbuka. Kian jelas adanya perpecahan
karena perebutan uang dan kekuasaan.
Dan, ketiga, kemungkinan adanya 'tarik menarik' untuk timnas, khususnya
antara KONI melalui Satlak Prima dengan Kantor Kemenpora. Namun, terkait
poin ketiga ini, sangat dimungkinkan bila yang terjadi nantinya adalah
kerelaan kantor Kemenpora untuk mendukung pengelolaan Timnas U-23 kepada
Satlak Prima dari KONI Pusat. Masalahnya, dukungan finansial untuk Satlak
Prima diberikan oleh Kemenpora. Tinggal bagaimana penekanan dari Roy Suryo
kepada PSSI Djohar agar benar-benar menyerahkan pengelolaan Timnas U-23
kepada Satlak Prima dan tidak mencampuri teknis proses pembinaannya.
Pengelolaan Timnas U23 sendiri oleh Satlak Prima sangat mungkin ditentang
habis-habisan oleh PSSI dengan mengajukan alasan bahwa itu bisa dianggap
sebagai intervensi pemerintah. Untuk itu, tidak ada salahnya jika ada
petunjuk dari AFC yang sudah diserahi FIFA untuk menyelesaikan konflik
PSSI.
Kemenpora sendiri sebenarnya sudah mencoba memperoleh petunjuk dari AFC.
Namun, Eko Indradjit yang menjadi utusan dari Kantor Kemenpora untuk
menemui acting Presiden AFC Zhang Jilong beberapa hari lalu, justru bukan
tokoh yang memahami seluk-beluk permasalahan sepakbola nasional, karena
'spesialisasinya' adalah bidang kepemudaan. Karena itu, patut dikritisi
bagaimana Roy Suryo bisa 'mengolah' pemikirannya secara optimal bila ia
tidak memperoleh dukungan maksimal dari orang-orang di sekelilingnya.
Perebutan Kekuasaan
Kita ketahui bahwa 'PSSI Djohar' yang terbentuk dari KLB 9 Juli 2011 di
Hotel Sunan, Solo, sekarang hanya tinggal dihuni oleh tujuh anggota Exco.
Empat anggota Exco sudah sejak September 2011 mengundurkan diri dengan
lebih dulu melakukan perlawanan kepada Djohar yang tetap didukung oleh
sebagian Exco. Subtansi perlawanan ke-4 Exco ini adalah karena
ketidaksetujuan mereka atas 'policy' Djohar Dkk yang
menerapkan kebijakan 'balas dendam' dan kontra-produktif, terutama dengan
'mengangkangi' keputusan Kongres II PSSI 2010 tentang kompetisi level
tertinggi dan jumlah peserta kompetisi. Keputusan Kongres PSSI 2010, yang
dilaksanakan 20-22 Januari 2011 di Bali, kompetisi strata tertinggi adalah
ISL, dan jumlah peserta kompetisi ISL adalah 18. Dua keputusan Kongres
tersebut juga dituangkan dalam Statuta PSSI 2011.
Ke-4 anggota Exco yg menentang kebijakan Djohar ini belakangan mempelopori
pembentukan PSSI 2012-2016 yang kelahirannya didukung oleh mayoritas
anggota dan voters PSSI, tentunya termasuk voters KLB Solo.
Tujuh anggota Exco PSSI KLB Solo yang tersisa adalah Djohar, Farid Rahman,
Bob Hippy, Sihar Sitorus, Widodo Santoso, Mawardy Nurdin dan Tuty Dau. Akan
tetapi, kenyataannya beberapa Exco seperti Widodo Santoso dan Mawardy
Nurdin sudah sangat jarang mengikuti rapat-rapat Exco PSSI Djohar.
Sementara itu, empat anggota Exco yang mengundurkan diri dan kemudian
sama-sama menjadi pengurus inti PSSI 2012-2016 melalui KLB 18 Maret 2012 di
Hotel Mercure, Ancol, dengan peserta seluruh anggota PSSI dan mayoritas
voters KLB Solo adalah La Nyalla Mattalitti, Robertho Rouw, Erwin Budiawan
dan Toni Apriliani.
Terkait perekrutan Luis Manuel Blanco, proses 'pengambilannya' ternyata
'dipromotori' oleh mantan manajer timnas senior di Piala AFF 2012 yakni
Habil Marati, bersama beberapa orang lainnya. Dari penelusuran, Habil
Marati ternyata didukung penuh oleh Djohar. Dana dari pihak ketiga yang
disebut-sebut Djohar ternyata berasal dari kas Isran Noor, bupati Kutai
Timur yang menjabat Ketua Asosiasi Kabupaten Seluruh Indonesia. Kendati
demikian, tidak diketahui besarnya dana yang digelontorkan oleh Isran Noor
ini.
Yang jelas, Isran Noor sendiri tidak 'membuang' dananya secara sia-sia.
Bupati Kutim ini dijanjikan untuk menduduki jabatan Ketua Badan Tim Nasional
atau BTN PSSI, lembaga yang tercatat dalam Statuta PSSI 2007-2011 namun
dibubarkan hanya melalui SK oleh Djohar Arifin. Menurut rencana, keberadaan
BTN 'gaya baru' ini akan diumumkan awal pekan ini, dengan Isran Noor
sebagai ketua dan Habil Marati menjadi wakilnya.
Akan tetapi, belum lagi bisa dipastikan apakah kelahiran BTN 'gaya baru'
ini dapat segera direalisasikan. Pasalnya, seperti dikemukakan di awal
tulisan ini, perlawanan terhadap 'keputusan' Djohar Arifin dalam menetapkan
Luis Manuel Blanco sebagai pelatih kepala timnas senior sudah langsung
ditunjukkan dari kalangan internal PSSI sendiri. Disamping Bob Hippy, yang
menjabat koordinator timnas, sikap menentang juga dilontarkan Sihar Sitorus
yang selama ini disebut-sebut mengucurkan dana talangan untuk timnas, serta
Bernhard Limbong, penanggung jawab timnas.
Mereka berdalih, penunjukkan pelatih timnas harus melalui persetujuan rapat
Exco. Tidak ujug-ujug seperti yang dilakukan oleh Djohar.
Kekesalan Bob Hippy, Sihar dan Limbong boleh jadi karena memang mereka tak
dilibatkan. Apalagi, Isran Noor diplot untuk menduduki posisi strategis
yang memayungi seluruh aspek terkait timnas, yakni Ketua BTN. Dalam
penjabaran fungsi atau peran dan kewenangannya, BTN akan menjadi semacam
lembaga 'superbodi' yang bertanggung jawab penuh atas timnas, termasuk
dalam hal penggalangan dukungan finansial, atau sponsor, serta
merekomendasikan pemain dalam seluruh strata tim, serta memilih atau
merekomendasikan jajaran ofisial.
Kewenangan BTN yang nyaris mutlak terkait timnas ini tentu saja bisa
mematikan peranan Bob Hippy sebagai koordinator timnas dan Limbong,
penanggung jawab timnas. Walau fungsi koordinator dari Bob Hippy dan
penanggung jawab Timnas yang melekat pada Limbong tidak jelas dan yang
pasti tumpang-tindih, akan tetapi selama ini keduanya bisa seiring-sejalan,
mungkin karena kepentingan masing-masing terakomodasi.
Berbeda kondisinya sekarang ini.
Limbong amat geram dengan perekrutan dan penugasan Luis Manuel Blanco.
Sampai-sampai pensiunan jenderal bintang satu ahli koperasi ini melontarkan
pernyataan lantang, bahwa lebih baik menurunkan Djohar daripada melanggar
keputusan Exco.
Jelas jika saat ini sedang terjadi 'benturan kepentingan' diantara pengurus
teras PSSI 2011-2015. Indikatornya apalagi kalau bukan karena uang dan
kekuasaan. Penentuan manajer untuk timnas senior untuk Pra Piala Asia, yang
dijabat oleh Bupati Sarmi (Papua) sebelumnya disebut-sebut tak terlepas
dari aroma kepentingan bisnis Sihar Sitorus dan Limbong. Sekarang, langkah
yang sama dilakukan oleh Habil Marati, tentunya dengan memanfaatkan situasi
dan dukungan orang-orang yang oportunis.
Masyarakat Jangan Apatis
Ada kecenderungan bahwa masyarakat kini sudah semakin merasa masa bodoh
atau apatis dengan permasalahan sepakbola nasional saat ini. Sesungguhnya,
masyarakat atau publik penyuka sepakbola Indonesia, tidak boleh apatis.
Masyarakat harus senantiasa mengkritisi apa yang terjadi, apalagi
dengan memahami subtansi permasalahan, sehingga seorang tokoh yang
sebelumnya berada di luar lingkungan sepakbola seperti Prof Tjipta Lesmana
pun pada akhirnya bisa melontarkan pendapat bahwa 'kehancuran sepakbola
Indonesia sekarang ini dimulai setelah pembentukan LPI (Liga Primer
Indonesia)'.
Menurut Prof Tjipta Lesmana, yang menjadi Ketua Komisi Banding Pemilihan
(KBP) dalam proses pencarian figur pengurus untuk Kongres Pemilihan 2011,
di negara mana pun tidak ada dua kompetisi dari level yang sama. Sekarang
ini, di Indonesia, bukan hanya ada dua kompetisi dari level yang
sama. Akan tetapi, dua kepengurusan. Kompetisi yang digelar bukan hanya
dari strata profesional, akan tetapi juga seluruh kategori amatir.
Pengungkapan Tjipta Lesmana mengisyaratkan bahwa masyarakat harus cerdas
dalam menelaah akar permasalahan terkait konflik PSSI ini. Walau demikian,
bagi sebagian masyarakat, timnas-lah yang lebih penting. Pemikiran atau mindset ini
pula yang tampaknya amat dipahami oleh Djohar Dkk. Sentimen kebanggaan pada
timnas selalu menjadi 'senjata' yang paling ampuh untuk memperoleh dukungan
dari masyarakat, termasuk kalangan media.
Sejak lama disebutkan bahwa elemen media sebenarnya mempunyai peranan
penting dalam penyelesaian konflik PSSI. Masalahnya, dalam labirin konflik
yang belum diketahui ujungnya ini, media justru terkesan 'terpecah'
sehingga hal ini secara langsung atau tidak langsung 'termanfaatkan' oleh
pengurus PSSI yang sebagian justru bersifat oportunis. Banyak orang-orang
'pintar' yang 'nyambi' dan bertahan dalam kepengurusan ini untuk
mendapatkan keuntungan sendiri.
Kita memahami bahwa sepakbola mempunyai aturan-aturan sendiri. Dalam
konteks ini, penyelesaian konflik PSSI tak sekadar siapa harus mengalah,
atau kedua pihak harus sama-sama menahan diri. Aturannya sudah sangat
jelas. Kepengerusan Djohar sudah diamputasi oleh mayoritas stakeholders sepakbola
nasional, dan hanya karena proteksi atau kebaikan dari FIFA/AFC mereka
masih bertahan.
Kesalahan terbesar memang ada pada FIFA/AFC yang tidak secara langsung
menjatuhkan sanksi kepada PSSI setelah terbentuknya kepengurusan PSSI
2012-2016 dari KLB KPSI pada 18 Maret 2012 di Ancol. Jika saja FIFA
konsisten pada statutanya sendiri, yang mengharamkan adanya dua asosiasi di
satu negara, maka sepakbola Indonesia sudah harus dijatuhi sanksi berupa
pembekuan.
Fakta yang lebih buruk menyusul tidak adanya sanksi itu adalah, Djohar Dkk
terus melakukan kerusakan-kerusakan. Pembentukan pengprov-pengprov
tandingan, dan klub-klub kloningan, adalah bentuk kerusakan tambahan (collateral damage) yang
dibuat oleh PSSI 2011-2015. Tujuan utama Djohar Dkk membentuk pengprov dan
klub-klub kloningan apalagi kalau bukan 'merusak' tatanan keanggotaan PSSI,
termasuk anggota pemilik suara atau voters.
Karena itulah, Djohar selalu menyatakan bahwa mereka masih didukung oleh
mayoritas voters dari KLB
Solo--yang menghasilkan kepengurusan 2011/2015. Alasan dengan nuansa
kebohongan itu pula yang selalu dilontarkan ke FIFA/AFC, terkait peserta
Kongres Palangkaraya 2011 dan 2012. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar