Jumat, 01 Februari 2013

Nilai Tukar dan Daya Saing


Nilai Tukar dan Daya Saing
A Prasetyantoko ; PhD Ilmu Ekonomi
dari Ecole Normale Superieure (ENS)-Lyon, Perancis
KOMPAS, 01 Februari 2013



Krisis global memasuki babak baru, ditandai dengan meningkatnya risiko terjadinya perang nilai tukar. Sebenarnya, gejala ini sudah lama terjadi, terutama setelah krisis 2007/2008 lalu. Majalah The Economist edisi Oktober 2010 juga sudah menurunkan liputan utama mengenai currency wars.
Selama ini, pihak yang bertikai terutama adalah Amerika Serikat (AS) dan China. Sementara negara-negara di kawasan euro, seperti Jerman dan Perancis, serta Jepang, cenderung berada di belakang AS. Kini petanya berubah, di mana kali ini Jepang dianggap terlalu berani melakukan kebijakan ekonomi yang bersifat ekspansif. Dampaknya, kepentingan negara-negara maju lainnya terganggu.
Perdana Menteri Shinzo Abe yang baru terpilih kembali melakukan gebrakan dalam kebijakan ekonomi melalui paket stimulus senilai 10,3 triliun yen (117 miliar dollar AS). Tujuannya, mencetak lapangan kerja hingga 600.000 serta meningkatkan produk domestik bruto (PDB) sebesar 2 persen. Inflasi juga ditargetkan meningkat menjadi sekitar 2 persen.
Kebijakan ini dinilai progresif karena selama ini Jepang dikenal sebagai negara yang selama dua dekade lebih mengalami fase deflasi panjang. Sampai-sampai ada istilah deflasi gaya Jepang atau Japanese-style deflation.
Langkah berani tersebut menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak, seperti Kanselir Jerman Angela Merkel, kepala perkumpulan negara maju (OECD) Angel Gurria, serta Menteri Keuangan Perancis Pierre Moscovici. Mereka memperingatkan Jepang agar tidak secara sengaja memperlemah nilai tukarnya. Itulah salah satu topik penting dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Davos pada akhir Januari ini.
Daya Saing
Apa sebenarnya motif di balik perang nilai tukar itu? Krisis global yang tak kunjung pulih membuat banyak negara frustrasi dalam merancang kebijakan ekonominya. Sementara, di sisi lain, pasar domestik membutuhkan kebijakan progresif untuk bisa bangkit. Faktanya, membangkitkan perekonomian domestik dalam situasi global yang lesu tidaklah mudah. Karena itu, ada dua langkah yang umum diambil.
Pertama, melakukan kebijakan perdagangan yang cenderung protektif sehingga salah satu tantangan pokok Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) adalah melakukan harmonisasi kebijakan perdagangan agar tidak terjadi ”perang dagang” yang berkelanjutan. Kedua, dalam rangka mendorong ekspor produk domestiknya, banyak negara memilih secara sengaja melemahkan nilai tukar mereka. Tujuannya, agar barang-barang produksi mereka lebih murah. Dengan demikian, ”perang nilai tukar” tak terelakkan.
Kedua, kecenderungan tersebut akan terus menguat selama masih terjadi ketidakseimbangan secara global. Perang dagang dan perang nilai tukar adalah bagian yang tak terpisahkan dari krisis global. Apakah ada cara lain untuk keluar dari krisis tanpa harus melalui fase tersebut? Apa yang seharusnya dilakukan Indonesia dalam konstelasi yang konfliktual itu?
Kebijakan ekspansif Abe, dalam jangka pendek, cukup berhasil meski dipertanyakan efeknya dalam jangka panjang. Indeks Nikkei 225 meningkat rata-rata 0,5 persen menuju level 10,798, seiring pelemahan yen. Pelemahan yen diiringi menguatnya dollar AS terhadap hampir semua mata uang regional, termasuk rupiah. Setelah beberapa saat mengalami tekanan pelemahan, rupiah berbalik arah dengan penguatan menuju kisaran Rp 9.600-Rp 9.700 per dollar AS. Asal tidak terdorong lebih tajam, gejala ini menjadi berkah terselubung karena menghindarkan nilai tukar terperosok pada batas psikologis Rp 10.000 per dollar AS.
Sampai batas mana kita diuntungkan, mengingat kita memiliki kelemahan pada neraca perdagangan? Jangan-jangan, efek negatif justru menyerang kita karena akan lebih banyak barang masuk melalui impor, sementara ekspor nonmigas akan tertahan. Jika itu yang terjadi, begitulah skenario yang diinginkan dalam sebuah perang nilai tukar.
Kebijakan Industri
Secara global, ada kerisauan tentang bagaimana krisis dipulihkan dan kondisi ketidakseimbangan diselesaikan. Memengaruhi daya saing dengan melakukan kebijakan proteksionis atau melemahkan nilai tukar diyakini tak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan tersebut memiliki efek pro-siklus, atau justru akan menjerumuskan dunia pada krisis yang lebih dalam.
Akhir-akhir ini, ada diskusi tentang bagaimana meningkatkan daya saing dengan mengembalikan kebijakan industri. Dalam sebuah seminar di Myanmar baru-baru ini, dua ekonom Dana Moneter Internasional (IMF) menekankan peran pemerintah dalam menentukan siapa pemenang dalam dinamika ekonomi (pick winners). Kebijakan intervensionis ini selama bertahun-tahun dihindari. Apa pelajaran bagi kita?
Sebagai negara berkembang, kita tidak bisa mengekor kebijakan negara maju yang sudah mengalihkan pusaran perekonomian pada sektor jasa dan keuangan. Kita harus membangun basis manufaktur yang kuat dengan dukungan produktivitas dan daya saing perekonomian yang kuat. Tanpa sektor manufaktur yang menyerap tenaga kerja tinggi, perekonomian kita tidak tumbuh dengan sehat.
Sayangnya, sejak krisis 1997/1998, pemerintah justru tak lagi memerhatikan kebijakan industri yang berorientasi pada peningkatan industri manufaktur. Akibatnya, sektor riil tumbuh tanpa arah yang jelas. Kebijakan disusun tanpa konsep dan perencanaan jangka panjang yang matang. Absennya kebijakan industri bisa dilihat dari gejala-gejala yang begitu jelas terjadi pada hari-hari ini.
Pertama, tidak ada kemajuan berarti dalam pembangunan infrastruktur sebagai jantung dari konektivitas yang membantu sistem logistik nasional. Komitmen pembangunan infrastruktur yang rendah menandai tidak adanya keseriusan membangun produktivitas dan daya saing nasional. Kedua, struktur ekspor masih dikuasai oleh produk primer. Tidak ada nilai tambah industri yang diciptakan dalam perekonomian domestik.
Ketiga, kebijakan perburuhan yang lebih bersifat tambal sulam. Setelah pemerintah menyetujui kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dalam kisaran 40-70 persen, kini pemerintah membuka penangguhan. Bisa diduga, begitu banyak perusahaan yang tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut. Tarik-ulur soal perburuhan ini sungguh menandakan pemerintah tidak memiliki pola yang jelas dalam menangani buruh dan sektor industri manufaktur, terutama yang padat karya.
Kapasitas sektor riil kita sama sekali belum dikembangkan secara maksimal. Jika kita memilih untuk mengembangkan sektor jasa dan keuangan, sebagaimana terjadi di negara maju, kita akan kehilangan kesempatan.
Meningkatnya risiko perang nilai tukar menandai bahwa semua negara tengah membenahi ekonomi domestiknya. Kita pun harus cepat berbenah, berkonsentrasi membenahi sisi produktivitas dan daya saing ekonomi dengan menghidupkan kembali kebijakan industri yang telah lama ditinggalkan. Meningkatkan daya saing tidak bisa melalui cara-cara instan, seperti bersikap protektif dan memanipulasi nilai tukar. Jika pilihan itu yang diambil, tentu dampaknya jelas, akan menimbulkan tindakan balasan. Dengan demikian, sama sekali tidak efektif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar