|
KOMPAS,
01 Februari 2013
Mencari tempat yang bebas
asap rokok di Jakarta ini nyaris mustahil. Maklum, di Jakarta, perokok ibarat
raja.
Rahmat (17) tertawa saat
ditanya di mana dia biasa membeli rokok. ”Di warung-warung pinggir jalan
banyak. Enak lagi, bisa ngeteng,” jawabnya santai.
Ketika punya cukup uang,
pelajar kelas I SMA ini membeli rokok di toko-toko swalayan kecil. ”Tidak
pernah ditanya tuh KTP-KTP-an. Bayar saja, langsung pergi,” ujarnya.
Di pasar swalayan, rokok
umumnya ditempatkan di dekat kasir. Ini tidak menghalangi remaja untuk
membelinya meski petugas kasir umumnya mengaku menanyakan KTP.
”Kalau pembelinya pelajar,
kami biasanya meminta kartu identitas mereka. Memang sudah seperti itu
aturannya,” ujar salah satu kasir di Seven Eleven di kawasan Senayan,
Jakarta.
Bagi remaja seperti
Rahmat, merokok adalah lambang kejantanan. Dia menyebutnya macho, sekaligus
lambang pergaulan. Anak bungsu dari empat bersaudara ini sudah merokok sejak
SMP.
”Bapak-ibu saya tahu.
Enggak apa-apa,” ucapnya.
Longgarnya peraturan dari
orangtua membuat Rahmat bebas merokok di mana pun, termasuk angkutan umum.
Nyaris tak ada yang menegur.
Dia tak paham, di negara
ini rokok seharusnya tidak dijual kepada konsumen di bawah usia 18 tahun.
Bahkan, merokok seharusnya juga tidak bisa dilakukan di sembarang tempat.
Di DKI Jakarta ada
Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 50 Tahun 2012 yang mengatur tentang kawasan
dilarang merokok (KDM). Yang masuk dalam kategori KDM adalah tempat umum,
tempat pelayanan kesehatan, tempat belajar-mengajar, tempat ibadah, tempat
bekerja, arena kegiatan anak- anak, dan angkutan umum.
Karpet Merah
Pelaksanaan Pergub soal
KDM itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ketika Pergub No 75/2005
tentang KDM dikeluarkan, razia terhadap perokok nakal beberapa kali digelar
Satpol PP. Namun, kini, yang terjadi banyak KDM yang justru seolah-olah
menggelar karpet merah bagi perokok.
Restoran dan kafe di pusat
perbelanjaan adalah salah satunya. Di Cilandak Town Square, misalnya, hampir
semua restoran dan kafe dipenuhi perokok. Di Mal Pondok Indah malah ada kafe
yang sama sekali tidak menyediakan tempat bagi pengunjung yang tidak merokok.
Di Plaza Senayan, ada restoran yang hanya menyediakan area merokok di seluruh
restoran setelah pukul 17.00.
Restoran dan kafe biasanya
membagi area menjadi area merokok dan tidak merokok. Satu hal yang tidak
dibenarkan karena Pergub menyebutkan, ”merokok di dalam gedung tidak
diperbolehkan”.
PR dan CSR Manager Senayan
City Sri Ayu Ningsih mengatakan, Senayan City mendukung Peraturan Daerah
Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Pergub tentang
KDM.
”Kami selalu mengimbau
seluruh tenant, pengunjung, pengemudi, hingga kontraktor untuk mematuhi
aturan tersebut,” papar Ayu. Perda dan pergub pun ditempel di setiap pintu
masuk kafe dan restoran.
Namun, dia tidak membantah
jika masih ada penyewa yang tidak mematuhi aturan. ”Kalau menemukan yang
bandel, silakan lapor,” ujar Ayu.
Di lapangan, Pergub
tentang KDM ini ibarat macan ompong. Kepala Subbidang Edukasi Lingkungan
Bidang Penegakan Hukum Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD)
Provinsi DKI Jakarta Rahmat Bayangkara menunjuk pengelola gedung seharusnya
bertanggung jawab.
”Mereka mengatakan sudah
menempelkan aturan di restoran, kafe, lalu ada satpam yang siap menegur,
padahal belum tentu seperti itu,” katanya.
Terkait pengawasan, Rahmat
menjelaskan, tanggung jawab tidak hanya berada di BPLHD, tetapi sudah
dilimpahkan kepada setiap pihak sesuai wilayah tanggung jawabnya.
Sayang, dalam praktiknya,
pembagian tugas dan tanggung jawab itu tidak selalu berjalan. Tidak heran
apabila efektivitas pergub sejak 2009-2011, kata Rahmat, baru mencapai 64
persen. Tahun ini target dinaikkan menjadi 80 persen.
Tidak Imun
Selain pusat perbelanjaan,
gedung perkantoran, termasuk kantor pemerintah, juga tidak imun dari asap
rokok. Pantauan yang dilakukan Swisscontact terhadap 1.600 gedung di Jakarta
menunjukkan, secara keseluruhan tingkat kepatuhan terhadap pergub hanya 48
persen.
”Ini memprihatinkan karena
angkanya masih di bawah 50 persen,” kata Direktur Eksekutif Swisscontact
Indonesia Dollaris Riauaty Suhadi.
Data pantauan Swisscontact
periode Oktober-Desember 2012 menunjukkan, tingkat kepatuhan di tempat
pendidikan 49 persen, kantor swasta 53 persen, kantor pemerintahan 47 persen,
tempat ibadah 33 persen, restoran 39 persen, mal 44 persen, dan hotel 50
persen.
Pengurus Harian Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan, masalah utama adalah
rendahnya pengawasan dan tidak adanya sanksi bagi pelanggar. ”Kalau kami
tanya, masyarakat umumnya melanggar karena tidak ada sanksi,” katanya.
Karena itu, dia mendukung
rencana Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang menyiapkan
sanksi bagi pegawai negeri sipil (PNS) yang melanggar. Maklum, 45 persen
perokok pelanggar berstatus PNS.
Tentu saja, kalau hanya
PNS yang bakal dijewer, kawasan dilarang merokok benar-benar hanya sebuah
angan-angan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar