|
KOMPAS,
01 Februari 2013
Penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi pada galibnya harus bisa membuahkan pembelajaran dan
penghindaran agar tidak jatuh pada lubang sama.
Salah
satu problem yang sekian lama mendera Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
adalah perihal penyidik. Praktik yang terjadi adalah pemaknaan atas
Undang-Undang tentang KPK dengan horizon yang terbatas sehingga penyidik KPK
menjadi tidak independen dan terbatas. Keterbatasan ini telah mendera KPK dan
menjadikan KPK sering kali ”tersandera” dalam kerja- kerjanya memberantas
korupsi.
Peristiwa
penarikan 20 penyidik KPK yang berasal dari Kepolisian pada 12 September
2012, dengan tidak memperpanjang masa tugas yang diperbantukan di KPK, jelas
merepotkan KPK yang sedang menyidik kasus-kasus korupsi yang menjadi
perhatian luas masyarakat.
Tidak
lama berselang, enam penyidik Kepolisian juga mengundurkan diri dan memilih
kembali ke institusi asalnya. Bahkan, pada 13 Desember 2012, Polri kembali
tidak memperpanjang 13 penyidiknya, tepat ketika KPK menahan Irjen Djoko
Susilo, tersangka korupsi simulator surat izin mengemudi yang merugikan
negara Rp 100 miliar.
Kejadian
serupa ini telah berulang. Penyidik tiba-tiba ditarik kembali dengan berbagai
alasan. Karena itu, tidak terbantahkan bahwa penarikan penyidik menjadi
krisis laten yang akan setiap saat bisa menjadi aktual menimpa KPK. Fakta
tarik ulur penyidik dan tidak mesranya pola hubungan KPK dengan Kepolisian
dan Kejaksaan adalah buah dari pohon persoalan yang sama, keterbatasan
pemaknaan UU KPK perihal penyidik.
Memaknai
UU KPK dalam kaitan dengan pengindependenan penyidiknya sesungguhnya berada
di antara posisi kuat KPK sebagai lembaga negara independen, pemaknaan lebih
lebar atas UU KPK, dan pemihakan yang kuat untuk agenda pemberantasan
korupsi. Ketiga hal yang memadu dan secara serempak menjadikan para penyidik
KPK independen adalah bagian dari upaya luar biasa negeri ini menghalau
korupsi. Karena itu, menjadi kebutuhan besar ketersediaan sarana dan
keandalan penyelidik, penyidik, dan penuntut KPK yang selama ini masih
rekrutan dari unsur Kepolisian dan Kejaksaan.
Eksistensi
penyidik KPK pada hakikatnya dimungkinkan menurut Pasal 45 UU KPK, bahwa (1)
Penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh KPK; (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.
Hal
yang bisa dianalisis adalah penyidik di KPK yang diangkat oleh KPK, serta
diberhentikan oleh KPK yang menjalankan fungsi penyidikan terhadap tindakan
korupsi yang menjadi ranah kewenangan KPK.
Meskipun
ada juga Pasal 39 Ayat (2) UU KPK yang mencantumkan bahwa ”Penyelidik,
penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK diberhentikan
sementara dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi pegawai pada
KPK”, ketentuan ini sama sekali tidak bisa dikatakan dengan tafsiran tunggal
bahwa keseluruhan penyidik haruslah dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan.
Mengapa?
Menggunakan
tafsiran historis atas pasal ini sangat erat dengan ketentuan awal ketika KPK
dibentuk dan belum memiliki penyidik sama sekali. Apalagi, kemudian Pasal 45
Ayat (1) dan (2) di atas dengan jelas telah menentukan kemungkinan adanya
penyidik yang secara lebih independen diangkat dan diberhentikan KPK.
Belum
lagi, dengan menggunakan metode tematis, jika merujuk ke Pasal 21 Ayat (4)
yang mengatakan para pemimpin KPK juga sebagai penyidik dan penuntut umum.
Jelas, para komisioner KPK bukanlah polisi dan jaksa yang harus diberhentikan
dari Kepolisian dan Kejaksaan dulu baru mereka dapat memegang fungsi
penyidikan dan penuntutan.
Artinya,
Pasal 21 Ayat (4) dapat dipakai menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam Pasal
39 Ayat (2) adalah ketentuan yang khusus untuk penyelidik, penyidik, dan
penuntut umum yang ”dipinjam” dari Kejaksaan dan Kepolisian. Artinya, sama
sekali tak bisa dipakai untuk mengatakan semua penyidik haruslah dari
Kejaksaan dan Kepolisian.
Jimly
Asshiddiqie (2008) menganalisis bahwa secara subtantif kelembagaan,
independensi yang harus dimiliki itu ada dalam tiga bentuk. (1) Independensi
institusional atau struktural; (2) Independensi fungsional yang tecermin
dalam proses pengambilan keputusan yang secara tujuan independen dan
instrumen independennya bisa ditetapkan oleh lembaga itu sendiri secara
independen; (3) Independensi administratif dalam bentuk independensi keuangan
dan independensi personalia.
Artinya,
selain independen secara institusional, satu hal yang paling tidak bisa
dilupakan adalah membuat lembaga tersebut secara fungsionalnya juga
independen. Jadi, bukan hanya secara kelembagaan, tetapi juga dalam kerangka
operasional dan kerja secara fungsional seharusnya independen.
KPK
tentulah lembaga negara independen yang idealnya haruslah disematkan ke semua
jenis keindependenan tersebut. KPK yang independen adalah KPK yang secara
institusi, fungsi, dan administrasinya adalah independen. Termasuk dalam
fungsi penyidikan.
Karena
itu, independensi penyidik KPK perlu dimaknai pada pelaksanaan fungsi
penyidikan KPK, termasuk hingga keindependenan dalam term administratif. Jika
selama ini secara administratif nasib para penyidik KPK masih bergantung ke
lembaga asalnya, pengukuhan keindependenan KPK memutlakkan kebutuhan agar KPK
memiliki penyidik sendiri yang tidak lagi ”meminjam” dari lembaga lain.
Independensi penyidik KPK adalah konsekuensi logis dari KPK sebagai lembaga
negara independen.
Pekerjaan
yang tertinggal tentu saja adalah kemauan menguatkan KPK dengan penyidik
internal yang lebih independen. Dan, itu hanya bisa hadir melalui pemihakan
yang kuat atas agenda pemberantasan korupsi. Negara harus berpikir menguatkan
penyidik internal ini dengan memberikan ruang yang besar bagi KPK untuk segera
melakukan rekrutmen dan memfungsikan para penyidik internal KPK.
Itu
hanya bisa terjadi jika KPK diberi kesempatan luas untuk merekrut, mendidik,
dan memfungsikannya dengan dukungan yang kuat dari eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.
Kita
semua paham bahwa problem di KPK salah satunya adalah jumlah penyidik yang
jauh dari kesan berimbang dengan jumlah laporan perkara ataupun jumlah
perkara yang sedang ditangani KPK. Tidak sekadar itu, penyidik internal yang
diangkat oleh KPK sendiri akan mengakhiri ketergantungan KPK pada Kejaksaan
dan Kepolisian.
Mengakhiri
ketergantungan itu akan menjadi jawaban dan penghindaran yang tepat atas
persoalan penyidik KPK. Pada saat yang sama tentu saja akan berpotensi
mendorong pemberantasan korupsi ke jalur yang lebih cepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar