|
MEDIA
INDONESIA, 31 Januari 2013
MUNDUR dari jabatan harus ditempuh para
pejabat yang ingin mendaftar sebagai calon legislatif pada 2014. Mereka yang
menjadi pengurus cabang olahraga, pemimpin organisasi sosial, atau bahkan
anggota legislatif harus meletakkan jabatan. Pengunduran diri itu bersifat
permanen, artinya tidak dapat ditarik kembali jika kelak tidak lolos sebagai
anggota DPR (Media Indonesia, 29/1).
Rangkap jabatan publik memang patut dihindari dalam berjalannya roda
pemerintahan yang responsif.
Demikian halnya Undang-Undang No 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengatur tentang syarat
menjadi calon anggota legislatif (caleg). Pasal 51 huruf (k) secara tegas
menyebutkan, untuk menjadi caleg, kepala daerah dan wakil kepala daerah harus
mundur dari jabatan mereka. Penyandang sejumlah jabatan lain seperti anggota
TNI, anggota Polri, dewan pengawas, dan karyawan BUMN/BUMD juga harus mundur.
Para personel yang terpilih menjadi pejabat negara senantiasa siap untuk
menjadi penyambung kepentingan semua golongan. Tidak boleh bersikap
diskriminatif, apalagi hanya mengedepankan kepentingan yang sifatnya
partisan.
Pengisian sejumlah jabatan publik melalui
pemilu memang mengindikasikan ada persoalan di antara para elite politik.
Kesan yang paling mencolok ialah adanya tarikmenarik kepentingan di antara
berbagai golongan dalam berebut kue kekuasaan. Kepentingan kelompok menjadi
lebih dominan, sementara kepentingan dan aspirasi rakyat seakan
terkesampingkan. Padahal sistem demokrasi perwakilan menghendaki bahwa
kekuasaan pejabat negara merupakan pengejawantahan dari kepentingan dan
kedaulatan rakyat.
Dalam kondisi seperti penjaringan caleg oleh
parpol saat ini, nasib kepentingan rakyat menjadi di ujung tanduk. Aspirasi
dari rakyatlah yang akan mengantarkan sejumlah tokoh memperoleh jabatan
politik. Selayaknya tokoh yang terpilih menjadi milik rakyat. Berdiri di atas
kepentingan semua golongan. Menjauhkan diri dari kepentingan kelompok yang
sempit, bukan sebaliknya.
Pejabat negara dalam menjalankan tugas
melayani publik harus netral. Artinya, dalam rangka pelayanan yang adil atau
tidak memihak, pejabat negara seharusnya tidak boleh mengaitkan kegiatan
pelayanan kepada masyarakat dengan kepentingan politik dirinya ataupun warga
negara yang dilayaninya.
Dalam perspektif ini, persaingan dalam pemilu
hanyalah bagian dari proses berjalannya kehidupan negara, bukan merupakan
tujuan akhir dan utama. Ia hanyalah sarana bagi terlibatnya rakyat dalam
kehidupan berpolitik untuk memilih pemimpin dan turut menentukan kebijakan
publik.
Tidak Rangkap
Di ujung masa karya pejabat negara, terdapat
pejabat yang bersedia melepaskan jabatannya untuk secara leluasa berjuang
meraih kembali jabatan publik. Sementara itu, sebagian yang lain sebenarnya
masih memilih untuk tetap memegang jabatan tersebut sekaligus sambil asyik
berjualan pesona untuk kembali mencalonkan diri. Bagi yang tetap ingin memangku
jabatan, alasan yang mendasarinya ialah bahwa yang mengantarkannya menjadi
pejabat publik adalah partainya. Baik melalui perolehan suara dari pemilih
maupun hasil dari tawar-menawar antarkekuatan partai. Dengan demikian, dengan
tetap memegang jabatan di partai, ia akan selalu teringat pada posisi tawar
partai bersangkutan dalam konstelasi birokrasi.
Di samping itu, dengan tetap memegang rangkap
jabatan akan terbuka peluang akses partai bersangkutan dalam kekuasaan. Alasan
lain ialah rangkap jabatan tidak akan mengganggu kinerjanya sebagai pejabat
negara. Mereka merasa mampu membawakan diri, kapan harus bertindak sebagai
orang dari partai (jurkam/caleg) dan kapan ia berperan sebagai pejabat
negara.
Adapun pejabat yang bersedia menghindari
rangkap jabatan didukung beberapa alasan. Pertama, menjadi pejabat negara
membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Untuk mewujudkan kinerja yang optimal,
mereka dituntut untuk fokus. Ada jaminan bahwa kepentingan umum menjadi
prioritas utama.
Kedua, partai yang bersangkutan akan tampak
berani membangun diri ke arah partai modern. Ia tidak lagi mengandalkan peran
sentral figur seorang tokoh sebagai pejabat untuk meraih simpati dari
masyarakat pemilih. Partai itu tidak merasa takut mengalami penurunan suara
hanya karena jabatan kadernya berakhir. Daya tarik partai bukan lagi pada
pesona figur kader yang menduduki jabatan, melainkan dengan menawarkan
sejumlah platform kepada
masyarakat. Siapa pun individu yang mewakilinya akan mewujudkan program
penawaran partai.
Ketiga, menjadi pejabat negara yang baik dan
ideal merupakan kampanye tersendiri bagi tokoh bersangkutan maupun partainya.
Menjalankan tugas sebagai pejabat negara dengan baik akan memberikan image
positif terhadapnya. Itu penting bagi nasib partai ataupun tokoh dalam pemilu
lima tahun mendatang. Sebaliknya, bila pejabat tidak bisa menjalankan tugas
dengan baik, kesan yang terbentuk juga bisa sangat negatif.
Di sinilah argumen tentang hubungan netralitas
birokrasi dengan fungsi partai politik dapat diterima. Netralitas pejabat
negara sangat ditentukan oleh kemampuan partai politik menjalankan fungsinya
secara optimal. Bila parpol tidak mampu memberikan alternatif program
pengembangan dan mobilisasi dukungan, birokrasi akan melaksanakan tugas-tugas
itu sendiri.
Padahal pejabat negara mengemban fungsi
sebagai abdi rakyat dan abdi negara. Itulah sebenarnya konsep monoloyalty yang
sesungguhnya. Bukan seperti yang pernah diterjemahkan secara sepihak oleh
penguasa pada masa lalu.
Upaya Menjaga
Saat ini kondisi menunjukkan peluang
terjadinya perubahan, terutama dalam konfigurasi politik. Di antara rakyat
dan negara terletak posisi pejabat yang menjembatani aspirasi warga negara
kepada kepentingan umum. Berbagai upaya bisa dikembangkan untuk membangun dan
menjaga netralitas pejabat negara.
Pertama, memaknai jabatan sebagai titipan
aspirasi rakyat. Kemenangan dirinya atau partainya tidak bisa lepas dari
peran masyarakat. Tanpa dukungan dari rakyat, tidak mungkin mereka meraih
jabatan publik. Dibangun kesadaran bahwa pejabat negara bukan lagi hanya
representasi kepentingan partai politik, melainkan sudah menjadi milik
seluruh rakyat.
Kedua, komunikasi politik memegang peranan
penting. Perimbangan kekuatan dan kekuasaan bukan untuk dipergunakan bagi
upaya saling menjegal, tidak pula untuk mencari-cari kesalahan. Dibutuhkan
sikap kenegarawanan dari para pejabat negara. Kritik yang mengemuka lebih
kepada upaya membangun kehidupan berbangsa yang lebih baik, yang berujung
pada simpati rakyat.
Ketiga, adanya transparansi dan akuntabilitas.
Kinerja para pejabat publik dituntut memiliki tanggung jawab dan tanggung
gugat kepada rakyat. Kerja profesional menjadi tuntutan kepada para pejabat
negara. Bahkan tidak berhenti pada tataran itu, tetapi juga sampai pada sikap
moral untuk menjalankan amanat jabatan dari seluruh rakyat.
Kini rakyat berharap sikap legawa dari para
pejabat negeri ini. Bukan janji-janji, melainkan bukti bahwa kita memang mau
dan akan berubah lebih baik.
Setumpuk harapan itu kini tertumpu pada para pejabat. Mampukah mereka menjadi negarawan yang akan mengentaskan bangsa ini dari segenap persoalan? Hanya waktulah yang akan mengujinya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar