|
MEDIA
INDONESIA, 31 Januari 2013
BANJIR kembali melanda Jakarta beberapa waktu
yang lalu dan sempat melumpuhkan berbagai aktivitas masyarakat, bahkan
memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Banjir tersebut juga memaksa ribuan
orang mengungsi dari rumah-rumah mereka.
Sebenarnya, di era milenium ini, banjir besar
yang melanda Jakarta bukan terjadi kali ini saja. Kita tentu masih ingat
banjir yang juga sempat melumpuhkan Jakarta pada 2002 dan 2007. Meski
demikian, sebenarnya, banjir bisa dikatakan hampir setiap tahun terjadi di
Jakarta dengan taraf dan intensitas yang berbeda.
Sejatinya bencana banjir itu juga bukan
persoalan unik yang dihadapi Jakarta saja. Berbagai kota di dunia yang juga
dikelilingi sungai-sungai seperti Bangkok, Brisbane, New Orleans, Guandong,
Dresden, dan Taipei juga pernah dihantam banjir meski mereka telah memiliki
infrastruktur pengendali banjir yang memadai, seperti tanggul, dam, dan
kanal-kanal.
Lalu, bagaimanakah seharusnya kita menyikapi
fenomena banjir yang terjadi hampir di setiap musim penghujan tersebut? Apa
saja yang harus dilakukan untuk membangun ketahanan terhadap banjir yang
telah menjadi bagian dari kehidupan kita tersebut?
Secara topografis Jakarta memang terletak di
dataran rendah yang juga menjadi daerah hilir berbagai aliran sungai yang
mengalir melintasi Jakarta sebelum akhirnya menuju laut. Jakarta juga berdekatan
dengan daerah pegunungan di Bogor yang sejak beberapa dekade terakhir juga
dipadati pembangunan kawa
san perumahan dan vila yang selama ini memang
kurang memperhatikan aspek keseimbangan ekologis. Pembukaan dan penggundulan
di kawasan hutan yang semestinya bisa menjadi kawasan penahan air pun tak
terkontrol.
Upaya untuk mengatasi persoalan banjir di
Jakarta pun sebenarnya bukan hal yang baru. Di masa pemerintah kolonial pun
sudah dilakukan pembangunan kanal dan pintu air untuk mengatasi dan mengantisipasi
banjir. Belanda merancang kanalkanal tersebut seperti di kota-kota di negerinya.
Namun, pembangunan kanal untuk menghadapi banjir tersebut juga tidak
sepenuhnya berhasil mengingat secara topografis Jakarta berada di daerah
dataran rendah dengan tekanan gravitasi untuk membantu cepatnya arus air
sangatlah rendah.
Kondisi Jakarta yang secara natural dilintasi
sungai dan berada di dataran rendah tersebut tentunya merupakan suatu
keniscayaan yang tak dapat dimungkiri. Untuk itu, penyikapan terhadap banjir
seyogianya tidak ditempatkan dalam konteks melawan terhadap banjir (against the floods), tetapi bagaimana
seharusnya Jakarta mampu hidup dengan banjir (living with the floods). Untuk itu, diperlukan suatu ketahanan
masyarakat dan pemerintah kota.
Ketahanan kota terhadap banjir didefi nisikan
sebagai kapasitas suatu kota untuk menoleransi banjir dan memiliki kemampuan
untuk mereorganisasi jika keru sakan fisik dan gangguan sosial-ekonomi
terjadi. Itu termasuk kemampuan untuk mencegah jatuhnya korban jiwa dan
cedera. Singkatnya, kota tersebut mampu mempertahankan kondisi sosial
ekonominya pascabanjir (Liao, 2012). Ketahanan suatu kota terhadap banjir
tersebut diukur dari kemampuan kota tersebut untuk menahan dampak akibat
banjir sampai pada ambang batasnya dan mampu mengatasi kondisi yang tidak
diinginkan.
Ada dua argumen kunci mengenai perlunya
membangun ketahanan masyarakat terhadap banjir. Pertama, ketahanan berasal
dari kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan, ketidakpastian, dan
kejutan (Folke, 2003). Menghadapkan manusia dan alam sebagai dua bagian yang
terpisahkan dengan memaksa secara top
down akan menghilangkan ketahanan masyarakat terhadap bencana banjir itu
sendiri. Artinya, jika upaya mengatasi banjir hanya difokuskan dengan upaya fisik
seperti membangun infrastruktur dan membangun fungsi sosial ekonomi
kemasyarakatan yang dipaksakan, hanya akan mengurangi daya tahan masyarakat
terhadap bencana. Harus ada perubahan paradigma manajemen bencana dari safety
against floods menjadi safety at floods.
Kedua, dalam membangun ketahanan masyarakat,
pembangunan secara gradual dan perubahan dinamis sesuai dengan kondisi yang
dihadapi merupakan dua aspek yang saling melengkapi. Jika belajar dari
gangguan terhadap ekosistem, ketahanan akan muncul dari proses pembelajaran
dari gangguan atau kejutan yang dialami. Dengan demikian, bencana banjir bisa
dianggap sebagai agen untuk mendorong terbangunnya ketahanan. Pengalaman dari
bencana yang dialami menciptakan kesempatan bagi pemerintah daerah dan
masyarakatnya untuk menyesuaikan struktur internal mereka, untuk membangun
pengetahuan dan strategi menghadapi banjir yang dapat diakumulasi sepanjang
waktu (Folke, 2006).
Ketahanan terhadap banjir tersebut bisa
diwujudkan dengan terciptanya kota yang mampu mengorganisasikan diri.
Masyarakat dan aparatur kota tersebut dapat bergerak cepat untuk meminimalkan
kerusakan dan korban ketika bencana banjir terjadi. Ketahanan tersebut juga
dapat terwujud dengan terbangunnya kemampuan adaptif. Kemampuan untuk belajar
dan membuat penyesuaian perilaku, kelembagaan, dan kekuatan fisikal untuk
mempersiapkan diri dengan lebih baik sekiranya bencana terjadi lagi. Dengan
demikian, ketika banjir terjadi, telah ada standard operating procedure dan koordinasi yang jelas dari
berbagai pihak baik internal pemerintah daerah maupun elemen-elemen
masyarakat.
Hal yang juga tak kalah pentingnya ialah
edukasi terhadap masyarakat secara terusmenerus untuk menanamkan kesadaran
untuk menghargai lingkungan sebagai bagian dari ekosistem kehidupan yang tidak
terpisahkan. Hidup bersama banjir bukanlah suatu kepasrahan, melainkan
penyikapan bahwa kondisi itu merupakan alat pembelajaran agar tidak perlu
lagi timbul korban dan kerusakan yang tidak diinginkan. Hidup bersama banjir
bukanlah suatu kepasrahan, melainkan penyikapan bahwa kondisi itu merupakan
alat pembelajaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar