|
SUARA
KARYA, 01 Februari 2013
Hak asasi manusia (HAM) dimiliki
oleh manusia semata-mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat
atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari
pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain, hak asasi diperoleh
manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang
tidak dapat diabaikan.
Dalam perjalanan HAM fakta yang
kita lihat sekarang masih belum berjalan mulus, tidak sesuai dengan yang kita
harapkan. Dalam kehidupan ini, mayoritas HAM hanya dijadikan alat legitimasi
untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, dan hanya dimonopoli dan berlaku
bagi para oknum-oknum tertentu yang memiliki kepentingan ganda saja. Dengan
demikian, HAM telah berputar haluan dari tujuannya. Maka, diperlukan untuk
menegakkan kembali nilai-nilai HAM, yang tidak merata dan berfungsi lagi bagi
seluruh manusia.
Ini bersamaan dengan lemahnya
pemahaman kita terhadap makna dan pentingnya HAM itu sendiri. Padahal dengan
kedangkalan pemahaman kita terhadap HAM akan membuat kita hanya manut-manut
saja meskipun dijadikan alat untuk formalitas HAM. Tentu itu semua
diakibatkan dari kurangnya sosialisasi tentang HAM terhadap masyarakat awam.
HAM di Indonesia bersumber dan bermuara pada Pancasila. Artinya, HAM mendapat
jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada Pancasila
dimaksudkan bahwa pelaksanaan HAM tersebut harus memperhatikan garis-garis
yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa
Indonesia, melaksanakan HAM bukan berarti melaksanakan dengan
sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang
terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini
disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara
multak tanpa memperhatikan hak orang lain. Jadi, bagaimana kita
memperjuangkan HAM tersebut agar tidak menyalahi HAM orang lain.
Negara RI mengakui dan menjunjung
tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati
melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan
ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan,
dan kecerdasan serta keadilan. Namun, kadang ini hanya berlaku pada para
birokrat saja. Artinya, masyarakat masih tidak sepenuhnya bisa mendapatkan
hak-haknya, misalnya, dalam konteks HAM. Kebebasan untuk berbicara dan
melahirkan pikiran, kebebasan dari kekurangan dan kelaparan. Di sini tidak
semua bangsa Indonesia bisa menyuarakan pendapatnya dan fikirannya, karena
sering tidak direspon, dan kekurangan dan kelaparan masih menjadi beban bagi
bangsa Indonesia. Semua itu karena kurangnya pengawalan HAM yang baik pada
bangsa ini.
Setelah Perang Dunia II, timbullah
keinginan untuk merumuskan hak asasi yang diakui seluruh dunia sebagai standar
universal bagi perilaku manusia. Usaha pertama ke arah standard setting ini
dimulai oleh Komisi Hak Asasi Manusia (Commision on Human Rights) yang
didirikan PPB pada 10 Desember 1948 (Miriam Budiardjo, 2010: 218) sebagai
sejarah awal deklarasi HAM.
Dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang
hak manusia, dijelaskan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib dihormati dijungjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia. (Khadafi, M Si 2012: 160)
Majelis Umum PBB memproklamirkan
Pernyataan Sedunia tentang Hak Asasi Manusia itu sebagai tolak ukur umum
hasil usaha sebagai rakyat dan bangsa, untuk menyerukan semua anggota dan
semua bangsa agar memajukan dan menjamin pengakuan dan pematuhan hak-hak dan
kebebasan-kebebasan yang termasuk dalam pernyataan tersebut. Meskipun bukan
merupakan perjanjian, namun semua anggota PBB secara moral berkewajiban
menerapkannya sehingga yang dicita-citakan oleh semua bangsa dan negara akan
tercapai. Memang, ketika di salah satu negara persoalan HAM kurang mendapat
perhatian maka suatu yang mustahil negara tersebut akan maju dan berkembang.
Jadi, HAM sebenarnya sesuatu yang
ada pada diri manusia dan itu diperlukan untuk selalu diperjuangkan dalam
kehidupan manusia. Karena, sebagai manusia tidak terlepas dari berbagai
ancaman sosial dalam kehidupannya, seperti yang telah tercantum dalam UUD
1945 Pasal 28C yang berbunyi, (1) setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusuia. (2)
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.semua
manusia pasti memiliki cita-cita untuk menjadikan diri yang terbaik, dan
untuk mewujudkan itu, manusia harus memperhatikan HAM yang telah melekat
dalam dirinya.
Dengan memahami kembali
nilai-nilai HAM, maka semua hak kita sebagai manusia dalam berbangsa dan
bernegara akan terpenuhi. Dengan demikian, aspirasi kita akan terwujud
sebagaimana yang kita inginkan bersama. Maka, diperlukan sebuah pemahaman
yang matang terhadap eksistensi HAM. Karena, tanpa kita mengetahui secara
jelas pentingnya HAM bagi kehidupan. Namun, meskipun kita memiliki hak,
sangat sulit bagi kita untuk menjalankan fungsi HAM tersebut. Karena,
bagaimanapun hal tersebut merupakan harga mati bagi umat manusia agar kita
sebagai manusia bisa mencapai kehidupan yang tenteram. Dhus, kita pun bisa
berkreasi dalam kehidupan selama tidak melanggar HAM. Ini mengingat, sekarang
ini era demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar