Sabtu, 02 Februari 2013

Berdamai dengan Banjir


Berdamai dengan Banjir
Hajriyanto Y Thohari ;  Wakil Ketua MPR RI dan Ketua DPP Partai Golkar
SUARA KARYA, 01 Februari 2013

  
Meski APBD DKI 2013 sebesar Rp 49,9 triliun sudah disahkan, namun belasan triliun rupiah di antaranya dialokasikan untuk penanganan banjir. Masalahnya, hingga kini program jangka pendek seperti gerakan kebersihan lingkungan belum dicanangkan serta pengerukan sungai dan situ belum dilakukan. Gorong-gorong dan got-got pun masih pekat dengan lumpur, sementara sampah tetap berserakan di sana-sini.
Memang, kita harus beradaptasi dengan banjir. Bukankah sering kali kita mendengar ajaran dalam kearifan lokal (local wisdom) bahwa kita harus selalu mengembangkan kehidupan yang harmoni dengan manusia, alam, dan Tuhan?
Banjir di Jakarta harus dipandang sebagai fenomena alam. Meskipun banjir ini terjadi akibat rusaknya alam dan lingkungan akibat tangan-tangan manusia, namun banjir nyatanya sudah menjadi fakta alam di Jakarta. Maka, kita harus mulai hidup penuh harmoni dengan banjir. Sudah saatnya kita berdamai dengan banjir dan alam.
Mengapa demikian? Ya, karena nyatanya kita belum mampu mengatasi--apalagi menghentikan--banjir di Jakarta. Sudah berapa gubernur silih berganti mengurus Jakarta dengan segala konsep, rencana, dan janji-janji untuk mengatasinya, baik jangka pendek maupun jangka panjang, tetapi kenyataannya banjir tetap terjadi dengan tingkat keparahan kian meningkat.
Kita tidak perlu saling menyalahkan. Kita tidak perlu berapologi bahwa banjir Jakarta adalah "banjir kiriman". Maka, satu-satunya jalan yang tersisa adalah menyerah dan kemudian berdamai dengan banjir. Banjir di Jakarta itu sudah sama seperti musim dingin ekstrem dan menggigit di Eropa. Tidak ada jalan untuk mengatasi cuaca dingin ekstrem di Barat, kecuali berdamai dengan dingin: mengenakan pakaian tebal (overcoat), makan makanan bergizi, tinggal di rumah berpelindung, menciptakan alat penghangat ruangan, menggunakan moda transportasi yang kedap dingin, dan seterusnya.
Demikian juga dengan kita dan banjir. Banjir sudah menjadi fenomena alam, dan faktor-faktornya terlalu kompleks. Ada faktor alamiah, ada banyak pula karena tangan manusia. Semuanya berakumulasi menjadi satu. Tetapi, apa pun faktor penyebabnya, banjir sudah menjadi kenyataan rutin, periodik, dan pasti terjadi dengan tingkat keparahan makin memburuk dari tahun ke tahun.
Kini, kita memang harus mulai berdamai dengan banjir. Kita harus beradaptasi, bersahabat, dan hidup berdampingan dengan banjir, persis seperti orang Barat menyesuaikan diri dan berdamai dengan musim dingin! Rumah dan bangunan-bangunan di Jakarta harus dibuat tinggi-tinggi, mungkin harus seperti rumah-rumah kolong. Demikian juga dengan moda kendaraan juga harus dibuat tinggi, misalnya roda mobil mesti setinggi 3-4 meter. Jalan-jalan juga harus dibuat tinggi-tinggi atau bertingkat. Biarlah tingkat dasar di atas tanah dihuni oleh air banjir. Kita harus mulai hidup di atas air. Mungkin mirip kota Vinisia (Venice): moda transportasi juga perlu disesuaikan dengan kota air, kota banjir. Untuk berjalan di musim banjir, kita mungkin memerlukan alat semacam egrang.
Banjir adalah kawan kita, sahabat kita, dan saudara kita. Banjir adalah tetangga kita, tetangga dekat kita. Kita harus saling menyapa dan saling bertoleransi dengan banjir. Ayo, kita warga Jakarta, mulai berdamailah dengan banjir. Semoga.


1 komentar: