Mengawali tahun 2013, pasar saham
Indonesia— sejak masa pembukaan sampai akhir pekan pertama—mengalami
kenaikan terus-menerus hingga mencapai 4.410 atau naik sebesar 2,16 persen.
Akhir pekan lalu bahkan mencapai 4.452,98.
Kinerja pasar saham Indonesia ini jauh
lebih dominan dibandingkan bursa regional, baik Singapura, Malaysia, maupun
Thailand. Kinerja ini hanya sedikit lebih rendah dibandingkan bursa
Filipina. Meski dalam pekan berikutnya mengalami fluktuasi, tetapi dengan
kecenderungan meningkat, bursa Indonesia dalam tahun ini diprediksi akan
tumbuh 17 persen.
Dengan dukungan kondisi ekonomi
makro yang cukup kuat dan target inflasi tahun ini 4,9 persen, Bank
Indonesia pada Januari kemarin tetap mempertahankan suku bunga acuan (BI
rate) yang berlaku sejak awal tahun lalu, 5,75 persen. Sebagai
konsekuensinya, pasar uang dan pasar obligasi juga akan memberikan imbal
hasil yang rendah.
Dalam era suku bunga rendah
seperti ini, pasar saham akan jadi tujuan utama investasi. Dengan nilai
kapitalisasi Rp 982,6 triliun, atau sekitar 24 persen dari nilai
kapitalisasi pasar saham di Indonesia, secara umum saham-saham BUMN punya
prospek sangat bagus jika dibandingkan dengan saham-saham sektor swasta dan
di pasar saham regional. Selain didukung oleh fundamental yang kuat,
kinerja imbal hasilnya selama ini juga lebih besar.
Imbal Hasil Tinggi
Masa penjualan saham pada pasar
perdana (IPO) selalu jadi momentum yang ditunggu-tunggu para investor untuk
melakukan investasi di bursa saham. Hal ini karena para investor dapat
memperoleh saham dengan harga murah (underpricing) sehingga berharap
mempunyai kesempatan mendapat potensi imbal hasil investasi tinggi pada
hari pertama perdagangan (initial abnormal return). Kondisi ini terjadi
karena adanya ketidaksamaan dalam penguasaan informasi sehingga
underpricing diperlukan sebagai insentif agar investor yang tidak menguasai
informasi tetap tertarik untuk berinvestasi di pasar saham (Rock, 1986).
Dalam proses IPO ke-18 BUMN sejak
1991 hingga 2012, secara umum para investor telah memperoleh initial return
sebesar 11,21 persen. Angka ini jauh lebih menarik dibandingkan yang
diperoleh dari saham-saham perusahaan swasta yang secara keseluruhan hanya
memberikan imbal hasil 2,78 persen. Namun, tingkat underpricing pada
saham-saham BUMN tersebut masih tergolong sangat efisien dibandingkan
dengan yang terjadi di negara lain di kawasan, seperti Hongkong dan
Malaysia.
Dalam proses IPO 26 BUMN China
kepada para investor asing melalui bursa saham di Hongkong periode Juli
1993-Maret 1997, imbal hasil yang diperoleh investor pada hari pertama
perdagangan rata-rata 13,61 persen (Cheng, 2010). Sementara, rata-rata
imbal hasil hari pertama perdagangan saham di Malaysia 135 persen (Sufar,
1993) dengan tingkat underpricing pada saham perusahaan negara lebih besar
dibandingkan saham perusahaan swasta (Paudyal et. al., 1998).
Di Korsel, tingkat underpricing
yang terjadi pada saham yang masuk bursa dalam periode 1980-2009 adalah
63,5 persen dan untuk Singapura dalam periode 1973-2008 adalah 27,4 persen.
Adapun initial return yang diperoleh investor dalam berinvestasi melalui
mekanisme IPO di Malaysia dan Taiwan dalam periode 1980-2006 masing-masing
69,6 dan 37,2 persen.
Kinerja Jangka Panjang
Sebagai akibat dari tingginya
optimisme para investor terhadap prospek saham-saham baru yang akan dijual
kepada publik, pada saat tingkat ekspektasinya kembali normal, harga saham
cenderung turun dan imbal hasil dalam jangka panjang menjadi negatif
(Ritter, 1991).
Meski terdapat saham BUMN yang
saat ini masih mengikuti pola ini, seperti Krakatau Steel, secara
keseluruhan saham-saham BUMN dalam jangka panjang justru mencatatkan
pertumbuhan sangat signifikan. Dalam periode tiga, lima, dan tujuh tahun
setelah masa pencatatan, saham BUMN rata-rata memberikan imbal hasil 141
persen, 242 persen, dan 534 persen. Sementara itu, kelompok saham swasta
rata-rata memberikan imbal hasil 4 persen, minus 6 persen dan 20 persen.
Fenomena ini ternyata tak terjadi
di Korsel dan Malaysia. Kinerja jangka panjang saham-saham di Korsel yang
masuk bursa saham periode 1980-1990 mempunyai rata-rata imbal hasil positif
2,0 persen, sementara di Malaysia periode 1978-1983 imbal hasil jangka
panjang 18,2 persen.
Fenomena seperti yang ditunjukkan
Ritter terjadi di Hongkong dan Singapura. Saham yang dicatatkan di bursa
Hongkong periode 1978-1983 dalam jangka panjang mengalami fenomena long term underperformance anomaly
tersebut, dengan imbal hasil rata-rata negatif 9,3 persen. Adapun
saham-saham yang dikeluarkan 39 emiten di Singapura periode 1978-1983
mempunyai imbal hasil negatif 2,7 persen (Dawson, 1987).
Pada awalnya, investor, baik
domestik maupun asing, sangat berharap dengan rencana pemerintah
memprivatisasi atau menjual saham PT Pegadaian, PT Posindo, dan PT Semen
Baturaja ke publik dapat direalisasikan tahun ini sehingga dapat lebih
mendorong pertumbuhan pasar saham. Namun, dengan adanya penegasan Menteri
BUMN bahwa pemerintah tak jadi melakukan privatisasi terhadap PT Pegadaian
dan PT Posindo tahun ini (Kompas, 25/1) investor sangat kehilangan potensi
memperoleh imbal hasil menarik dari pengeluaran saham BUMN itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar