Rabu, 06 Februari 2013

Keunggulan Komparatif Saham BUMN


Keunggulan Komparatif Saham BUMN
Taufik Hidayat ;   Praktisi Investor Institusi
KOMPAS, 06 Februari 2013


Mengawali tahun 2013, pasar saham Indonesia— sejak masa pembukaan sampai akhir pekan pertama—mengalami kenaikan terus-menerus hingga mencapai 4.410 atau naik sebesar 2,16 persen. Akhir pekan lalu bahkan mencapai 4.452,98.
Kinerja pasar saham Indonesia ini jauh lebih dominan dibandingkan bursa regional, baik Singapura, Malaysia, maupun Thailand. Kinerja ini hanya sedikit lebih rendah dibandingkan bursa Filipina. Meski dalam pekan berikutnya mengalami fluktuasi, tetapi dengan kecenderungan meningkat, bursa Indonesia dalam tahun ini diprediksi akan tumbuh 17 persen.
Dengan dukungan kondisi ekonomi makro yang cukup kuat dan target inflasi tahun ini 4,9 persen, Bank Indonesia pada Januari kemarin tetap mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) yang berlaku sejak awal tahun lalu, 5,75 persen. Sebagai konsekuensinya, pasar uang dan pasar obligasi juga akan memberikan imbal hasil yang rendah.
Dalam era suku bunga rendah seperti ini, pasar saham akan jadi tujuan utama investasi. Dengan nilai kapitalisasi Rp 982,6 triliun, atau sekitar 24 persen dari nilai kapitalisasi pasar saham di Indonesia, secara umum saham-saham BUMN punya prospek sangat bagus jika dibandingkan dengan saham-saham sektor swasta dan di pasar saham regional. Selain didukung oleh fundamental yang kuat, kinerja imbal hasilnya selama ini juga lebih besar.
Imbal Hasil Tinggi
Masa penjualan saham pada pasar perdana (IPO) selalu jadi momentum yang ditunggu-tunggu para investor untuk melakukan investasi di bursa saham. Hal ini karena para investor dapat memperoleh saham dengan harga murah (underpricing) sehingga berharap mempunyai kesempatan mendapat potensi imbal hasil investasi tinggi pada hari pertama perdagangan (initial abnormal return). Kondisi ini terjadi karena adanya ketidaksamaan dalam penguasaan informasi sehingga underpricing diperlukan sebagai insentif agar investor yang tidak menguasai informasi tetap tertarik untuk berinvestasi di pasar saham (Rock, 1986).
Dalam proses IPO ke-18 BUMN sejak 1991 hingga 2012, secara umum para investor telah memperoleh initial return sebesar 11,21 persen. Angka ini jauh lebih menarik dibandingkan yang diperoleh dari saham-saham perusahaan swasta yang secara keseluruhan hanya memberikan imbal hasil 2,78 persen. Namun, tingkat underpricing pada saham-saham BUMN tersebut masih tergolong sangat efisien dibandingkan dengan yang terjadi di negara lain di kawasan, seperti Hongkong dan Malaysia.
Dalam proses IPO 26 BUMN China kepada para investor asing melalui bursa saham di Hongkong periode Juli 1993-Maret 1997, imbal hasil yang diperoleh investor pada hari pertama perdagangan rata-rata 13,61 persen (Cheng, 2010). Sementara, rata-rata imbal hasil hari pertama perdagangan saham di Malaysia 135 persen (Sufar, 1993) dengan tingkat underpricing pada saham perusahaan negara lebih besar dibandingkan saham perusahaan swasta (Paudyal et. al., 1998).
Di Korsel, tingkat underpricing yang terjadi pada saham yang masuk bursa dalam periode 1980-2009 adalah 63,5 persen dan untuk Singapura dalam periode 1973-2008 adalah 27,4 persen. Adapun initial return yang diperoleh investor dalam berinvestasi melalui mekanisme IPO di Malaysia dan Taiwan dalam periode 1980-2006 masing-masing 69,6 dan 37,2 persen.
Kinerja Jangka Panjang
Sebagai akibat dari tingginya optimisme para investor terhadap prospek saham-saham baru yang akan dijual kepada publik, pada saat tingkat ekspektasinya kembali normal, harga saham cenderung turun dan imbal hasil dalam jangka panjang menjadi negatif (Ritter, 1991).
Meski terdapat saham BUMN yang saat ini masih mengikuti pola ini, seperti Krakatau Steel, secara keseluruhan saham-saham BUMN dalam jangka panjang justru mencatatkan pertumbuhan sangat signifikan. Dalam periode tiga, lima, dan tujuh tahun setelah masa pencatatan, saham BUMN rata-rata memberikan imbal hasil 141 persen, 242 persen, dan 534 persen. Sementara itu, kelompok saham swasta rata-rata memberikan imbal hasil 4 persen, minus 6 persen dan 20 persen.
Fenomena ini ternyata tak terjadi di Korsel dan Malaysia. Kinerja jangka panjang saham-saham di Korsel yang masuk bursa saham periode 1980-1990 mempunyai rata-rata imbal hasil positif 2,0 persen, sementara di Malaysia periode 1978-1983 imbal hasil jangka panjang 18,2 persen.
Fenomena seperti yang ditunjukkan Ritter terjadi di Hongkong dan Singapura. Saham yang dicatatkan di bursa Hongkong periode 1978-1983 dalam jangka panjang mengalami fenomena long term underperformance anomaly tersebut, dengan imbal hasil rata-rata negatif 9,3 persen. Adapun saham-saham yang dikeluarkan 39 emiten di Singapura periode 1978-1983 mempunyai imbal hasil negatif 2,7 persen (Dawson, 1987).
Pada awalnya, investor, baik domestik maupun asing, sangat berharap dengan rencana pemerintah memprivatisasi atau menjual saham PT Pegadaian, PT Posindo, dan PT Semen Baturaja ke publik dapat direalisasikan tahun ini sehingga dapat lebih mendorong pertumbuhan pasar saham. Namun, dengan adanya penegasan Menteri BUMN bahwa pemerintah tak jadi melakukan privatisasi terhadap PT Pegadaian dan PT Posindo tahun ini (Kompas, 25/1) investor sangat kehilangan potensi memperoleh imbal hasil menarik dari pengeluaran saham BUMN itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar