Parlemen adalah ”biduk yang
dikayuh” Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
Kedua lembaga itu dirancang
mengayuh bersama agar biduk melaju seimbang. Namun, faktanya biduk parlemen
didominasi ”kayuhan politik” DPR, sedangkan DPD mengayuh dengan
”dayung patah”. Dayung patah yang dimiliki DPD merupakan analogi terhadap
kewenangan yang tak berfungsi semestinya. Ketentuan UU MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (MD3) dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) hanya
memberi DPD kewenangan mengusulkan rancangan UU berkaitan dengan kedaerahan
kepada DPR. Tak lebih tak kurang! Itu sebabnya berkembang pendapat,
alih-alih jadi lembaga legislatif, DPD hanyalah ”pembantu” DPR di parlemen.
Sekali lagi, ibarat penumpang biduk dengan dayung patah!
Karamnya Bikameral
Kondisi itulah yang membuat DPD
mengajukan pengujian UU MD3 dan UU PPP ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para
senator (baca: anggota DPD) memohon kepada MK untuk melibatkan DPD secara
aktif pada seluruh tahapan pembahasan UU dari proses pengusulan hingga
persetujuan. Meski permohonan ”maha penting” itu luput dari liputan media,
jika dikabulkan, putusan MK akan mengubah arah biduk parlemen. Dari semula
DPR sangat an sich menjadi dua kamar parlemen yang sama kuat (strong
bicameral).
Umumnya, parlemen berkamar ganda
terdiri dari kamar-tinggi (upper house) dan kamar-rendah (lower house).
Kedunya punya posisi sama kuat dalam pembentukan UU. Di AS, kamar-tinggi
(Senat) dan kamar-rendah (House of Representative) punya kewenangan sama
kuat dalam pembentukan UU.
Pembatasan kewenangan kamar-tinggi
lumrah terjadi pada beberapa negara kerajaan dengan sistem pemerintahan
parlementer. Inggris dan Kanada adalah contoh bagaimana kewenangan
kamar-tinggi dibatasi dalam pembentukan UU, tetapi kamar-tinggi diberi
kekuasaan lain. House of Lords, kamar-tinggi di Inggris, bahkan merangkap
sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi. Secara filosofi, pembatasan
kewenangan kamar-tinggi berkaitan dengan ide kedaulatan rakyat di parlemen.
Meski anggota kamar-tinggi di Inggris dan Kanada diangkat oleh
ratu/gubernur jenderal, mereka tak dianggap sebagai perwakilan langsung
rakyat. Itu sebabnya fungsi pembentukan UU menjadi kewenangan kamar-rendah,
House of Common, yang dipilih melalui pemilu.
Oleh karena itu, tidak tepat
melihat keberadaan DPD berdasarkan sistem Inggris dan Kanada. Selain
berbeda bentuk negara, setidaknya terdapat dua alasan DPD tidak dapat
disamakan dengan House of Common Inggris. Pertama, DPD dipilih secara
langsung. Bahkan, pemilihan DPD lebih murni sebagai representasi rakyat
dibandingkan pemilihan DPR yang ”terkontaminasi” kepentingan parpol. Kedua,
Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial sebagaimana diterapkan
di Amerika.
Bahkan, di banyak negara yang
menganut sistem presidensial dengan dua kamar parlemen, kewenangan seimbang
antara kamar-tinggi dan kamar-rendah merupakan ciri penting negara hukum.
Keseimbangan dan kesetaraan kedudukan (checks and balances) ini dapat
terlihat dari seimbangnya fungsi dan kewenangan dua kamar di parlemen.
Ketimpangan kewenangan antar-kamar
di parlemen pada dasarnya bertentangan dengan ciri penting konsepsi negara
hukum. Albert Venn Dicey dan Immanuel Kant berkeyakinan, dalam negara hukum
mekanisme checks and balances harus diterapkan. Lord Bingham bahkan
mengecam setiap langkah politik kebijakan yang tak menghormati konsepsi
negara hukum (baca Gerhard van der Schyff, 2010).
Langkah DPD membenahi pelanggaran
konsepsi negara hukum ke MK merupakan pilihan penting. Tak hanya karena
mustahil berharap pada DPR untuk membenahi UU itu, tetapi juga penting bagi
publik mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di parlemen. Pada beberapa
sidang di MK, terungkap beberapa ”borok” parlemen. Misalnya, tabiat DPR
dalam mengundang DPD untuk membahas sebuah RUU.
DPD sering mendapat undangan rapat
dari DPR dalam hitungan jam sebelum rapat dimulai. Birokrasi seperti itu,
selain menunjukkan alpanya profesionalitas, juga memperlihatkan rendahnya
posisi DPD di mata DPR. Di persidangan MK terungkap pula dugaan aspirasi
rakyat yang dikumpulkan DPD acap dikalahkan kepentingan parpol anggota DPR.
Karut-marut dua kamar parlemen
dapat dibenahi melalui putusan MK. Putusan itu tinggal menunggu hitungan
hari yang akan menentukan arah biduk parlemen puluhan tahun ke depan.
Mungkinkah MK membiarkan DPD terus mengayuh dengan dayung patah atau akan terjadi
reformasi penting dalam ranah legislasi nasional? Jika putusan MK
progresif, parlemen akan berlabuh pada kepentingan rakyat. Namun, jika MK
berbeda pendapat, bukan tidak mungkin biduk bikameral akan karam.
Putusan MK
Sejauh pengamatan penulis, MK banyak
memutus pengujian UU yang mengubah peradaban hukum Tanah Air, bahkan yang
berkaitan dengan posisi DPD di dalam parlemen pun pernah diputus MK. Hal
ini dapat dibaca dalam putusan MK Nomor 117/PUU-VII/2009 terkait hak
pencalonan anggota DPR dan DPD sebagai ketua MPR. Dalam putusan ini,
majelis hakim MK menyatakan, kedudukan DPR dan DPD setara sebagai lembaga
perwakilan. MK tentu akan konsisten dengan cara pandang dalam putusan ini.
Kuat dugaan akan terjadi reformasi parlemen lewat putusan MK, kecuali jika
hakim MK terjebak ”sejarah masa lalu” bersama DPR.
Bagaimanapun, sebagian besar hakim
MK merupakan pilihan DPR dan/atau pernah jadi anggota DPR. Namun, prasangka
itu menjadi tak berdasar jika melihat status negarawan yang di sandang
hakim MK. Apalagi, beberapa hakim akan mengakhiri masa jabatannya, yang tentu
mereka akan menutup kariernya melalui putusan bersejarah bagi pembenahan
parlemen Tanah Air. Mari kita tunggu ”gebrakan” MK berikutnya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar