DEWASA ini bangsa Indonesia
mengalami krisis tanggung jawab. Dalam setiap kasus yang terkuak di
masyarakat, orang-orang yang terlibat di dalamnya ramai-ramai beretorika
untuk menyangkal keterlibatan mereka. Meskipun demikian, sesungguhnya tidak
sulit untuk menentukan penanggung jawabnya. Agar tidak ada lempar tanggung
jawab, perlu analisis pola kepemimpinan mereka sehingga jelas tanggung
jawab masing-masing.
Salah satu pola kepemimpinan yang digunakan
di Indonesia ialah kepemimpinan kolektif-kolegial. Pada awalnya,
kepemimpinan kolektif kolegial diterapkan ketika pemimpin dari sebuah
entitas menunjuk beberapa tokoh dan ahli dari anggota entitas tersebut
untuk duduk bersama pada status dan posisi yang sama dalam mengelola
entitasnya. Melalui dinamika politik, hal tersebut berkembang menjadi
pemerintahan dengan Sistem Yuncta. Dalam konteks itu, sesungguhnya pola
kepemimpinan yang kolektif dan kolegial terkait erat dengan
pertanggungjawaban pimpinan sebuah entitas yang dilakukan secara kolektif
dan kolegial juga.
Kepemimpinan kolektif kolegial di era
reformasi banyak dipakai sebagai konsep kepemimpinan, yang dimunculkan
dalam berbagai perundang-undangan yang mengatur beberapa lembaga negara atau
lembaga lainnya. Sebagai contoh, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU), dan Bank Indonesia (BI).
Kolektif
dan Kolegial di BI
Pada Bank Indonesia, kepemimpinan yang
kolektif dan kolegial jelas sekali dirumuskan dalam UU No 23/1999 tentang
Bank Indonesia Pasal 1 angka 1 yang berbunyi, `Dewan Gubernur adalah pemimpin
Bank Indonesia' dan Pasal 36 yang menyatakan, `Dalam melaksanakan tugasnya
Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur'. Pasal 37 ayat 1 menyebutkan,
`Dewan Gubernur terdiri atas seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur
Senior, dan sekurang-kurangnya 4 (empat) orang dan sebanyakbanyaknya 7
(tujuh) orang Deputi Gubernur'. Dalam Pasal 38 ayat 1 dinyatakan, `Dewan
Gubernur melaksanakan tugas dan wewenang Bank Indonesia sebagaimana
ditetapkan dalam undang-undang ini'.
Adapun Pasal 43 ayat 1 mengatur tentang
Rapat Dewan Gubernur yang harus dilaksanakan untuk menetapkan kebijakan
umum di bidang moneter. Itu untuk melaksanakan evaluasi dalam kebijakan
moneter serta menetapkan kebijakan lain yang prinsipiil dan strategis.
Dengan demikian, segala kebijakan yang diambil Dewan Gubernur melalui
sebuah Rapat Dewan Gubernur mengandung makna bahwa kebijakan tersebut ialah
kebijakan pimpinan BI yang bersifat kolektif dan kolegial. Oleh karena itu,
harus menjadi tanggung jawab yang kolektif dan kolegial juga.
Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, terdapat
lima temuan besar atas kasus PT Bank Century Tbk (Bank Century). Yaitu, 1)
proses merger dan pengawasan Bank Century oleh BI; 2) pemberian fasilitas
pendanaan jangka pendek (FPJP); 3) penetapan Bank Century sebagai bank
gagal berdampak sistemis dan penanganannya oleh Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS); 4) penggunaan dana FPJP dan penyertaan modal sementara (PMS); serta
5) praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaranpelanggaran ketentuan oleh
pengurus bank, pemegang saham, dan pihak-pihak terkait dalam pengelolaan
Bank Century yang merugikan Bank Century.
Pada proses akuisisi dan merger Bank
Danpac, Bank Pikko, dan Bank CIC menjadi Bank Century, BPK berpendapat BI bersikap
tidak tegas dan tidak pruden dalam menetapkan aturan dan pelaksanaannya. Selain
itu, BI bertindak tidak tegas terhadap pelanggaran atas berbagai peraturan
yang dilakukan Bank Century selama 2005-2008. Dalam hal ini, BI membiarkan
Bank Century melanggar peraturan BI (PBI) dengan cara melakukan rekayasa
akuntansi sehingga seolah-olah Bank Century masih memenuhi kecukupan modal.
Dalam proses pemberian FPJP, BPK
menyimpulkan perubahan PBI sebagai syarat agar Bank Century dapat
memperoleh FPJP adalah hasil rekayasa. Selain itu, pelaksanaan pemberian
FPJP dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan pelaksanaan PBI dimaksud.
Rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) Bank Century posisi
31 Oktober 2008 (sebelum persetujuan FPJP) sudah mencapai minus 3,53%.
Dalam proses penetapan Bank Century sebagai
bank gagal berdampak sistemis, BPK menyimpulkan BI tidak memberikan
informasi yang sesungguhnya, lengkap, dan mutakhir mengenai kondisi Bank
Century saat menyampaikan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak
sistemis kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Rapat
Dewan Gubernur
Kebijakan Bank Indonesia untuk
mengambil langkah-langkah yang prinsipiil dan strategis sebagaimana
dimaksud tadi jelas harus merupakan keputusan yang diambil Rapat Dewan
Gubernur (RDG) BI. Rapat tersebut dihadiri anggota Dewan Gubernur Bank
Indonesia yang sah atau sekurang-kurangnya dihadiri lebih dari separuh
anggota Dewan Gubernur BI. Oleh karena itu, semua anggota Dewan Gubernur BI
yang hadir dalam RDG harus bertanggung jawab secara kolektif dan kolegial
atas kebijakan-kebijakan yang diambil.
Untuk mengetahui peran dan
tanggung jawab setiap anggota Dewan Gubernur BI, harus dimulai dengan
melakukan penelitian atas laporan (minutes),
risalah rapat, dan kertas kerja (initial
papers atau apa pun istilahnya), serta pencarian keterangan di seputar
RDG yang membahas kasus-kasus tersebut dan proses pengambilan keputusannya.
Melalui penelitian itu, bisa diketahui pendapat dan saran setiap anggota
Dewan Gubernur BI. Bisa diketahui juga apa saja porsi dan peran peserta
rapat dan siapa yang menyiapkan secara teknis data yang diperlukan untuk
rapat dan mengambil keputusan-keputusan itu. Bisa saja RDG salah menentukan
kebijakan karena data yang disajikan staf dalam rapat tersebut tidak valid
dan tidak reliable, bahkan
menyesatkan atau disesatkan.
Berdasarkan uraian dan kondisi secara
keseluruhan atas kasus Bank Century beserta tahapan proses yang ada,
penarikan simpulan bahwa Gubernur BI bertanggung jawab secara personal atas
kasus Bank Century akan lebih tepat dilakukan setelah ada penelitian secara
teliti dan hati-hati (prudent)
terhadap jalannya RDG.
Selain itu, dalam konteks kepemimpinan yang
kolektif dan kolegial, pengambilan putusan beserta implikasi atau akibat
dari pelaksanaan putusan tersebut menjadi tanggung jawab yang bersifat
kolektif dan kolegial juga. Di sisi lain, kita tentu tidak boleh menafikan
adanya perbuatan melawan hukum dan konflik kepentingan yang
melatarbelakangi pengambilan keputusan tersebut. Misalnya ada peserta rapat
yang menerima janji atau pemberian sehingga mengambil keputusan yang
menguntungkan pemilik Bank Century atau pihak-pihak lainnya. Dengan uraian
tersebut, menjadi jelas untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas
terjadinya kasus Bank Century. Tidak ada lagi yang bisa menyangkal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar