Setelah dihujani kritik tajam tentang kurikulum 2013, Kemendikbud
dikritik lagi sebagai kementerian dengan kesadaran hukum paling rendah
(Utomo Dananjaya, Kompas, 1/2, dalam opininya, ”Pendidikan dan Konstitusi”).
Wajar bila kementerian atau lembaga yang banyak bersinggungan dengan
urusan masyarakat luas mendapat sorotan, kritik, bahkan tuntutan hukum.
Kemendikbud akhir-akhir ini sering menjadi obyek kritik, tetapi tak berarti
ia paling buruk atau lemah kesadaran hukumnya.
Kemendikbud mengurus hal yang bersinggungan hampir dengan setiap
orang atau keluarga. Kita tahu banyak kementerian yang jarang diberitakan
dan dibicarakan, bahkan kita tak tahu apa yang mereka lakukan. Berapakah
dari kita tahu yang dilakukan Kementerian Koperasi atau Kementerian Sosial?
Begitu juga personel menteri yang paling banyak melakukan perubahan
(meski kadang tak berhasil), pasti dia paling sering dihujani komentar dan
kritik. Mau aman dari kritik? Duduk manis. Namun, bukan itu yang dibutuhkan
negara ini. Lebih baik berbuat sesuatu yang diyakini benar meski banyak
dikritik.
Tidak Tepat
Ketika Utomo menyatakan Kemendikbud adalah kementerian yang paling
lemah kesadaran hukumnya, kita tahu pernyataan itu tidak tepat. Kita bisa
membandingkannya dengan kementerian lain yang tidak mendapat tuntutan hukum
dari masyarakat atau kementerian lain yang tak kedengaran kabar apa yang ia
lakukan. Mungkin di sana pelanggaran hukum lebih besar.
Mestinya, fakta-fakta dari lembaga setingkat harus dilihat lebih
akurat. Kasus yang disampaikan dalam tulisan itu sebagai bukti kerendahan
kesadaran hukum pun tak tepat. Pertama, pemerintah (mungkin juga DPR) tak
melaksanakan amanat konstitusi, tak mengalokasikan 20 persen APBN untuk
dana pendidikan. Jelas, ini domain pemerintah pusat, bukan Kemendikbud.
Mengapa Kemendikbud yang disalahkan? Kedua, kasus pembubaran pelaksanaan
ujian nasional (UN) yang sudah sampai ke tingkat kasasi. Kalau MA menolak
adanya UN, apakah di sekolah tak akan dilakukan evaluasi untuk menentukan
kelulusan? Lalu, bagaimana bentuk jaminan mutu pendidikan di sekolah?
Tentu
Kemendikbud punya banyak alasan melakukan itu. Tak semua siswa atau
masyarakat menolak UN. Fakta bahwa UN punya kelemahan, itu harus diakui dan
akan terjadi jika diganti dengan sistem lain. Ketika Kemendikbud punya ide
UN dibuat beda untuk Jawa dan luar Jawa, buru-buru satu daerah dari
Indonesia timur protes bahwa mereka tidak mau dikelasduakan.
Dalam hal RSBI, mestinya harus dipilah antara UU dan pelaksanaan.
Dalam pelaksanaan, banyak sekolah berkategori RSBI memungut biaya mahal,
mestinya bukan UU-nya yang disalahkan. Benarkah pemerintah memberi dana dan
mengistimewakan RSBI? Mungkin benar, tetapi rasanya wajar sekolah bagus
mendapat dana lebih karena memang dana diberikan berdasarkan kriteria mutu.
Itu juga terjadi dalam pelaksanaan pendidikan tinggi. Universitas
bermutu akan cenderung dapat bantuan lebih besar, baik melalui penelitian
maupun sumbangan khusus untuk, misalnya, dapat akreditasi internasional.
Kenapa tak semua perguruan tinggi negeri mendapatkannya? Tak benar RSBI
membatasi rakyat miskin sekolah di sana. Semua siswa bisa masuk asal
memenuhi syarat akademis. Kalau di RSBI Jakarta terjadi pungutan besar, di
Surabaya itu tak terjadi. Ini jelas bukan soal UU, tetapi implementasi.
Yang dituntut mestinya bukan UU-nya.
Untuk kasus lain bisa juga diberikan argumentasi akademik. Kita perlu
melengkapi kerangka berpikir kita bahwa pengadilan tak selalu mengambil
keputusan cukup obyektif. Pengadilan tidak sedang mengadili kasus pidana
atau perdata yang lebih jelas hitam putihnya. Mengadili kebijakan dan
aturan tentu sangat bergantung pada kondisi persidangan, misalnya saksi
ahli yang diundang. Jika saksi yang didatangkan tak obyektif, putusan yang
diambil bisa tak obyektif. Masyarakat juga perlu menimbang apakah suatu
kebijakan perlu diajukan ke pengadilan dari sisi kemanfaatan dan
kerugiannya bagi masyarakat luas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar