Claude Lefort (1988) pernah menulis bahwa demokrasi meninggalkan
bayangan organis yang ada di dalam rezim otoriter sehingga lokus kekuasaan
menjadi sebuah ruang hampa.
”
Ditopang oleh penghapusan
penanda-penanda kepastian”, dalam demokrasi rakyat mengalami ”indeterminasi fundamental”. Keadaan
ini berlangsung dalam demokrasi elektoral. Ketika demos berarti voters,
kita tidak dapat memastikan kehendak demos
itu lepas dari kekuatan-kekuatan bisnis-politis yang mengendalikan voters. Akibatnya, demokrasi
elektoral sulit mewujudkan definisi demokrasi, yaitu pemerintahan oleh yang
diperintah karena demos dikendalikan kuasa segelintir orang superkaya yang
sejak Aristoteles disebut ”oligarki”. Sampai menjelang Pemilu 2014 ini,
demokrasi kita tidak juga menjauh dari moncong oligarki.
Preferensi Dalam Demokrasi
Setelah Orde Baru tumbang, Indonesia menempuh jalan demokratisasi.
Ada lima preferensi politis atau gambaran tentang good life untuk mengisi demokrasi
menurut Michael Walzer (1995), yaitu komunitas politis, ekonomi kooperatif,
pasar bebas, kebangsaan, dan masyarakat warga (civil society). Di bawah tekanan krisis ekonomi parah 1998,
Indonesia pasca- Soeharto meninggalkan kebangsaan sebagai preferensi
dan mengambil preferensi lain, yaitu pasar bebas. Perubahan ini
mengakibatkan—Lefort lagi—mutasi tatanan simbolis masyarakat kita.
”Gramatika kepentingan bangsa” dalam preferensi kebangsaan bermutasi
menjadi ”gramatika kepentingan diri” dalam preferensi pasar. Ketika pasar
menjadi paradigma dalam mengelola negara, mulai terjadi kekaburan
batas-batas antara negara dan pasar, politik dan ekonomi, perilaku
kenegarawanan dan perilaku bisnis.
Masalah dalam preferensi pasar adalah orang datang ke pasar dengan
sumber-sumber yang tidak setara sehingga terjadi marjinalisasi. Segelintir
orang superkaya yang menguasai pasar ikut menentukan arah politik sehingga
pasar bebas membuka peluang untuk formasi oligarki bisnis-politis. Pasar
sebagai preferensi politis menjadi skandal bagi solidaritas. Pendidikan dan
pelayanan kesehatan dikomersialkan sehingga kian sulit dijangkau rakyat.
Media massa terjerat logika industri sehingga kian kurang mencerminkan
aspirasi publik. Gerakan LSM terfragmentasi dan sibuk dengan donor mereka
sehingga tak mampu beroposisi terhadap preferensi pasar itu sendiri.
Dengan pasar sebagai preferensi, partai-partai politik sebagai pilar
demokrasi juga berperilaku bagai perusahaan bisnis yang menjual produk,
yaitu kandidat mereka. Seperti dianalisis Andreas Ufen (2009),
partai-partai itu berkembang menjadi ”partai-partai kartel”, yakni partai
yang melekat pada negara, teralienasi dari masyarakat, dan didominasi oleh
para pejabat publik. Di bawah kuasa elite partai dengan kepribadian
otoriter, para kader mereka kurang memiliki akses dalam pengambilan
keputusan. Yang terbangun di dalamnya bukan demokrasi, melainkan oligarki
dengan uang—bukan solidaritas—sebagai motivator induk. Bagaimana
partai-partai kartel yang secara internal belum demokratis ini bisa
mendemokratisasi sistem politis dan masyarakat?
Melihat ke dalam detail, kita akan menemukan yang lebih
menggelisahkan. Wabah korupsi yang berjangkit di kepemimpinan partai
membeberkan bagaimana hukum kita bukanlah aturan bagi kesetaraan, melainkan
dianggap sebagai aturan pembagian kekayaan antar-oligark melalui
”bagi-bagi” jarahan. Bahkan, demokrasi perwakilan di DPR dalam praktik
lebih mencerminkan kuasa suatu kalangan terbatas yang menghadapi demos
bukan sebagai tujuan, melainkan alat memperkaya diri. Tak salah jika
pengamat luar seperti Jeffrey A Winters (2011) menyebut demokrasi kita
”demokrasi kriminal”.
Di Indonesia, agama dianggap solusi untuk segala problem, tentu saja
termasuk skandal solidaritas yang diakibatkan oleh pasar. Oleh
kelompok-kelompok tertentu, agama diambil sebagai preferensi untuk
mengatasi amoralitas pasar. Demokrasi dan sekularisme dianggap penyebab
dekadensi akhlak dan iman. Kalangan Islam politis bertekad mencangkokkan
syariah ke dalam sistem hukum modern. Justru lewat demokrasi, jumlah daerah
yang melakukan formalisasi syariah dalam bentuk perda meningkat. Apakah
dengan cara itu skandal solidaritas dapat diatasi?
Jawabnya, tidak. Menyimpang dari nilai-nilai inklusif negara hukum
modern, perda-perda syariah dianggap diskriminatif terhadap perempuan dan
kelompok berkeyakinan lain. Bahkan, ketika berhasil menyelinap ke tingkat
nasional dalam bentuk UU, regulasi religius seperti itu dapat merusak
toleransi beragama. Agama yang dijadikan preferensi politis tak dapat
mengatasi skandal solidaritas, melainkan menghasilkan skandal lain, yaitu
skandal bagi pluralitas. Dari perspektif demokratisasi, sukses implementasi
syariah di tingkat lokal merupakan ironi karena ruang kebebasan dan
kesetaraan yang dibuka oleh gerakan reformasi justru diisi dengan penolakan
atas kebebasan dan kesetaraan dengan alasan religius. Yang diuntungkan dari
gerak melawan kebebasan dan kesetaraan ini tentu saja bukan demos,
melainkan segelintir orang yang tahu bagaimana memainkan simbol-simbol
religius untuk meraih kepatuhan warga. Sebagai politik, bahasa agama tak
lagi autentik karena berubah jadi alat manipulasi massa. Dengan cara itu
pula, agama sebagai preferensi politis tak kebal dari kepentingan
predatoris segelintir orang.
”Quo vadis” demokrasi?
Ada alasan kuat untuk menilai bahwa Indonesia pasca-Soeharto jauh
berbeda dari Indonesia era Soeharto. Di samping kebebasan pers, penghapusan
dwifungsi militer, penegakan HAM, dan sebagainya, pergantian rezim secara
damai adalah prestasi demokrasi yang sangat penting. Namun, yang dihasilkan
itu baru wadah kosong, yaitu formasi sistem demokratis. Alih-alih etos
demokratis, etos oligarkis yang telah ada sejak Orba mengisi wadah baru
itu. Mereka yang mendapat kekuasaan terlegitimasi lewat pemilu mendapat
fasilitas untuk membangun kerajaan-kerajaan kepentingan privat mereka.
Jika demokrasi dimengerti sebagai pemerintahan oleh demos, harus
dikatakan bahwa kita tidak sedang menuju ke sana, melainkan menuju sebentuk
demokrasi dengan isi kekuasaan-kekuasaan oligarkis. Kita boleh berbagi
dengan pendapat Jacques Ranciere dalam The Hatred of Democracy bahwa ”kita
tidak hidup dalam demokrasi-demokrasi”, melainkan ”dalam negara-negara
dengan hukum oligarkis”. Jadi, masalah sesungguhnya bukan preferensi,
melainkan para oligark yang menggunakan preferensi itu untuk kepentingan
predatoris mereka.
Oligarki bisa dibatasi oleh hukum, tetapi jika legislasi hukum tak
berasal dari masyarakat warga, melainkan dari kekuatan oligarkis, hukum itu
justru akan memberdayakan oligarki. Tak mungkin demos dilepaskan dari
moncong oligarki jika yang riil memerintah para oligark bisnis-politis.
Karena itu, sukses demokratisasi tak hanya diukur dengan sukses pemilu,
melainkan juga sukses penguatan masyarakat warga. Agama dan pasar hanya
mewujudkan kesetaraan eksklusif untuk kalangan tertentu, entah kalangan
berpunya atau kalangan sepaham. Mencakup semua preferensi, masyarakat warga
berjuang untuk kesetaraan inklusif yang membatasi formasi oligarki.
Mengingat impotennya sistem hukum dan masih lemahnya masyarakat di
Indonesia, melepaskan demos dari moncong oligarki masih seperti wishful thinking. Namun, bukankah
demokratisasi sebuah perjuangan bersama? Pemerintahan mana pun yang
terbentuk setelah Pemilu 2014 harus punya komitmen tak hanya untuk
menguatkan sistem negara hukum, melainkan juga memberdayakan institusi
masyarakat. Tanpa komitmen itu, demokrasi hanya akan mengumpankan demos ke
dalam moncong oligarki sebagaimana terjadi sampai saat ini. Itulah sebabnya
keadaan kita masih saja bisa dilukiskan lewat judul novel Christopher Koch,
The Year of Living Dangerously. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar