Salah satu masalah besar yang mungkin kita hadapi bersama di masa
depan adalah kehidupan antarumat beragama. Agama—yang diyakini kebenarannya
di atas ideologi—sebagai bekal keyakinan perjalanan kerohanian setiap
manusia mungkin akan saling bersinggungan, bahkan saling berbenturan.
The Clash of Civilization,
sebagaimana diramal Samuel Huntington, tidak saja antara Barat (baca:
Kristiani) dan Islam, tetapi juga antarumat beragama apa pun. Di lingkungan
internal suatu agama sekalipun, misalnya antara Sunni dan Syiah. Mengerikan
menyebut contoh: kejadian seperti itu sudah menyertai kehi- dupan kita
sehari-hari, baik di luar maupun di dalam negeri.
Dapatkah kita menyampaikan idealisasi kehidupan keberagamaan kita
dengan contoh pengalaman pribadi masing-masing agar terwujud kehidupan
antarumat beragama yang rukun dan damai? Setiap pemeluk agama mestinya
yakin agamanya untuk seluruh umat manusia sehingga harus selalu bertanya:
mengapa harus mengambil risiko konflik dengan pemeluk agama lain?
Beberapa Contoh
Suatu hari kami melakukan perjalanan ke luar negeri bersa- ma tokoh
antarumat beragama. Untuk menghemat biaya hotel, rombongan kami ditempatkan
berdua dalam satu kamar. Saya sekamar dengan tokoh agama lain. Begitu masuk
kamar, dia berkata, ”Jangan enggan kalau saatnya shalat meskipun saya
sedang tidur.” Kalimat sederhana itu menyadarkan saya bahwa tokoh agama
lain pun mengingatkan shalat saya.
Seorang sahabat, putrinya menikah dengan seorang pria Muslim. Sahabat
itu begitu ikhlas menyerahkan putrinya menikah dengan seorang pria Muslim
secara Islam. Ketika menjelang pernikahan, sebagaimana syarat nikah, harus
ada ritual yang dijalani dan juga pemberian mahar. Ia ikut mencarikan mahar
bagi putrinya. Sahabat itu bertanya, ”Mahar apa sebaiknya?” Ia mendengar
cerita, di luar wujud materi adalah seperangkat alat shalat. Apa maknanya?
Atas permintaannya, dengan senang hati saya membantu menjelaskan mengapa
seperangkat alat shalat.
Suatu hari saya dan sejumlah teman berkunjung ke satu daerah ketika
baru saja terjadi konflik antarumat beragama. Di tempat konflik, kami
bertemu tokoh agama setempat. Kami berdialog secara terbuka, mendengar
keluhan mereka. Mengapa banyak didirikan gereja di daerah yang mayoritas
Muslim?
Ternyata ada pemahaman yang belum lengkap terhadap saudara-saudara
kita umat Kristiani Protestan yang memang perlu gereja sendiri. Ada gereja
HKBP dan juga ada gereja lain bagi umat Kristiani lainnya. Gereja itu
kecil-kecil, hanya menampung beberapa puluh jemaah. Hal ini berbeda dengan
umat Islam atau Katolik, di mana setiap masjid atau gereja Katolik terbuka
bagi seluruh umatnya sehingga baik masjid maupun gereja Katolik bangunannya
lebih luas. Umat Katolik di wilayah itu, untuk kebaktian di gereja cukup
jauh. Inilah pangkal konflik antarumat beragama di daerah itu.
Pada April 2012, kami melakukan kunjungan ke Amerika Serikat. Warga
Muslim di AS ternyata masih sangat kekurangan masjid, juga tempat
pendidikan agama bagi anak-anak Muslim. Ternyata mendirikan masjid di AS
tidak semudah yang dibayangkan. Untuk belajar Islam, organisasi masyarakat
Muslim Indonesia di Washington menyewa sekolah pada hari Minggu.
Untuk shalat Jumat, kita bisa shalat di gereja atau sinagoge. Hal ini
dimungkinkan berkat adanya kerja sama antarpemimpin umat beragama. Shalat
Jumat di sebuah gereja di Washington bahkan berlangsung sampai tiga kali di
altar gereja itu, mengingat banyak umat Islam yang hendak melaksanakan
ibadah shalat Jumat. Hal ini mengesankan hubungan antarpemimpin umat
beragama di AS cukup baik.
Di masjid di New York, untuk membina hubungan baik itu, antara lain
diselenggarakan dialog terbuka antara ulama Islam, pastor, dan rabi di
depan para jemaah masjid. Tentu masih ada gangguan kerukunan antarumat beragama.
Bila Anda ke Eropa, terkesan betapa besar peran agama dalam
penyelenggaraan negara di waktu lalu. Raja-raja di Eropa menjadikan simbol
gereja sebagai lambang pemerintahannya. Gereja di Eropa begitu megah
berdiri di samping istana raja. Namun, di Eropalah gerakan protes yang
memisahkan agama dari negara. Bahkan, ada gerakan yang mengatakan agama
candu bagi masyarakat.
Banyak warga Eropa yang kemudian terpaksa keluar disebabkan perbedaan
agama. Di Amerika mereka membawa gagasan memisahkan agama dari negara, yang
kemudian melahirkan negara sekuler. Sisa-sisa peran agama dalam
penyelenggaraan negara berupa keberadaan partai yang masih membawa bendera
nama agama. Agama hanya menjadi sumber etika berpolitik.
Catatan di atas dapat jadi renungan bersama bagaimana kita mencegah
konflik antarumat beragama di Indonesia, di dunia.
Wasit
Kepercayaan terhadap adanya kekuasaan gaib, atau yang di atas, adalah
universal, ada pada setiap manusia di mana saja, baik melalui agama maupun
budaya. Semuanya mengajarkan kehidupan yang luhur tanpa membedakan
asal-usul, etnisitas, warna kulit, ataupun tingkat sosial agar rukun dan
damai.
Fenomena ini mengesankan bahwa semuanya mengajarkan bagaimana kita
bisa hidup bermasyarakat di tengah masyarakat yang plural. Inilah
(barangkali) esensi yang harus diwujudkan setiap pemeluk agama. Pendidikan
agama dengan demikian sangat penting. Esensinya, meski ada perbedaan imani,
ada persamaan dalam pengamalannya. Terjemahannya, apalagi pelaksanaannya,
mungkin tidak mudah. Namun, kalau keliru, akan menjadi bom waktu konflik
kemanusiaan.
Konflik ini berangkat dari sikap merasa benar sendiri yang ditengarai
lahirnya kelompok ekstrem di setiap agama, yang selama ini sering membuat
kegaduhan sampai terorisme. Pendekatan budaya sangat penting. Mungkin perlu
disepakati landasan dialog antarumat beragama, baik di tingkat nasional
maupun internasional, sehingga kita semua mampu mencegah konflik antarumat
beragama.
Apa yang harus dilakukan? Mengesankan, selain harus dibudayakan, juga
mungkin diperlukan wasit. Wasit itu negara. Memisahkan agama sepenuhnya
dari penyelenggaraan negara bisa memberi peluang kebebasan pelecehan agama
di mana negara tidak bisa berbuat apa-apa. Hal itu dianggap bagian dari
kebebasan mengeluarkan pendapat, sesuai dengan prinsip demokrasi yang
dianut. Sedangkan melibatkan nilai-nilai agama dalam penyelenggaraan negara
bisa berdampak sebagaimana di Eropa Barat, yang melahirkan gerakan protes
kemudian paham pemisahan agama dari negara.
Di sinilah relevansi Negara Pancasila yang dikatakan sebagai ”bukan
negara sekuler dan bukan negara agama”. Negara bisa menjadi wasit jika
terjadi konflik antarumat beragama melalui pendekatan budaya ataupun proses
pendidikan agama sebagai landasan pembentukan budi pekerti dan karakter
bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar