Sabtu, 23 Februari 2013

Idealisasi Kehidupan Keberagamaan


Idealisasi Kehidupan Keberagamaan
Sulastomo Mantan Ketua Komisi Kerukunan Antar-Umat Beragama
Majelis Ulama Indonesia
KOMPAS, 23 Februari 2013


Salah satu masalah besar yang mungkin kita hadapi bersama di masa depan adalah kehidupan antarumat beragama. Agama—yang diyakini kebenarannya di atas ideologi—sebagai bekal keyakinan perjalanan kerohanian setiap manusia mungkin akan saling bersinggungan, bahkan saling berbenturan.

The Clash of Civilization, sebagaimana diramal Samuel Huntington, tidak saja antara Barat (baca: Kristiani) dan Islam, tetapi juga antarumat beragama apa pun. Di lingkungan internal suatu agama sekalipun, misalnya antara Sunni dan Syiah. Mengerikan menyebut contoh: kejadian seperti itu sudah menyertai kehi- dupan kita sehari-hari, baik di luar maupun di dalam negeri.

Dapatkah kita menyampaikan idealisasi kehidupan keberagamaan kita dengan contoh pengalaman pribadi masing-masing agar terwujud kehidupan antarumat beragama yang rukun dan damai? Setiap pemeluk agama mestinya yakin agamanya untuk seluruh umat manusia sehingga harus selalu bertanya: mengapa harus mengambil risiko konflik dengan pemeluk agama lain?

Beberapa Contoh

Suatu hari kami melakukan perjalanan ke luar negeri bersa- ma tokoh antarumat beragama. Untuk menghemat biaya hotel, rombongan kami ditempatkan berdua dalam satu kamar. Saya sekamar dengan tokoh agama lain. Begitu masuk kamar, dia berkata, ”Jangan enggan kalau saatnya shalat meskipun saya sedang tidur.” Kalimat sederhana itu menyadarkan saya bahwa tokoh agama lain pun mengingatkan shalat saya.

Seorang sahabat, putrinya menikah dengan seorang pria Muslim. Sahabat itu begitu ikhlas menyerahkan putrinya menikah dengan seorang pria Muslim secara Islam. Ketika menjelang pernikahan, sebagaimana syarat nikah, harus ada ritual yang dijalani dan juga pemberian mahar. Ia ikut mencarikan mahar bagi putrinya. Sahabat itu bertanya, ”Mahar apa sebaiknya?” Ia mendengar cerita, di luar wujud materi adalah seperangkat alat shalat. Apa maknanya? Atas permintaannya, dengan senang hati saya membantu menjelaskan mengapa seperangkat alat shalat.

Suatu hari saya dan sejumlah teman berkunjung ke satu daerah ketika baru saja terjadi konflik antarumat beragama. Di tempat konflik, kami bertemu tokoh agama setempat. Kami berdialog secara terbuka, mendengar keluhan mereka. Mengapa banyak didirikan gereja di daerah yang mayoritas Muslim?

Ternyata ada pemahaman yang belum lengkap terhadap saudara-saudara kita umat Kristiani Protestan yang memang perlu gereja sendiri. Ada gereja HKBP dan juga ada gereja lain bagi umat Kristiani lainnya. Gereja itu kecil-kecil, hanya menampung beberapa puluh jemaah. Hal ini berbeda dengan umat Islam atau Katolik, di mana setiap masjid atau gereja Katolik terbuka bagi seluruh umatnya sehingga baik masjid maupun gereja Katolik bangunannya lebih luas. Umat Katolik di wilayah itu, untuk kebaktian di gereja cukup jauh. Inilah pangkal konflik antarumat beragama di daerah itu.

Pada April 2012, kami melakukan kunjungan ke Amerika Serikat. Warga Muslim di AS ternyata masih sangat kekurangan masjid, juga tempat pendidikan agama bagi anak-anak Muslim. Ternyata mendirikan masjid di AS tidak semudah yang dibayangkan. Untuk belajar Islam, organisasi masyarakat Muslim Indonesia di Washington menyewa sekolah pada hari Minggu.

Untuk shalat Jumat, kita bisa shalat di gereja atau sinagoge. Hal ini dimungkinkan berkat adanya kerja sama antarpemimpin umat beragama. Shalat Jumat di sebuah gereja di Washington bahkan berlangsung sampai tiga kali di altar gereja itu, mengingat banyak umat Islam yang hendak melaksanakan ibadah shalat Jumat. Hal ini mengesankan hubungan antarpemimpin umat beragama di AS cukup baik.

Di masjid di New York, untuk membina hubungan baik itu, antara lain diselenggarakan dialog terbuka antara ulama Islam, pastor, dan rabi di depan para jemaah masjid. Tentu masih ada gangguan kerukunan antarumat beragama.

Bila Anda ke Eropa, terkesan betapa besar peran agama dalam penyelenggaraan negara di waktu lalu. Raja-raja di Eropa menjadikan simbol gereja sebagai lambang pemerintahannya. Gereja di Eropa begitu megah berdiri di samping istana raja. Namun, di Eropalah gerakan protes yang memisahkan agama dari negara. Bahkan, ada gerakan yang mengatakan agama candu bagi masyarakat.

Banyak warga Eropa yang kemudian terpaksa keluar disebabkan perbedaan agama. Di Amerika mereka membawa gagasan memisahkan agama dari negara, yang kemudian melahirkan negara sekuler. Sisa-sisa peran agama dalam penyelenggaraan negara berupa keberadaan partai yang masih membawa bendera nama agama. Agama hanya menjadi sumber etika berpolitik.

Catatan di atas dapat jadi renungan bersama bagaimana kita mencegah konflik antarumat beragama di Indonesia, di dunia.

Wasit

Kepercayaan terhadap adanya kekuasaan gaib, atau yang di atas, adalah universal, ada pada setiap manusia di mana saja, baik melalui agama maupun budaya. Semuanya mengajarkan kehidupan yang luhur tanpa membedakan asal-usul, etnisitas, warna kulit, ataupun tingkat sosial agar rukun dan damai.

Fenomena ini mengesankan bahwa semuanya mengajarkan bagaimana kita bisa hidup bermasyarakat di tengah masyarakat yang plural. Inilah (barangkali) esensi yang harus diwujudkan setiap pemeluk agama. Pendidikan agama dengan demikian sangat penting. Esensinya, meski ada perbedaan imani, ada persamaan dalam pengamalannya. Terjemahannya, apalagi pelaksanaannya, mungkin tidak mudah. Namun, kalau keliru, akan menjadi bom waktu konflik kemanusiaan.

Konflik ini berangkat dari sikap merasa benar sendiri yang ditengarai lahirnya kelompok ekstrem di setiap agama, yang selama ini sering membuat kegaduhan sampai terorisme. Pendekatan budaya sangat penting. Mungkin perlu disepakati landasan dialog antarumat beragama, baik di tingkat nasional maupun internasional, sehingga kita semua mampu mencegah konflik antarumat beragama.

Apa yang harus dilakukan? Mengesankan, selain harus dibudayakan, juga mungkin diperlukan wasit. Wasit itu negara. Memisahkan agama sepenuhnya dari penyelenggaraan negara bisa memberi peluang kebebasan pelecehan agama di mana negara tidak bisa berbuat apa-apa. Hal itu dianggap bagian dari kebebasan mengeluarkan pendapat, sesuai dengan prinsip demokrasi yang dianut. Sedangkan melibatkan nilai-nilai agama dalam penyelenggaraan negara bisa berdampak sebagaimana di Eropa Barat, yang melahirkan gerakan protes kemudian paham pemisahan agama dari negara.

Di sinilah relevansi Negara Pancasila yang dikatakan sebagai ”bukan negara sekuler dan bukan negara agama”. Negara bisa menjadi wasit jika terjadi konflik antarumat beragama melalui pendekatan budaya ataupun proses pendidikan agama sebagai landasan pembentukan budi pekerti dan karakter bangsa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar