DI dalam teori politik dikatakan, pemerintah memiliki
fungsi untuk ‘memasarkan’ potensi yang dimiliki suatu wilayah untuk
kepentingan masyarakat seluas-luasnya. Fungsi tersebut memberikan
legitimasi tersendiri kepada pemerintah untuk berperan serta dan aktif di
dalam bisnis.
Sejarah mencatat hal itu telah diterapkan Indonesia sejak usia dini
kemerdekaannya. Berbagai sektor strategis dikuasai negara secara signifi kan
dengan melibatkan pe ranan marginal sektor swasta.
Namun, seiring dengan waktu dan dinamika kondisi ekonomi politik di Indonesia,
berbagai sektor yang dinilai strategis mengalami penataan ulang atau
deregulasi yang memungkinkan peranan lebih besar dari pihak swasta dalam
pengelolaannya. Peranan pemerintah bergeser menjadi penentu rambu-rambu dan
pengawas sektor tersebut.
Transisi tersebut dinilai kondusif sejalan dengan kondisi yang ada.
Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri pemerintah memiliki peran penting dalam
mendorong masuknya investasi atau kapital dan menciptakan iklim investasi
yang kondusif agar roda perekonomian terus berjalan.
Kondisi yang berkembang saat ini ialah pemerintah belum mampu
memberikan jamin an keamanan berusaha bagi investor baik asing maupun lokal
untuk mengembangkan usaha di daerah. Tiga hal yang menghantui para investor
dan para pionir yang mengembangkan usaha di suatu daerah tak juga kunjung
terjawab: kepastian hukum dan jaminan keamanan, kondisi infrastruktur
pendukung, serta birokrasi yang simpel, cepat, dan transparan.
Ironisnya, kondisi itu diperburuk dengan maraknya kasus-kasus
kontroversial yang melibatkan pemerintah dan sektor swasta akibat dampak
kebijakan otonomi daerah. Menurut temuan Kementerian Dalam Negeri pada Mei
2012, sekitar 173 kepala daerah tersangkut kasus hukum. Dengan kata lain,
sepertiga kepala daerah di Indonesia bermasalah. Realitas itu cukup
menyedihkan karena otonomi daerah justru melenceng dari fungsinya untuk
menyejahterakan rakyat.
Ambil contoh, kasus hukum yang menimpa Siti Hartati Murdaya sebagai
pionir usaha yang membuka lahan kelapa sawit di Kabupaten Buol sejak
pertengahan 1990-an. Pada September 2010 dan Mei 2012, terjadi tindakan
anarkis di wilayah tersebut yang hanya bisa dihentikan setelah pihak swasta
membayar pungli pada oknum setempat. Pungli terpaksa dipenuhi karena
perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar jika terus berhenti
beroperasi.
Ironis jika hal itu dianggap penyuapan karena terdapat indikasi kuat
dari praktik pemerasan. Hal itu merupakan realitas yang menyedihkan karena
terlihat bahwa negara justru tidak bisa menjaga keamanan wilayahnya dan
pebisnis dijadikan sapi perah oleh kepala daerah. Situasi dilematis seperti
itu bisa menjadi ancaman bagi iklim usaha pada umumnya. Tentunya pengusaha
akan menjadi takut berinvestasi ke daerah terpencil karena tidak ada
ketidakpastian hukum.
Jika kondisi tersebut dapat menimpa pengusaha Siti Hartati Murdaya
yang dikenal sebagai pengusaha papan atas nasional, tokoh lintas agama, dan
politik, pernahkah muncul di benak kita bagaimana perlindungan keamanan
berusaha diberikan kepada pengusaha kecil dan menengah dalam mengembangkan
usaha nya di daerah?
Sejak otonomi daerah digulirkan, ternyata tidak banyak memperbaiki
kondisi sektor riil di daerah, terutama UKM yang masih sulit berkembang
akibat buruknya infrastruktur yang menghambat pertumbuhan investasi serta
jaminan keamanan berusaha. Di sisi lain, kebijakan dan regulasi pemerintah
daerah juga belum bisa mendukung sektor riil dengan mayoritas APBD
digunakan untuk belanja rutin. Hampir tidak ada anggaran untuk insentif
bagi pengembangan sektor usaha produktif tersebut.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dicatat di atas kisaran
6% per tahun tidak ditopang kekuatan sektor riil. Hal itu ibarat ‘doping’
yang memiliki efek interim. Ironisnya, kondisi tersebut dapat disiasati
dengan mengoptimalkan sektor UKM yang berpotensi menjadi katalis
pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor itu mampu menyerap tenaga kerja
informal, membuka peluang ceruk pasar baru di daerah, dan memiliki nilai
tambah dalam bentuk multiplier effect kepada usaha-usaha sejenis di
industri yang sama.
Solusi dari kondisi tersebut dapat diawali dengan menelaah kembali
fungsi pemerintah dalam ‘memasarkan’ potensi yang dimiliki suatu wilayah
untuk kepentingan masyarakat seluas-luasnya. Konsekuensinya, pemerintah
harus mampu memberikan jaminan keamanan berusaha sebagai daya tarik
investasi, baik kepastian hukum, infrastruktur, maupun birokrasi yang
efektif.
Spirit otonomi daerah harus disokong nilai kompetitif guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas pembangunan manusia di
daerah. Di sisi lain, pemberantasan korupsi merupakan hal mutlak yang harus
terus diperjuangkan negeri ini.
Kombinasi di antara kedua hal tadi perlu dilengkapi sistem peradilan
tindak pidana korupsi yang adil. Jika fakta persidangan membuktikan
pengusaha menjadi korban pungli, tidak perlu ada tekanan bagi hakim untuk
membebaskan pengusaha dari jerat hukuman. Keputusan yang adil seperti itu
akan memberikan kepastian usaha bagi pengusaha di era otonomi daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar