Kamis, 07 Februari 2013

Karut-marut Infrastruktur


Karut-marut Infrastruktur
Joseph Henricus Gunawan  ;   Pengamat Sosial-Ekonomi,
Alumnus University of Southern Queensland (USQ), Australia
SUARA KARYA, 06 Februari 2013


Indonesia masih terbentur masalah klasik yang selalu menghantui, yakni terbengkalainya pembangunan infrastruktur. Hal ini tetap menjadi titik lemah iklim investasi di Indonesia, walaupun Indonesia sudah memiliki Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Diperlukan investasi infrastruktur transportasi sebesar Rp 1.626 triliun demi mendukung pencapaian target rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional 6,3 persen per tahun pada periode 2010-2014, namun saat ini kesiapan pemerintah mendanai hanya sebesar Rp 119,7 triliun atau 7 persen dari total dana tersebut dan bergantung pada aliran dana investor dalam maupun luar negeri yang akan menutup Rp 1.506,64 triliun.

Konsistensi dan keseriusan komitmen pemerintah tidak terefleksikan dalam alokasi anggaran karena pada RAPBN 2013, pemerintah hanya mengalokasikan anggaran infrastruktur Rp 188,4 triliun atau sekitar 20 miliar dolar AS. Angka ini hanya 11,36 persen dari total APBN atau 2,28 persen terhadap PDB dan masih harus dibagi ke infrastruktur perhubungan, energi, pertanian, dan perumahan. Pagu anggaran transfer daerah di tahun 2012 dialokasikan sebesar Rp 478 triliun rupiah dan di tahun 2013 naik menjadi Rp 518 triliun. Standar minimal alokasi anggaran pembangunan untuk sektor infrastruktur seharusnya sekitar 5-6 persen dari PDB.

Mayoritas belanja masih tertuju pada pengeluaran yang sifatnya mandatori atau wajib di antaranya subsidi, gaji pegawai negeri, bayar utang, belanja kepentingan aparatur rutin masing-masing daerah, ketimbang anggaran peningkatan potensi ekonomi daerah, pembangunan infrastruktur, maupun belanja modal yang memadai.

Minim

Mangkraknya berbagai proyek infrastruktur akan menghambat derasnya aliran investasi, ekspansi bisnis serta berpotensi menciptakan ketidakpastian dan ekonomi biaya tinggi sekaligus menurunkan daya saing perekonomian nasional. Minimnya ketersediaan infrastruktur di Indonesia ditandai dengan turunnya dua peringkat daya saing infrastruktur Indonesia tahun 2012 di urutan ke-76 dari 142 negara yang disurvei oleh World Economic Forum (WEF).

Pemerintah harus merencanakan, menyiapkan, dan menyediakan infrastruktur dasar yang memadai berupa jaringan irigasi baru, akses masuk, pengelolaan air bersih, pasokan energi, sanitasi, tata ruang, dan berbagai bangunan pelengkap pemukiman. Juga, komponen kualitas infrastruktur meliputi jembatan, pelabuhan, rel kereta api, jaringan jalan, teknologi informasi yang menjadi syarat salah satu kunci sukses bergulirnya dan menghidupkan sektor riil.

Keterlibatan pemerintah dan partisipasi berbagai unsur seluruh komponen bangsa yang memiliki potensi dalam perbaikan dan perumusan strategi kebijakan yang berpihak kepada rakyat untuk mengoptimalkan dan merealisasikan proyek-proyek pembangunan infrastruktur publik, sangat penting. Pembangunan infrastruktur yang bersifat produktif, terintegrasi, baik dan terpadu bakal mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi lebih berkualitas, merata, meningkatkan dan menguatkan konektivitas bagi kegiatan ekonomi nasional karena mempunyai peran krusial dan signifikan dalam mengurangi hambatan dalam bisnis, mempercepat, dan memperluas kemajuan ekonomi di seluruh Nusantara.

Pemerintah harus berakselerasi realisasi pembangunan infrastruktur dalam upaya mendorong investor asing yang memiliki permodalan kuat serta menguasai teknologi yang mumpuni untuk membangun industri program hilirisasi. Tujuannya untuk mengolah aneka macam bahan baku penolong dengan produktivitas dan menjamin kelangsungan pasokan bahan baku industri manufaktur di dalam negeri, mengarah ke pembentukan nilai tambah tinggi menjadi langkah berikutnya serta menggerakkan perekonomian dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Penempatan APBN dan APBD yang berpihak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat miskin (pro poor), penciptaan lapangan kerja (pro job), peningkatan pertumbuhan ekonomi (pro growth), serta ramah lingkungan (pro environment) harus lebih fokus, efektif, tepat waktu, tepat guna, dan tepat sasaran. Selain itu, akselerasi dan tingkat penyerapan anggaran belanja negara perlu diupayakan seoptimal mungkin tersalur ke sektor produktif untuk mendongkrak dan menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional.

Masih banyak hambatan serius terkait pembangunan infrastruktur yang mendesak untuk segera dibenahi. Di antaranya adalah izin tumpang tindih, transparansi bagi hasil, tarif, pengembalian modal, tidak beresnya tata ruang, tidak adanya kepastian hukum, ineffisiensi jalur birokrasi, kendala pembebasan lahan, intervensi, dan bertumpuk serta berbelit-belitnya proses tender.

Ini merupakan pukulan telak karena program reformasi birokrasi dan debottlenecking (menghilangkan sumbatan atau melepaskan hambatan) tidak memperlihatkan hasil optimal mengingat investor lebih tertarik menanamkan modal dan mengembangkan investasi yang menyediakan kemapanan sistem pelayanan dan jaminan kepastian serta penegakan hukum di mana dibutuhkan untuk menciptakan iklim investasi sehat dan melindungi investor.

Pembangunan infrastruktur yang memadai diharapkan mampu mendistribusikan ekonomi rakyat. Karena, pergerakan ekonomi yang diprioritaskan bagi kemajuan produk industri domestik memperoleh keuntungan big multiplier effect. Yakni, menciptakan konektivitas pertumbuhan ekonomi nasional yang diharapkan mampu menstimulasi dan merangsang perekonomian agar tumbuh lebih tinggi, berkualitas, inklusif, berkesinambungan serta berkeadilan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar