Indonesia masih terbentur masalah klasik yang selalu
menghantui, yakni terbengkalainya pembangunan infrastruktur. Hal ini tetap
menjadi titik lemah iklim investasi di Indonesia, walaupun Indonesia sudah
memiliki Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI).
Diperlukan investasi infrastruktur transportasi sebesar
Rp 1.626 triliun demi mendukung pencapaian target rata-rata pertumbuhan
ekonomi nasional 6,3 persen per tahun pada periode 2010-2014, namun saat
ini kesiapan pemerintah mendanai hanya sebesar Rp 119,7 triliun atau 7
persen dari total dana tersebut dan bergantung pada aliran dana investor
dalam maupun luar negeri yang akan menutup Rp 1.506,64 triliun.
Konsistensi dan keseriusan komitmen pemerintah tidak
terefleksikan dalam alokasi anggaran karena pada RAPBN 2013, pemerintah
hanya mengalokasikan anggaran infrastruktur Rp 188,4 triliun atau sekitar
20 miliar dolar AS. Angka ini hanya 11,36 persen dari total APBN atau 2,28
persen terhadap PDB dan masih harus dibagi ke infrastruktur perhubungan,
energi, pertanian, dan perumahan. Pagu anggaran transfer daerah di tahun
2012 dialokasikan sebesar Rp 478 triliun rupiah dan di tahun 2013 naik
menjadi Rp 518 triliun. Standar minimal alokasi anggaran pembangunan untuk
sektor infrastruktur seharusnya sekitar 5-6 persen dari PDB.
Mayoritas belanja masih tertuju pada pengeluaran yang
sifatnya mandatori atau wajib di antaranya subsidi, gaji pegawai negeri,
bayar utang, belanja kepentingan aparatur rutin masing-masing daerah,
ketimbang anggaran peningkatan potensi ekonomi daerah, pembangunan
infrastruktur, maupun belanja modal yang memadai.
Minim
Mangkraknya berbagai proyek infrastruktur akan
menghambat derasnya aliran investasi, ekspansi bisnis serta berpotensi
menciptakan ketidakpastian dan ekonomi biaya tinggi sekaligus menurunkan
daya saing perekonomian nasional. Minimnya ketersediaan infrastruktur di
Indonesia ditandai dengan turunnya dua peringkat daya saing infrastruktur
Indonesia tahun 2012 di urutan ke-76 dari 142 negara yang disurvei oleh World Economic Forum (WEF).
Pemerintah harus merencanakan, menyiapkan, dan
menyediakan infrastruktur dasar yang memadai berupa jaringan irigasi baru,
akses masuk, pengelolaan air bersih, pasokan energi, sanitasi, tata ruang,
dan berbagai bangunan pelengkap pemukiman. Juga, komponen kualitas
infrastruktur meliputi jembatan, pelabuhan, rel kereta api, jaringan jalan,
teknologi informasi yang menjadi syarat salah satu kunci sukses bergulirnya
dan menghidupkan sektor riil.
Keterlibatan pemerintah dan partisipasi berbagai unsur
seluruh komponen bangsa yang memiliki potensi dalam perbaikan dan perumusan
strategi kebijakan yang berpihak kepada rakyat untuk mengoptimalkan dan
merealisasikan proyek-proyek pembangunan infrastruktur publik, sangat
penting. Pembangunan infrastruktur yang bersifat produktif, terintegrasi,
baik dan terpadu bakal mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi lebih
berkualitas, merata, meningkatkan dan menguatkan konektivitas bagi kegiatan
ekonomi nasional karena mempunyai peran krusial dan signifikan dalam
mengurangi hambatan dalam bisnis, mempercepat, dan memperluas kemajuan
ekonomi di seluruh Nusantara.
Pemerintah harus berakselerasi realisasi pembangunan
infrastruktur dalam upaya mendorong investor asing yang memiliki permodalan
kuat serta menguasai teknologi yang mumpuni untuk membangun industri
program hilirisasi. Tujuannya untuk mengolah aneka macam bahan baku
penolong dengan produktivitas dan menjamin kelangsungan pasokan bahan baku
industri manufaktur di dalam negeri, mengarah ke pembentukan nilai tambah
tinggi menjadi langkah berikutnya serta menggerakkan perekonomian dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Penempatan APBN dan APBD yang berpihak kepada
peningkatan kesejahteraan rakyat miskin (pro poor), penciptaan lapangan kerja (pro job), peningkatan pertumbuhan ekonomi (pro growth), serta ramah lingkungan (pro environment) harus lebih fokus, efektif, tepat waktu, tepat
guna, dan tepat sasaran. Selain itu, akselerasi dan tingkat penyerapan
anggaran belanja negara perlu diupayakan seoptimal mungkin tersalur ke
sektor produktif untuk mendongkrak dan menjadi motor pertumbuhan ekonomi
nasional.
Masih banyak hambatan serius terkait pembangunan
infrastruktur yang mendesak untuk segera dibenahi. Di antaranya adalah izin
tumpang tindih, transparansi bagi hasil, tarif, pengembalian modal, tidak
beresnya tata ruang, tidak adanya kepastian hukum, ineffisiensi jalur
birokrasi, kendala pembebasan lahan, intervensi, dan bertumpuk serta
berbelit-belitnya proses tender.
Ini merupakan pukulan telak karena program reformasi
birokrasi dan debottlenecking
(menghilangkan sumbatan atau melepaskan hambatan) tidak memperlihatkan
hasil optimal mengingat investor lebih tertarik menanamkan modal dan
mengembangkan investasi yang menyediakan kemapanan sistem pelayanan dan
jaminan kepastian serta penegakan hukum di mana dibutuhkan untuk
menciptakan iklim investasi sehat dan melindungi investor.
Pembangunan infrastruktur yang memadai diharapkan mampu
mendistribusikan ekonomi rakyat. Karena, pergerakan ekonomi yang
diprioritaskan bagi kemajuan produk industri domestik memperoleh keuntungan
big multiplier effect. Yakni,
menciptakan konektivitas pertumbuhan ekonomi nasional yang diharapkan mampu
menstimulasi dan merangsang perekonomian agar tumbuh lebih tinggi, berkualitas,
inklusif, berkesinambungan serta berkeadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar