SEJAK Januari 2013 pemerintah
mengeluarkan kebijakan melarang impor 6 jenis buah, yaitu pepaya, melon,
durian, nanas, pisang, dan mangga. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan
Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor
Hortikultura, serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012
tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura.
Kebijakan
heroik tersebut untuk melindungi petani domestik dari serbuan produk buah
impor. Impor komoditas itu hanya akan menjatuhkan harga pasar produk
sejenis di dalam negeri. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lonjakan
tinggi nilai impor produk hortikultura, termasuk buah. Tahun 2008, nilai
impor produk hortikultura baru mencapai 881,6 juta dolar AS. Tahun 2011
angka itu meroket menjadi 1,7 miliar dolar AS. Meningkat 100% lebih hanya
dalam waktu 3 tahun.
Dengan
perhitungan matematika sederhana, nominal impor 1,7 miliar dollar AS itu
sama dengan Rp 15,3 triliun (kurs Rp 9.000/dolar AS). Devisa sebesar itu
dapat digunakan untuk membiayai berbagai prasarana umum yang dibutuhkan
masyarakat. Apakah pemerintah telah menyusun road map dan strategi untuk
memacu daya saing produk hortikultura lokal, selain hanya melarang impor?
Citra Buruk
Rendahnya daya
saing buah lokal antara lain disebabkan oleh citra buruk di kalangan
masyarakat. Buah lokal sering dianggap tak menarik, dari segi warna kurang
cerah, dari segi bentuk kurang besar. Rendahnya daya saing buah lokal juga
disebabkan buruknya sarana infrastruktur. Salah satu komponen penyusun
harga produk adalah biaya angkut yang besarnya sangat tergantung dari
kondisi infrastruktur transportasi.
Jeruk atau apel
yang diangkut dari sentra produksi Malang ke Jakarta menempuh jarak ratusan
kilometer. Jika infrastruktur jalan buruk, biaya angkut jadi mahal.
Implikasinya, harga jual jeruk dan apel makin mahal. Itu belum ditambah
dengan pungutan liar di sepanjang jalur Pantura (Jalan Daendels).
Preferensi
sebagian masyarakat yang luar negeri minded juga sangat memengaruhi daya
saing buah lokal. Masyarakat kita cenderung memandang lebih buah-buahan
impor. Jangan heran kalau label luar negeri selalu dilekatkan pada produk
buah-buahan, dari jambu bangkok, durian bangkok, mangga bangkok, dan
masih banyak lagi.
Fenomena booming pepaya california dapat
menjelaskan secara gamblang tentang preferensi masyarakat ini. Tak banyak
diketahui masyarakat, pepaya california yang banyak
dibudidayakan saat ini sebenarnya bernama asli pepaya calina, introduksi
dari Institut Pertanian Bogor (IPB), dan salah satu pemulianya adalah Prof Dr
Ir Sriani Sujiprihati. Pepaya calina merupakan nama lain dari pepaya
IPB-9 yang merupakan salah satu dari beberapa jenis pepaya yang
diintroduksi IPB. Di masyarakat nama calina tidak memiliki nilai jual
menjanjikan. Pedagang buah yang tahu betul preferensi konsumen lalu
mengubah nama pepaya calina menjadi pepaya california yang berbau Amerika.
Pemberian Insentif
Agar kita dapat
membendung serbuan buah impor, dan buah lokal bisa menjadi tuan rumah di
negara sendiri maka pemerintah harus memberi insentif kepada produsen buah
lokal. Insentif antara lain dapat berupa introduksi teknologi produksi
buah. Teknologi gen penentu (gene
marker) memungkinkan kita memproduksi buah sesuai dengan selera
konsumen. Semisal, warna jeruk bisa tetap kuning dan merata sehingga
penampilannya lebih menarik.
Insentif lain
adalah peningkatan dan pembenahan infrastruktur pendukung untuk
menghubungkan akses antarwilayah yang terdiri atas pulau-pulau.
Konektivitas antarwilayah perlu dikembangkan agar produk pertanian lokal
dapat lebih disukai masyarakat. De-ngan dukungan infrastruktur yang memadai
dan bantuan sarana mobil pendingin maka dari segi harga maupun kualitas
buah lokal dapat bersaing dengan buah impor,
Gerakan cinta
buah Nusantara (Gentabuana) perlu dilakukan secara serius dan
berkelanjutan. Gerakan ini harus dimulai dari level tertinggi hingga
terendah. Mulai dari Istana Negara hingga level rumah tangga. Konsumen
cerdas tidak antiproduk impor, tetapi membeli produk impor dengan cara yang
sangat selektif, saat produk tersebut tidak ada substitusinya di Indonesia.
Upaya lain
untuk mendukung pengembangan buah lokal adalah melalui penguatan sistem
karantina dan kepabeanan. Implementasi berbagai peraturan yang ada harus
dioptimalkan. Saat ini telah dikeluarkan tiga Permentan terkait pengetatan
impor produk hortikultura.
Dalam era
perdagangan global seperti sekarang ini keberpihakan terhadap petani
menjadi keharusan etis bagi negara. Anthony Giddens (1999), dalam buku Runaway World telah mengingatkan
bahwa globalisasi perdagangan tidak membentuk perkampungan global
tetapi lebih mirip penjarahan global.
Giddens
mencontohkan, pestisida berbahaya dan benih transgenik yang di negara asal
perusahaan multinasional telah dilarang, namun di negara-negara berkembang
seperti Indonesia justru gencar diintroduksikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar