Menjelang
pemilihan umum kepala daerah Jawa Barat (Jabar) pada 24 Februari nanti,
situasi politik di tanah Pasundan itu kian panas saja. Wajar, karena Jabar
dikenal sebagai barometer politik nasional terpenting kedua sesudah DKI
Jakarta. Apalagi, ajang demokrasi Jabar kali ini menyajikan lima pasangan
calon.
Beserta
para pengusungnya, mereka adalah Dikdik Mulyana–Cecep Thoyib
(perseorangan), Irianto Syaifuddin (Yance)–Tatang Farhanul Hakim (Golkar),
Yusuf Macan Effendi (Dede Yusuf)–Lex Laksamana (Demokrat, PKB, PAN,
Gerindra), Ahmad Heryawan (Aher)–Deddy Mizwar (PKS, PPP, Hanura), dan Rieke
Diah Pitaloka–Teten Masduki (PDIP).
Di
tengah kelima pasangan calon yang akan berlaga ini, tentu timbul pertanyaan
menggelitik: siapa kira-kira yang akan menjadi Jabar Satu nanti?
Sosiologi Emosi
Untuk
memprediksi jawabannya, penggunaan sosiologi emosi bisa menjadi pisau
analisis. Menurut Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973), emosi adalah kata kunci
untuk memahami tindakan manusia. Sementara tradisi sosiologi mengenal
Barbalet, yang mengemukakan dalam Emotion,
Social Theory and Social Structure (1998) bahwa pengalaman emosi suatu
masyarakat mampu menjelaskan sisi terdalam sebuah tindakan sosial.
Juga,
pendekatan sosiologi emosi lebih cocok menjelaskan peristiwa sosial yang
beragam di berbagai tempat. Singkatnya, pendekatan sosiologi emosi lebih
pas dalam menjelaskan tindakan sosial kontekstual seperti tindakan memilih
masyarakat Jawa Barat.
Berpijak
pada kerangka di atas, setidaknya ada lima sentimen emosional dalam diri
para pemilih yang berguna untuk menebak hasil Pilkada Jabar. Pertama,
sentimen tentang rekam jejak, integritas, dan kinerja. Untuk aspek kedua
ini, petahana Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf sebagai duet Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Barat 2008–2013 tentu mampu memetik keunggulan. Ini karena
mereka bisa mengklaim segala prestasi di Jabar sebagai hasil jerih payah
mereka.
Untungnya
pula, tidak banyak catatan hitam mewarnai perjalanan duet ini pada masa
pemerintahan mereka. Berbeda dengan di Jakarta ketika Fauzi Bowo begitu
banyak mengundang kecaman publik dan media karena prestasinya yang buruk:
mulai dari banjir, buruknya transportasi publik, dan lain-lain. Berada di
belakang Aher dan Dede dari segi skor aspek ini adalah Rieke yang banyak mendapat
panggung media ketika terdapat hiruk-pikuk Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN).
Kedua,
sentimen terhadap citra partai politik. Dari segi ini, Dikdik Mulyana punya
keunggulan karena kemuakan masyarakat terhadap partai politik. Di sisi
lain, Rieke juga naik daun karena PDIP sukses menuai simpati sebagai partai
oposisi pro rakyat. Nilai jeblok tentu diraih calon PKS Aher yang partainya
baru dibelit korupsi daging sapi.
Juga,
Dede Yusuf yang Partai Demokrat tempatnya bernaung guncang oleh kasus korupsi
bertubi-tubi. Untungnya, Dede didukung oleh Gerindra yang pamornya juga
sedang mentereng sebagai partai oposisi. Lagipula, sentimen kedua ini
sifatnya sekunder. Ini karena sudah terbukti party ID alias afiliasi
masyarakat terhadap partai ternyata sering tidak sesuai dengan figure ID
atau afiliasi masyarakat terhadap sosok pemimpin.
Ketiga, sentimen
soal pengalaman di birokrasi daerah. Lagi-lagi, Aher dan Dede Yusuf unggul
di sini. Ini karena Aher dan Dede—ditambah wakil Dede, Lex Laksamana yang
merupakan mantan sekretaris daerah—bisa menonjolkan pengalaman mereka
sebagai petahana. Menyusul Yance yang pernah sukses di birokrasi pada level
lebih rendah, yaitu ketika menjabat bupati Indramayu. Ini berbeda dengan
pasangan lain di mana tidak ada yang memiliki bekal pengalaman karier
birokrasi.
Keempat, sentimen
keterkenalan dan citra positif populer karena peran media. Juaranya untuk
sentimen ini adalah calon-calon berlatar belakang petahana atau calon-calon
berlatar belakang selebritas. Utamanya lagi, pasangan Aher sebagai gubernur
dan Deddy Mizwar sebagai pesohor papan atas. Menyusul pasangan Dede
Yusuf–Lex.
Rieke
tentu mendapatkan keuntungan dari sentimen ini, tapi tidak mampu disokong
Teten yang latar belakang LSM-nya membuat Teten praktis hanya dikenal kalangan
intelektual (elite). Sementara itu, yang gagal meraup sentimen ini adalah
Dikdik Mulyana dan Yance.
Kelima,
sentimen terkait nilai-nilai keislaman calon. Meskipun berlatar belakang
plural, Jabar tetap saja provinsi yang terkenal religius dan kental warna
keislamannya. Maka itu, sentimen ini penting bagi Jabar, dan juaranya di
sini adalah pasangan Aher–Deddy Mizwar. Ini karena pasangan tersebutlah
yang diusung oleh mayoritas partai Islam “kanan”.
Tambahan
lagi, Deddy Mizwar selama ini terkenal sebagai selebritas bercitra bersih
yang konsisten membesut film-film Islami yang inspiratif. Menempel pasangan
ini adalah Dede–Lex yang diusung dua partai bercorak Islam: PKB dan PAN.
Sementara Rieke akan kesulitan memanfaatkan sentimen ini sebagai calon
perempuan dari partai “sekuler-nasionalis” seperti PDIP.
Sulit di Atas 30 Persen
Berlandaskan
kelima sentimen itu, dengan asumsi pilkada berlangsung dua putaran karena
banyaknya calon—sehingga menyulitkan calon mana pun meraih suara 30 persen
plus satu yang disyaratkan untuk memenangi pilkada Jabar dalam satu
putaran—maka dua pasangan yang akan maju ke putaran kedua adalah Aher–Deddy
dan Dede–Lex.
Aher
unggul di sentimen calon sipil, rekam jejak, pengalaman birokrasi,
keterkenalan, dan nilai-nilai keislaman. Sementara Dede–Lex menempel ketat
di peringkat kedua dari sentimen yang sama. Lalu, siapa yang akan menang di
putaran kedua? Kita tunggu saja dulu hasil 24 Februari nanti! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar