Mengawali tahun 2013
ini, ekonomi hortikultura Indonesia memperoleh ujian diplomasi yang
mengejutkan. Tanpa banyak diduga sebelumnya, Pemerintah Amerika Serikat
tiba-tiba mengajukan langkah notifikasi dan keberatan kepada Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) atas pembatasan impor produk hortikultura yang
dilakukan Indonesia.
Langkah notifikasi AS juga memuat
keberatan atas pembatasan dan pengaturan impor hewan dan produk hewan.
Kebijakan pembatasan impor hortikultura itu dinilai cukup kompleks bagi
mitra dagang Indonesia dan ditengarai akan menyulitkan ekspor produk
hortikultura (dan daging sapi) dari AS.
Indonesia sedang berupaya membangun dan
mengembangkan hortikultura lokal, setidaknya agar menjadi tuan rumah di negeri
sendiri yang potensi pasarnya demikian besar. Setelah memperoleh tekanan
dari masyarakat, pemerintah pelan-pelan mulai bergerak untuk membangun dan
mendorong kemajuan buah lokal, sayur khas domestik, dan bunga eksotik
domestik, yang pasti memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.
Masyarakat cukup resah terhadap kinerja ekonomi hortikultura yang jauh dari
memadai, apalagi jika dibandingkan dengan potensi dan peluang yang demikian
besar.
Nilai impor produk hortikultura tahun
2007 hanya 798 juta dollar AS, naik menjadi 1,7 miliar dollar AS tahun
2011. Nilai impor produk hortikultura pada Januari-Juli 2012 saja mencapai
1 miliar dollar AS atau setara Rp 10 triliun. Lebih separuh dari nilai
impor hortikultura tahun 2012, yakni 600 juta dollar AS, disumbang oleh
impor buah.
Hal yang memiriskan bahwa impor buah
Indonesia tidak hanya berupa buah subtropis, seperti apel merah, anggur,
pir, dan kiwi, tetapi juga buah tropis yang dimiliki Indonesia, seperti
durian dan nangka. Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan impor yang
dimaksudkan memberikan perlindungan kepada petani hortikultura di dalam
negeri. Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan secara berkala
mengeluarkan beberapa ketentuan impor hortikultura.
Terakhir, versi aturan teknis impor hortikultura
dalam Permentan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Produk
Hortikultura dan Permendag Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor
Produk Hortikultura berlaku September 2012. Proses perumusan kebijakan yang
aktif-dinamis tentu ditanggapi beragam di dalam negeri. Dianalisis secara
ekonomi dan politik kepentingan, periode pemberlakuan yang terus diundur,
hingga bermuara pada pelarangan impor 11 produk hortikultura untuk periode
Januari-Juni 2013.
Kementerian Pertanian tidak merekomendasi
impor untuk enam jenis buah (durian, nanas, melon, pisang, mangga, dan
pepaya), empat jenis sayuran (kentang, kubis, wortel, dan cabai), dan tiga
jenis bunga (krisan, anggrek, dan helicona). Alasan utama bahwa produk
hortikultura yang dihasilkan di dalam negeri masih cukup untuk memenuhi
permintaan produk hortikultura yang ada. Ketentuan impor inilah yang
dinilai membingungkan, tidak hanya oleh eksportir hortikultura atau partner
dagang di luar negeri, juga oleh pelaku usaha di dalam negeri.
Dinamika ekonomi hortikultura ini menjadi
lebih menarik ditelusuri karena justru AS yang resmi melaporkan Indonesia
ke WTO, bukan China yang menjadi pemasok buah impor ke Indonesia. Nilai
impor hortikultura Indonesia dari AS hanya 120 juta dollar AS per tahun.
Tidak lebih 12 persen dari total impor hortikultura. Bahkan, nilai impor
daging Indonesia dari AS juga hanya 3,5 persen dari total daging sapi impor
yang 417 juta dollar AS.
AS terkesan berlebihan saat ”urusan
kecil” seperti itu sampai harus diselesaikan pada tingkat diplomasi ekonomi
melalui lembaga DSB (Dispute Settlement Body). Tidak ada pilihan bagi
Indonesia, kecuali segera menjawab protes AS itu dalam 60 hari, sebelum
meningkat menjadi permintaan arbitrase yang lebih rumit dan menguras
energi.
Indonesia mungkin akan menggunakan
argumen perdagangan adil karena hortikultura belum didaftarkan sebagai
produk khusus sebagaimana beras, jagung, kedelai, dan gula. Ketentuan
klausul proteksi pada produk khusus ini masih dapat dibenarkan WTO
sepanjang untuk ketahanan pangan, pengentasan rakyat miskin, dan
pembangunan pedesaan. Rentang, jenis, dan macam produk hortikultura tentu
terlalu banyak dan beragam untuk didaftarkan sebagai produk khusus. Argumen
”proteksi demi keadilan” masih cukup relevan untuk digunakan sebagai hak
jawab bagi Indonesia dalam menghadapi notifikasi AS tentang ketentuan impor
produk hortikultura.
Nuansa untuk ”menghakimi” kebijakan
pengaturan impor hortikultura Indonesia tampak saat Mari Pangestu
menyampaikan visi-misinya sebagai calon direktur jenderal WTO di Geneva,
Swiss (Kompas,
31/1). Indonesia yang juga Ketua Kelompok 33 Negara Berkembang (G-33) perlu
mampu mengembangkan basis argumen ”perdagangan global yang terbuka, adil,
dan seimbang” demi kepentingan nasional yang lebih luas dan kemajuan negara
berkembang lainnya.
Salah satu contoh sederhana mewujudkan
kepentingan nasional itu adalah tentang konsistensi dan soliditas kebijakan
perdagangan di dalam negeri sendiri. Para diplomat Indonesia perlu paham
bahwa kebijakan negara tentang pengaturan impor produk hortikultura adalah
untuk memberikan perlindungan dan sistem insentif bagi peningkatan produksi
dan produktivitas hortikultura lokal.
Rasa percaya diri korps diplomat ekonomi
atau lebih khusus Tim Perundingan Perdagangan Internasional perlu selalu
ditumbuhkan. Setidaknya bahwa kebijakan pada level koordinasi, teknis
pertanian dan perdagangan merupakan satu kesatuan utuh yang tak dapat
dipecahkan. Para diplomat ini perlu diberikan tambahan pemahaman persoalan
hortikultura nasional, yang terkadang lebih bersifat struktural, mulai dari
teknis-agronomis sampai pada aspek sosial-ekonomi dan perdagangan
internasional.
Kekuatan diplomasi yang paling tangguh
adalah apabila ditopang oleh soliditas kebijakan ekonomi di dalam negeri
dan dukungan penuh masyarakat untuk menunjukkan kewibawaan kebijakan pangan
negara yang sebenarnya.
Terakhir, para perumus kebijakan bidang
pertanian dan perdagangan wajib mewujudkan perbaikan struktur perdagangan
dan distribusi produk hortikultura di dalam negeri. Kebijakan proteksi dan
pembatasan impor seperti sekarang tidak akan membawa dampak kesejahteraan
bagi petani hortikultura jika tak ada langkah nyata di lapangan.
Dukungan pembiayaan bagi petani
hortikultura perlu segera diwujudkan sebelum Juni 2013. Skema pembayaran
pelaku usaha ritel dan supermarket kepada petani perlu disederhanakan,
dengan rentang waktu yang diperpendek, jika perlu secara tunai. Pembenahan
aransemen kelembagaan ini lebih efektif untuk menggairahkan produksi dan
meningkatkan produktivitas hortikultura. Inilah esensi diplomasi ekonomi
hortikultura di pasar domestik yang juga penting. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar