Senin, 04 Februari 2013

Diplomasi Hortikultura Dimulai dari Dalam Negeri


Diplomasi Hortikultura Dimulai dari Dalam Negeri
Bustanul Arifin ;   Guru Besar Unila; Professorial Fellow di InterCAFE dan MB-IPB
KOMPAS, 04 Februari 2013



Mengawali tahun 2013 ini, ekonomi hortikultura Indonesia memperoleh ujian diplomasi yang mengejutkan. Tanpa banyak diduga sebelumnya, Pemerintah Amerika Serikat tiba-tiba mengajukan langkah notifikasi dan keberatan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas pembatasan impor produk hortikultura yang dilakukan Indonesia.
Langkah notifikasi AS juga memuat keberatan atas pembatasan dan pengaturan impor hewan dan produk hewan. Kebijakan pembatasan impor hortikultura itu dinilai cukup kompleks bagi mitra dagang Indonesia dan ditengarai akan menyulitkan ekspor produk hortikultura (dan daging sapi) dari AS.
Indonesia sedang berupaya membangun dan mengembangkan hortikultura lokal, setidaknya agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri yang potensi pasarnya demikian besar. Setelah memperoleh tekanan dari masyarakat, pemerintah pelan-pelan mulai bergerak untuk membangun dan mendorong kemajuan buah lokal, sayur khas domestik, dan bunga eksotik domestik, yang pasti memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Masyarakat cukup resah terhadap kinerja ekonomi hortikultura yang jauh dari memadai, apalagi jika dibandingkan dengan potensi dan peluang yang demikian besar.
Nilai impor produk hortikultura tahun 2007 hanya 798 juta dollar AS, naik menjadi 1,7 miliar dollar AS tahun 2011. Nilai impor produk hortikultura pada Januari-Juli 2012 saja mencapai 1 miliar dollar AS atau setara Rp 10 triliun. Lebih separuh dari nilai impor hortikultura tahun 2012, yakni 600 juta dollar AS, disumbang oleh impor buah.
Hal yang memiriskan bahwa impor buah Indonesia tidak hanya berupa buah subtropis, seperti apel merah, anggur, pir, dan kiwi, tetapi juga buah tropis yang dimiliki Indonesia, seperti durian dan nangka. Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan impor yang dimaksudkan memberikan perlindungan kepada petani hortikultura di dalam negeri. Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan secara berkala mengeluarkan beberapa ketentuan impor hortikultura.
Terakhir, versi aturan teknis impor hortikultura dalam Permentan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura dan Permendag Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura berlaku September 2012. Proses perumusan kebijakan yang aktif-dinamis tentu ditanggapi beragam di dalam negeri. Dianalisis secara ekonomi dan politik kepentingan, periode pemberlakuan yang terus diundur, hingga bermuara pada pelarangan impor 11 produk hortikultura untuk periode Januari-Juni 2013.
Kementerian Pertanian tidak merekomendasi impor untuk enam jenis buah (durian, nanas, melon, pisang, mangga, dan pepaya), empat jenis sayuran (kentang, kubis, wortel, dan cabai), dan tiga jenis bunga (krisan, anggrek, dan helicona). Alasan utama bahwa produk hortikultura yang dihasilkan di dalam negeri masih cukup untuk memenuhi permintaan produk hortikultura yang ada. Ketentuan impor inilah yang dinilai membingungkan, tidak hanya oleh eksportir hortikultura atau partner dagang di luar negeri, juga oleh pelaku usaha di dalam negeri.
Dinamika ekonomi hortikultura ini menjadi lebih menarik ditelusuri karena justru AS yang resmi melaporkan Indonesia ke WTO, bukan China yang menjadi pemasok buah impor ke Indonesia. Nilai impor hortikultura Indonesia dari AS hanya 120 juta dollar AS per tahun. Tidak lebih 12 persen dari total impor hortikultura. Bahkan, nilai impor daging Indonesia dari AS juga hanya 3,5 persen dari total daging sapi impor yang 417 juta dollar AS.
AS terkesan berlebihan saat ”urusan kecil” seperti itu sampai harus diselesaikan pada tingkat diplomasi ekonomi melalui lembaga DSB (Dispute Settlement Body). Tidak ada pilihan bagi Indonesia, kecuali segera menjawab protes AS itu dalam 60 hari, sebelum meningkat menjadi permintaan arbitrase yang lebih rumit dan menguras energi.
Indonesia mungkin akan menggunakan argumen perdagangan adil karena hortikultura belum didaftarkan sebagai produk khusus sebagaimana beras, jagung, kedelai, dan gula. Ketentuan klausul proteksi pada produk khusus ini masih dapat dibenarkan WTO sepanjang untuk ketahanan pangan, pengentasan rakyat miskin, dan pembangunan pedesaan. Rentang, jenis, dan macam produk hortikultura tentu terlalu banyak dan beragam untuk didaftarkan sebagai produk khusus. Argumen ”proteksi demi keadilan” masih cukup relevan untuk digunakan sebagai hak jawab bagi Indonesia dalam menghadapi notifikasi AS tentang ketentuan impor produk hortikultura.
Nuansa untuk ”menghakimi” kebijakan pengaturan impor hortikultura Indonesia tampak saat Mari Pangestu menyampaikan visi-misinya sebagai calon direktur jenderal WTO di Geneva, Swiss (Kompas, 31/1). Indonesia yang juga Ketua Kelompok 33 Negara Berkembang (G-33) perlu mampu mengembangkan basis argumen ”perdagangan global yang terbuka, adil, dan seimbang” demi kepentingan nasional yang lebih luas dan kemajuan negara berkembang lainnya.
Salah satu contoh sederhana mewujudkan kepentingan nasional itu adalah tentang konsistensi dan soliditas kebijakan perdagangan di dalam negeri sendiri. Para diplomat Indonesia perlu paham bahwa kebijakan negara tentang pengaturan impor produk hortikultura adalah untuk memberikan perlindungan dan sistem insentif bagi peningkatan produksi dan produktivitas hortikultura lokal.
Rasa percaya diri korps diplomat ekonomi atau lebih khusus Tim Perundingan Perdagangan Internasional perlu selalu ditumbuhkan. Setidaknya bahwa kebijakan pada level koordinasi, teknis pertanian dan perdagangan merupakan satu kesatuan utuh yang tak dapat dipecahkan. Para diplomat ini perlu diberikan tambahan pemahaman persoalan hortikultura nasional, yang terkadang lebih bersifat struktural, mulai dari teknis-agronomis sampai pada aspek sosial-ekonomi dan perdagangan internasional.
Kekuatan diplomasi yang paling tangguh adalah apabila ditopang oleh soliditas kebijakan ekonomi di dalam negeri dan dukungan penuh masyarakat untuk menunjukkan kewibawaan kebijakan pangan negara yang sebenarnya.
Terakhir, para perumus kebijakan bidang pertanian dan perdagangan wajib mewujudkan perbaikan struktur perdagangan dan distribusi produk hortikultura di dalam negeri. Kebijakan proteksi dan pembatasan impor seperti sekarang tidak akan membawa dampak kesejahteraan bagi petani hortikultura jika tak ada langkah nyata di lapangan.
Dukungan pembiayaan bagi petani hortikultura perlu segera diwujudkan sebelum Juni 2013. Skema pembayaran pelaku usaha ritel dan supermarket kepada petani perlu disederhanakan, dengan rentang waktu yang diperpendek, jika perlu secara tunai. Pembenahan aransemen kelembagaan ini lebih efektif untuk menggairahkan produksi dan meningkatkan produktivitas hortikultura. Inilah esensi diplomasi ekonomi hortikultura di pasar domestik yang juga penting. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar