Pada tahun 2000 lalu, United Nations (UN) merilis program
pembangunan dunia yang sekaligus mengawali hadirnya millenium baru.
Berbagai persoalan yang menghinggapi negara-negara di Afrika, seperti
konflik berkepanjangan, kelaparan dan kemiskinan ekstrim coba dicarikan
solusi. Begitu juga kesenjangan di banyak negara Asia, pendidikan yang
rendah di Amerika Latin hingga berkurangnya lapangan kerja di beberapa
negara Eropa. Maka lahirlah proposal Millenium
Development Goals (MDGs) yang
dipercaya mampu mengatasi berbagai problematika di atas.
MDGs fokus pada
delapan sasaran, pertama, menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Kedua,
mewujudkan pendidikan dasar untuk semua. Ketiga, mendorong kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan. Keempat, menurunkan angka kematian anak.
Kelima, meningkatkan kesehatan ibu. Keenam, memerangi HIV/AIDS, malaria dan
penyakit menular lainnya. Ketujuh, memastikan kelestarian lingkungan hidup.
Terakhir, kedelapan, membangun kemitraan global untuk pembangunan.
Dalam
perjalanannya, target-target MDGs hingga tahun ke-12 (dari 15 tahun yang
ditetapkan) tidak semua tercapai. Bahkan bisa dikatakan, pencapaian MDGs
2015 secara umum jauh dari harapan. Hal itu diungkapkan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi atau
Rio+20 di Brasil Juni 2012. Presiden menyimpulkan, lebih dari separuh
negara-negara di dunia saat ini tidak bisa memenuhi target MDGs.
Penyebabnya beragam, namun yang paling menonjol adalah tidak adanya
kemampuan negara-negara miskin dan berkembang untuk mengejar delapan target
MDGs tersebut. Selain itu, negara-negara maju terkesan “lepas tangan” dari
kewajiban yang seharusnya mereka lakukan.
Presiden SBY
sendiri merupakan sedikit dari tokoh-tokoh dunia yang konsisten
menyampaikan kritik (dan juga apresiasi) dari perjalanan MDGs hingga hari
ini. Jauh sebelumnya, 2006, dalam Pertemuan Tingkat Menteri Komisi Ekonomi
dan Sosial Asia Pasifik PBB (UN - ESCAP), di Jakarta, April 2006, Presiden
mengkritik kealpaan negara-negara maju dalam menyalurkan komitmennya untuk
MDGs.
Negara Maju Cuek
Akibat cuek-nya
negara maju itu, negara-negara berkembang atau Pheryperi state kesulitan
menjalankan delapan sasaran pembangunan millenium tadi. Padahal biaya yang
diperlukan tidak mahal. Bayangkan saja, total anggaran pemenuhan pendidikan
dasar dunia dalam skema MDGs diperkirakan memerlukan biaya sekitar US $ 10
Miliar dolar AS per tahun. Jumlah itu setara dengan dana yang dikeluarkan
Uni Eropa untuk membeli es krim setiap tahunnya.
Berikutnya,
untuk pemenuhan gizi negara berkembang dibutuhkan dana sekitar US $ 13
Miliar per tahun. Angka ini setara dengan pengeluaran AS dan Eropa untuk
makanan hewan peliharaannya. Akumulasi setiap tahun, besaran dana yang
dibutuhkan guna menyukseskan MDG’s sekitar US $ 100 Miliar.
Dengan demikian
seharusnya pada 2006 komitmen negara maju yang sudah direalisasikan
mencapai US $ 600 Miliar. Namun faktanya, sebagaimana kritik SBY saat itu,
dana yang masuk ke negara-negara berkembang untuk MDG’s kurang dari 10%,
atau hanya sekitar US $ 50 Miliar. Trennya sampai 2012 diperkirakan masih
sama, sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara implisit mengakui
kegagalan MDGs 2000.
Maka pada Juni
2012 lalu, Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki Moon menunjuk Presiden SBY
bersama Perdana Menteri (PM) Inggris, David Cameron dan Presiden Liberia,
Ellen Johnson Sirleaf, menjadi pimpinan Panel Tingkat Tinggi (High-Level
Panel of Eminent Persons / HLPEP) untuk merumuskan kerangka kerja baru
pembangunan dunia pasca MDGs. Pola pembangunan dunia baru ini kemudian
dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan. Berbeda dengan MDG’s, pada SDG’s kali ini posisi
negara-negara berkembang lebih aktif dalam perumusan pola pembangunan dunia
ke depan.
Sebagaimana kita
ketahui, sejak 1992 (perumusan MDGs), peran negara berkembang sangat kecil,
di mana draft MDGs lebih banyak didominasi kepentingan negara-negara maju.
Kali ini berbeda. Ditunjuknya Presiden SBY sebagai salah satu co-chairs
yang bertugas memimpin HLPEP merupakan bentuk kepercayaan dunia atas peran
dan kontribusi Indonesia selama ini. Ini juga representasi kepentingan Asia
dan negara-negara berkembang pada umukmnya.
Presiden SBY
sejak HLP pertama hingga HLP sekarang ini di Monrovia, Liberia, menegaskan visi
Indonesia terkait agenda pembangunan dunia Post-MDG’s 2015 adalah
pembangunan yang berlandaskan pemerataan (sustainable growth with equity).
Kompleksitas, ketidakpastian, serta saling ketergantungan antarnegara
menuntut semakin intensnya kerja sama di tingkat global. Begitu juga dalam
kerangka pencapaian target pembangunan dunia ke depan. Tentunya agenda
pembangunan Post-MDGs 2015 akan meneruskan pencapaian agenda pembangunan
yang tertuang dalam MDGs. Sekaligus dimungkinkan adanya perubahan dan penambahan
agenda pembangunan baru disesuaikan dengan konteks dan perkembangan dunia
saat ini dan ke depannya. Salah satu agenda MDGs yang memiliki peluang
terbesar untuk tetap menjadi agenda penting dalam Post-MDGs 2015 adalah
pengentasan kemiskinan ekstrem (extreme
poverty).
Di sini justru
yang menarik dan strategis bagi Indonesia. Mengapa? Sebab dalam tiga tahun
terakhir, Indonesia secara konsisten mampu menurunkan angka kemiskinan.
Kinerja positif ini dibukukan di tengah ketidakpastian dan krisis ekonomi
global. Untuk diketahui, sejak 2010 Eropa dan Amerika Serikat (AS) dilanda
krisis ekonomi yang menekan ekspor ke kawasan tersebut. Namun situasi yang
kurang menguntungkan tersebut tidak berdampak lebih buruk bagi Indonesia.
Hal itu dapat
dilihat pada tingkat kemiskinan Indonesia yang di tahun 2006 mencapai
17,8%. Dua tahun berikutnya, angkanya turun menjadi 15,4% dan kembali dapat
ditekan menjadi 13,3% pada 2010. Tahun 2011 tingkat kemiskinan kembali
turun ke level 12,36% dan pada 2012 lalu berhasil ditekan hingga 11,66%.
Catatan ini sekaligus menjadi modal bagi Indonesia dalam merumuskan arah
baru pembangunan dunia pada SDGs.
Pe-er Kita di Sisa MDGs
Selain
kemiskinan, Indonesia juga memiliki raport biru lain dari sasaran-sasaran
MDGs, yaitu bidang kesehatan. Seperti laporan Kementerian Kesehatan akhir
tahun lalu bahwa Indonesia diklaim telah menurunkan prevalensi balita
dengan berat badan rendah atau kekurangan gizi (MDG-I), pengendalian
penyebaran dan penurunan kasus baru tuberkolosis telah mencapai target (MDG-6),
menurunkan angka kematian bayi dan Balita (MDG-4), mengendalikan penyebaran
dan mulai menurunkan kasus baru malaria (MDG-6).
Selain itu,
Angka Kematian Ibu (AKI) secara nasional periode 1994-2007 juga menunjukkan
penurunan signifikan. Pada 2010, AKI nasional 214 per 100.000 kelahiran
hidup. Sementara target MDG-5 adalah menurunkan AKI hingga 3/4 pada tahun
2015 menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup.
Bila di dua
target MDGs di atas, kinerja kita cukup baik, maka tidak demikian pada dua
sasaran lainnya. Fakta itu disampaikan Kantor Utusan Khusus Presiden (KUKP)
untuk Millenium Development Goals
(MDGs) yang menyatakan setidaknya
dua target MDGs yang masih stagnan dan memerlukan perhatian dan kerja keras
pemerintah. Sasaran dimaksud adalah menurunkan penyebaran virus HIV/AIDS
dan mengakses air minum bersih di daerah Indonesia bagian timur. Kesulitan
menekan penderita jumlah HIV/AIDS karena penyebaran virus mematikan ini
tidak hanya dari hubungan seksual tetapi juga melalui narkoba.
Sementara untuk
akses penduduk terhadap air bersih masih menjadi tantangan karena sebagian
kondisi geografis Indonesia di sejumlah daerah memang tidak mudah. Untuk
itu, perlu crash programs agar masyarakat di kawasan-kawasan kering ,
seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) bisa lebih cepat mendapat air. Sebab
terdapat fakta menarik dimana kurangnya pasokan air bersih di provinsi
tertentu linear dengan tingkat kemiskinan yang terjadi di sana.
Semoga HLPEP
Liberia kali ini dapat merumuskan draft pembangunan dunia dalam MDGs yang
lebih adil bagi negara Pheryperi ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar