Senin, 04 Februari 2013

Saatnya Pheryperi Menentukan Arah Dunia


Saatnya Pheryperi Menentukan Arah Dunia
Zaenal A Budiyono ;   Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Jakarta
NEWS.DETIK.COM, 01 Februari 2013



Pada tahun 2000 lalu, United Nations (UN) merilis program pembangunan dunia yang sekaligus mengawali hadirnya millenium baru. Berbagai persoalan yang menghinggapi negara-negara di Afrika, seperti konflik berkepanjangan, kelaparan dan kemiskinan ekstrim coba dicarikan solusi. Begitu juga kesenjangan di banyak negara Asia, pendidikan yang rendah di Amerika Latin hingga berkurangnya lapangan kerja di beberapa negara Eropa. Maka lahirlah proposal Millenium Development Goals (MDGs) yang dipercaya mampu mengatasi berbagai problematika di atas. 

MDGs fokus pada delapan sasaran, pertama, menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Kedua, mewujudkan pendidikan dasar untuk semua. Ketiga, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Keempat, menurunkan angka kematian anak. Kelima, meningkatkan kesehatan ibu. Keenam, memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya. Ketujuh, memastikan kelestarian lingkungan hidup. Terakhir, kedelapan, membangun kemitraan global untuk pembangunan.

Dalam perjalanannya, target-target MDGs hingga tahun ke-12 (dari 15 tahun yang ditetapkan) tidak semua tercapai. Bahkan bisa dikatakan, pencapaian MDGs 2015 secara umum jauh dari harapan. Hal itu diungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi atau Rio+20 di Brasil Juni 2012. Presiden menyimpulkan, lebih dari separuh negara-negara di dunia saat ini tidak bisa memenuhi target MDGs. Penyebabnya beragam, namun yang paling menonjol adalah tidak adanya kemampuan negara-negara miskin dan berkembang untuk mengejar delapan target MDGs tersebut. Selain itu, negara-negara maju terkesan “lepas tangan” dari kewajiban yang seharusnya mereka lakukan. 

Presiden SBY sendiri merupakan sedikit dari tokoh-tokoh dunia yang konsisten menyampaikan kritik (dan juga apresiasi) dari perjalanan MDGs hingga hari ini. Jauh sebelumnya, 2006, dalam Pertemuan Tingkat Menteri Komisi Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik PBB (UN - ESCAP), di Jakarta, April 2006, Presiden mengkritik kealpaan negara-negara maju dalam menyalurkan komitmennya untuk MDGs.

Negara Maju Cuek

Akibat cuek-nya negara maju itu, negara-negara berkembang atau Pheryperi state kesulitan menjalankan delapan sasaran pembangunan millenium tadi. Padahal biaya yang diperlukan tidak mahal. Bayangkan saja, total anggaran pemenuhan pendidikan dasar dunia dalam skema MDGs diperkirakan memerlukan biaya sekitar US $ 10 Miliar dolar AS per tahun. Jumlah itu setara dengan dana yang dikeluarkan Uni Eropa untuk membeli es krim setiap tahunnya. 

Berikutnya, untuk pemenuhan gizi negara berkembang dibutuhkan dana sekitar US $ 13 Miliar per tahun. Angka ini setara dengan pengeluaran AS dan Eropa untuk makanan hewan peliharaannya. Akumulasi setiap tahun, besaran dana yang dibutuhkan guna menyukseskan MDG’s sekitar US $ 100 Miliar. 

Dengan demikian seharusnya pada 2006 komitmen negara maju yang sudah direalisasikan mencapai US $ 600 Miliar. Namun faktanya, sebagaimana kritik SBY saat itu, dana yang masuk ke negara-negara berkembang untuk MDG’s kurang dari 10%, atau hanya sekitar US $ 50 Miliar. Trennya sampai 2012 diperkirakan masih sama, sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara implisit mengakui kegagalan MDGs 2000.

Maka pada Juni 2012 lalu, Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki Moon menunjuk Presiden SBY bersama Perdana Menteri (PM) Inggris, David Cameron dan Presiden Liberia, Ellen Johnson Sirleaf, menjadi pimpinan Panel Tingkat Tinggi (High-Level Panel of Eminent Persons / HLPEP) untuk merumuskan kerangka kerja baru pembangunan dunia pasca MDGs. Pola pembangunan dunia baru ini kemudian dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Berbeda dengan MDG’s, pada SDG’s kali ini posisi negara-negara berkembang lebih aktif dalam perumusan pola pembangunan dunia ke depan. 

Sebagaimana kita ketahui, sejak 1992 (perumusan MDGs), peran negara berkembang sangat kecil, di mana draft MDGs lebih banyak didominasi kepentingan negara-negara maju. Kali ini berbeda. Ditunjuknya Presiden SBY sebagai salah satu co-chairs yang bertugas memimpin HLPEP merupakan bentuk kepercayaan dunia atas peran dan kontribusi Indonesia selama ini. Ini juga representasi kepentingan Asia dan negara-negara berkembang pada umukmnya.

Presiden SBY sejak HLP pertama hingga HLP sekarang ini di Monrovia, Liberia, menegaskan visi Indonesia terkait agenda pembangunan dunia Post-MDG’s 2015 adalah pembangunan yang berlandaskan pemerataan (sustainable growth with equity). Kompleksitas, ketidakpastian, serta saling ketergantungan antarnegara menuntut semakin intensnya kerja sama di tingkat global. Begitu juga dalam kerangka pencapaian target pembangunan dunia ke depan. Tentunya agenda pembangunan Post-MDGs 2015 akan meneruskan pencapaian agenda pembangunan yang tertuang dalam MDGs. Sekaligus dimungkinkan adanya perubahan dan penambahan agenda pembangunan baru disesuaikan dengan konteks dan perkembangan dunia saat ini dan ke depannya. Salah satu agenda MDGs yang memiliki peluang terbesar untuk tetap menjadi agenda penting dalam Post-MDGs 2015 adalah pengentasan kemiskinan ekstrem (extreme poverty).

Di sini justru yang menarik dan strategis bagi Indonesia. Mengapa? Sebab dalam tiga tahun terakhir, Indonesia secara konsisten mampu menurunkan angka kemiskinan. Kinerja positif ini dibukukan di tengah ketidakpastian dan krisis ekonomi global. Untuk diketahui, sejak 2010 Eropa dan Amerika Serikat (AS) dilanda krisis ekonomi yang menekan ekspor ke kawasan tersebut. Namun situasi yang kurang menguntungkan tersebut tidak berdampak lebih buruk bagi Indonesia. 

Hal itu dapat dilihat pada tingkat kemiskinan Indonesia yang di tahun 2006 mencapai 17,8%. Dua tahun berikutnya, angkanya turun menjadi 15,4% dan kembali dapat ditekan menjadi 13,3% pada 2010. Tahun 2011 tingkat kemiskinan kembali turun ke level 12,36% dan pada 2012 lalu berhasil ditekan hingga 11,66%. Catatan ini sekaligus menjadi modal bagi Indonesia dalam merumuskan arah baru pembangunan dunia pada SDGs.

Pe-er Kita di Sisa MDGs

Selain kemiskinan, Indonesia juga memiliki raport biru lain dari sasaran-sasaran MDGs, yaitu bidang kesehatan. Seperti laporan Kementerian Kesehatan akhir tahun lalu bahwa Indonesia diklaim telah menurunkan prevalensi balita dengan berat badan rendah atau kekurangan gizi (MDG-I), pengendalian penyebaran dan penurunan kasus baru tuberkolosis telah mencapai target (MDG-6), menurunkan angka kematian bayi dan Balita (MDG-4), mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan kasus baru malaria (MDG-6). 

Selain itu, Angka Kematian Ibu (AKI) secara nasional periode 1994-2007 juga menunjukkan penurunan signifikan. Pada 2010, AKI nasional 214 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara target MDG-5 adalah menurunkan AKI hingga 3/4 pada tahun 2015 menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup.

Bila di dua target MDGs di atas, kinerja kita cukup baik, maka tidak demikian pada dua sasaran lainnya. Fakta itu disampaikan Kantor Utusan Khusus Presiden (KUKP) untuk Millenium Development Goals (MDGs) yang menyatakan setidaknya dua target MDGs yang masih stagnan dan memerlukan perhatian dan kerja keras pemerintah. Sasaran dimaksud adalah menurunkan penyebaran virus HIV/AIDS dan mengakses air minum bersih di daerah Indonesia bagian timur. Kesulitan menekan penderita jumlah HIV/AIDS karena penyebaran virus mematikan ini tidak hanya dari hubungan seksual tetapi juga melalui narkoba. 

Sementara untuk akses penduduk terhadap air bersih masih menjadi tantangan karena sebagian kondisi geografis Indonesia di sejumlah daerah memang tidak mudah. Untuk itu, perlu crash programs agar masyarakat di kawasan-kawasan kering , seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) bisa lebih cepat mendapat air. Sebab terdapat fakta menarik dimana kurangnya pasokan air bersih di provinsi tertentu linear dengan tingkat kemiskinan yang terjadi di sana.

Semoga HLPEP Liberia kali ini dapat merumuskan draft pembangunan dunia dalam MDGs yang lebih adil bagi negara Pheryperi ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar