Di tengah karut-marut
penyelesaian kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP, pemerintah
berencana membuat basis data kependudukan.
E-KTP memang memuat sejumlah
karakteristik kependudukan secara lengkap. Mulai dari tempat dan tanggal
lahir, jenis kelamin, agama, status perkawinan, pekerjaan, hingga alamat
rumah. Dengan demikian, basis data e-KTP memang dapat mengisi kekurangan
data kependudukan di Tanah Air. Namun, dari sisi kelengkapan persyaratan
data kependudukan, basis data e-KTP belum lengkap karena hanya mencakup
penduduk usia 17 tahun ke atas.
Basis data kependudukan yang lengkap
mensyaratkan cakupan seluruh penduduk dan memuat dinamika penduduk minimal
pada tiga aspek penting: kelahiran, kematian, dan perpindahan. Maka agar
layak menjadi data kependudukan, pemerintah dapat memperluas cakupan e-KTP
dengan registrasi penduduk.
Sungguh ironis, setelah 67 tahun merdeka,
Indonesia hingga kini belum memiliki data kependudukan lengkap dan akurat.
Padahal, pemerintah telah membentuk Direktorat Jenderal Administrasi
Kependudukan di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Sasaran Meleset
Ketidaklengkapan data kependudukan membuat
perencanaan pembangunan umumnya bersandarkan pada hasil sensus dan survei.
Padahal, data sensus dan survei lemah, terutama dalam dimensi waktu.
Terjadi perbedaan antara data dikumpulkan dan data digunakan. Maka, kurang
efektifnya pembangunan selama ini boleh jadi akibat lemahnya perencanaan
karena datanya tidak tepat waktu (timeliness).
Secara faktual, minimnya data
kependudukan terjadi di banyak negara berkembang. Fakta ini mengemuka dalam
pertemuan tingkat tinggi untuk membahas registrasi penduduk yang diadakan
di Bangkok, Thailand, 11-12 Desember 2012, dihadiri delegasi dari 48 negara
Asia Pasifik (termasuk Indonesia).
Terungkap dalam pertemuan itu bahwa
absennya registrasi penduduk menjadi faktor kurang efektif dan efisiennya
pelaksanaan pembangunan suatu negara. Data yang tidak aktual membuat
program meleset dari sasaran. Pembangunan juga jadi kurang efisien karena
setiap kali merencanakan program, pemerintah harus mendata dulu.
Kurang tepatnya sasaran pembangunan telah
berdampak pada munculnya sejumlah konflik pada sebagian penduduk yang
terpinggirkan.
Kurang efektif dan efisiennya program
pembangunan ini bertentangan dengan upaya penegakan hak asasi manusia
karena tidak seluruh penduduk tercakup dalam perencanaan program. Laporan
Badan PBB untuk Anak-anak (UNICEF) (2012) menyebutkan bahwa lebih dari 51 juta
anak dunia tidak terdaftar kelahirannya dan tidak memiliki akta kelahiran.
Akibatnya, mereka memiliki akses yang sangat terbatas terhadap layanan
dasar, rentan dieksploitasi terutama menjadi pekerja anak, dan cenderung
melangsungkan perkawinan dini. Ketidaktahuan usia anak pada kasus kriminal
membuat mereka kerap diadili dalam pengadilan orang dewasa.
Atas dasar itu, pencatatan penduduk untuk
menjamin hak warga negara bisa sekaligus dalam satu paket, yakni untuk
keperluan pembuatan bukti diri dan perencanaan pembangunan melalui
registrasi penduduk.
Kegiatan Satu Paket
Dengan kegiatan satu paket, bukti diri
berupa e-KTP dan atau kartu keluarga dapat digunakan untuk mengakses
program berdasarkan hasil registrasi penduduk. Pengalaman menunjukkan,
penduduk miskin tanpa bukti diri kesulitan mengakses program kesehatan yang
disediakan pemerintah.
Pelaksanaan registrasi penduduk dapat
dilakukan saat proses pembuatan e-KTP atau pasca- pembuatan e-KTP. Caranya
adalah dengan memverifikasi semua anggota keluarga yang tercantum dalam
kartu keluarga dan menambahkan sejumlah keterangan kependudukan, seperti
lahir, mati, dan pindah.
Agar data registrasi selalu terbarui,
pihak kelurahan perlu secara aktif mencatat setiap perubahan penduduknya.
Namun, tanpa kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat, upaya
untuk menuntaskan e-KTP dan keinginan memiliki basis data kependudukan yang
akurat tidak akan tercapai.
Kerja sama kedua pilar
tersebut—pemerintah dan masyarakat—bahkan harus berjalan sepanjang waktu
agar basis data kependudukan selalu akurat dan terbarukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar