Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke beberapa
negara Afrika dan Timur Tengah, termasuk ke Nigeria dan Arab Saudi, dua
negara penghasil minyak utama dunia.
Meskipun agenda kunjungan didominasi oleh pembicaraan mengenai kerja sama
perdagangan secara umum dan masalah perdagangan obatobatan terlarang
(Nigeria) dan tenaga kerja Indonesia (Arab Saudi), kunjungan tersebut
seharusnya juga dilaksanakan dalam kebutuhan penguatan pasokan energi
Indonesia. Dalam beberapa bulan terakhir, muncul perdebatan yang hangat
mengenai kedaulatan energi Indonesia.
Beberapa mempertanyakan pengelolaan tata migas Indonesia, sedangkan
beberapa lain memperdebatkan kemampuan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan
energinya. Istilah kedaulatan energi merujuk pada kondisi di mana negara
mampu menjamin ketersediaan pasokan dalam harga yang terjangkau. Artinya,
berdaulat atau tidaknya ditentukan oleh sumbu ketersediaan pasokan dan
sumbu harga.
Jika kedua sumbu tersebut diberi nilai positif dan negatif, setidaknya akan
tercipta empat kuadran kondisi energi. Kedaulatan energi terletak di
kuadran pertama di mana negara sanggup menjaga ketersediaan pasokan (nilai
positif) dengan harga yang terjangkau (nilai positif). Kondisi kedua adalah
kondisi di mana ketersediaan pasokan tidak memadai, namun harga tetap
terjangkau. Dalam kondisi kedua ini, mekanisme pasar akan sepenuhnya
menentukan.
Kondisi ketiga adalah kondisi ketiga ketika harga tidak terjangkau, namun
pasokan memadai. Kondisi ini dapat tercipta manakala terjadi embargo energi
oleh produsen. Kondisi terakhir adalah krisis energi; kondisi di mana
pasokan tidak tersedia dan harga tidak terjangkau. Satu-satunya cara untuk
mengatasi kondisi ini dengan meningkatkan pasokan energi.
Ekspansi energi menjadi satu-satunya pilihan yang masuk akal manakala
sumber energi domestik dipandang tidak mencukupi. Upaya untuk menciptakan
ketersediaan pasokan energi dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu strategi
nasionalisme energi, strategi diversifikasi energi,dan strategi jangka
pendek untuk mengatasi kendala-kendala kondisional dan kendala- kendala
struktural (Wesley, 2007).
Tiga strategi ini dapat dilakukan baik melalui diplomasi, instrumen paksaan
nonmiliter (subversif), maupun instrumen militeristik (Moran dan Russell, 2009).
Pertama, strategi nasionalisme energi. Konsep nasionalisme energi dapat
diartikan sebagai upaya negara untuk mencari sumber-sumber pasokan energi
di luar cadangan yang dimiliki negara tersebut.
Dengan kata lain, konsep ini memberikan penekanan pada upaya ekspansi yang
dilakukan dengan beberapa strategi, mulai dari strategi yang bersifat lunak
seperti diplomasi energi hingga yang keras seperti militerisasi energi. Konsep
ini mengasumsikan bahwa negara telah berhasil menguasai cadangan energi
yang ada di dalam negeri, baik untuk digunakan atau untuk disimpan bagi
penggunaan pada masa yang akan datang.
Konsep nasionalisme energi ini berkembang dengan pesat di kawasan Asia
Timur dan saat ini diadopsi oleh misalnya China. Negeri Tirai Bambu ini
mengembangkan beberapa strategi dalam mengaplikasikan konsep nasionalisme
energi seperti pembangunan cadangan energi strategik (strategic energy reserves, terutama minyak), investasi energi
di luar negeri yang dilakukan melalui perusahaan- perusahaan energi
nasional, pembangunan jalur distribusi energi transnasional di darat untuk
mengatasi kendala pengiriman melalui laut, dan diplomasi energi.
Salah satu negara yang menggunakan “instrumen militer” dalam upaya
mengamankan pasokan energinya adalah Prancis di dekade 1960-70an. Prancis
mengembangkan tiga strategi besar untuk mengamankan pasokan minyak dari
Timur Tengah yaitu dengan berperan aktif mendukung upaya negara-negara Arab
dalam menyelesaikan masalah Arab-Israel, menolak upaya aliansi konsumen
untuk menghadapi produsen minyak, dan upaya membangun relasi khusus dengan
negara-negara produsen minyak yang salah satunya dilakukan dengan
pertukaran produk strategis; senjata untuk minyak (Lieber,1980).
Konsep kedua yang juga dapat digunakan untuk melakukan intervensi pasokan
adalah dengan melakukan diversifikasi sumber energi. Jepang dan Korea
Selatan merupakan beberapa contoh negara Asia yang mengadopsi strategi ini.
Jepang mengembangkan sumber-sumber energi alternatif selain minyak dan gas.
Diversifikasi sumber energi tidak sepenuhnya mudah untuk dilakukan.
Kesiapan infrastruktur, terutama industri, untuk mengubah sumber energi
menjadi hal mendasar yang perlu dilakukan.
Sejauh ini program diversifikasi sumber energi ini mencapai cerita
keberhasilan di Jepang (dari 70% bergantung pada minyak pada 1970 menjadi
50% pada 2001). Korea Selatan juga cukup berhasil menjalankan strategi ini,
namun tidak kalah efisien dari Jepang karena ada faktor Korea Utara. Konsep
ketiga terkait upaya-upaya untuk mengatasi kendala kondisional dan
struktural yang sifatnya lebih jangka pendek.
Upaya-upaya ini menjadi perlu dilakukan jika negara gagal mengaplikasikan
dua konsep pertama. Kendala-kendala kondisional terkait dengan
kejadian-kejadian yang tidak diprediksikan yang mampu mengancam suplai
maupun distribusi energi. Krisis di Selat Hormuz yang terjadi tahun lalu
merupakan salah satu contohnya. Gejolak Musim Semi Arab di Timur Tengah
jika berlangsung di negara-negara penghasil minyak juga menjadi contoh
lain.
Intervensi pasokan hanya akan efektif bila dilakukan sebagai sebuah
keputusan bersama. Artinya, semua pemangku kepentingan dalam masalah energi
duduk bersama dalam paradigma yang senada. Pengalaman China memperlihatkan
bahwa intervensi pasokan hanya efektif ketika perusahaan-perusahaan energi
nasional, komisi perencanaan pembangunan nasional, komisi ekonomi dan
perdagangan, kementerian luar negeri, militer,
pusat-pusat kajian pembangunan, institut-institut kajian energi, institut-institut
kebijakan luar negeri, akademisi, dan media memiliki pemahaman yang senada mengenai
akar permasalahan energi China dan visi ke depan, dalam hal ini diletakkan
pada pembangunan dan kemandirian. Dalam kebutuhan tersebut, tidak
seharusnya pemerintah mengabaikan upaya meningkatkan pasokan energi untuk
bisa menuju pada kondisi kedaulatan energi.
Peran serta negara menjadi sentral mengingat ekspansi energi hanya akan
berhasil jika energi diperlakukan sebagai komoditas strategis dan
kewenangan tersebut dimiliki oleh negara. Diplomasi bisa digunakan sebagai
sarana untuk melakukan hal tersebut, apalagi jika dilakukan pemegang
kekuasaan eksekutif tertinggi. Jika tidak dimulai dari saat ini, kapan
lagi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar