Kamis, 07 Februari 2013

Diplomasi Energi Indonesia


Diplomasi Energi Indonesia
Broto Wardoyo  ;   Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, 
Universitas Indonesia
   
SINDO, 07 Februari 2013


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke beberapa negara Afrika dan Timur Tengah, termasuk ke Nigeria dan Arab Saudi, dua negara penghasil minyak utama dunia. 

Meskipun agenda kunjungan didominasi oleh pembicaraan mengenai kerja sama perdagangan secara umum dan masalah perdagangan obatobatan terlarang (Nigeria) dan tenaga kerja Indonesia (Arab Saudi), kunjungan tersebut seharusnya juga dilaksanakan dalam kebutuhan penguatan pasokan energi Indonesia. Dalam beberapa bulan terakhir, muncul perdebatan yang hangat mengenai kedaulatan energi Indonesia. 

Beberapa mempertanyakan pengelolaan tata migas Indonesia, sedangkan beberapa lain memperdebatkan kemampuan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energinya. Istilah kedaulatan energi merujuk pada kondisi di mana negara mampu menjamin ketersediaan pasokan dalam harga yang terjangkau. Artinya, berdaulat atau tidaknya ditentukan oleh sumbu ketersediaan pasokan dan sumbu harga. 

Jika kedua sumbu tersebut diberi nilai positif dan negatif, setidaknya akan tercipta empat kuadran kondisi energi. Kedaulatan energi terletak di kuadran pertama di mana negara sanggup menjaga ketersediaan pasokan (nilai positif) dengan harga yang terjangkau (nilai positif). Kondisi kedua adalah kondisi di mana ketersediaan pasokan tidak memadai, namun harga tetap terjangkau. Dalam kondisi kedua ini, mekanisme pasar akan sepenuhnya menentukan. 

Kondisi ketiga adalah kondisi ketiga ketika harga tidak terjangkau, namun pasokan memadai. Kondisi ini dapat tercipta manakala terjadi embargo energi oleh produsen. Kondisi terakhir adalah krisis energi; kondisi di mana pasokan tidak tersedia dan harga tidak terjangkau. Satu-satunya cara untuk mengatasi kondisi ini dengan meningkatkan pasokan energi. 

Ekspansi energi menjadi satu-satunya pilihan yang masuk akal manakala sumber energi domestik dipandang tidak mencukupi. Upaya untuk menciptakan ketersediaan pasokan energi dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu strategi nasionalisme energi, strategi diversifikasi energi,dan strategi jangka pendek untuk mengatasi kendala-kendala kondisional dan kendala- kendala struktural (Wesley, 2007).

Tiga strategi ini dapat dilakukan baik melalui diplomasi, instrumen paksaan nonmiliter (subversif), maupun instrumen militeristik (Moran dan Russell, 2009). Pertama, strategi nasionalisme energi. Konsep nasionalisme energi dapat diartikan sebagai upaya negara untuk mencari sumber-sumber pasokan energi di luar cadangan yang dimiliki negara tersebut. 

Dengan kata lain, konsep ini memberikan penekanan pada upaya ekspansi yang dilakukan dengan beberapa strategi, mulai dari strategi yang bersifat lunak seperti diplomasi energi hingga yang keras seperti militerisasi energi. Konsep ini mengasumsikan bahwa negara telah berhasil menguasai cadangan energi yang ada di dalam negeri, baik untuk digunakan atau untuk disimpan bagi penggunaan pada masa yang akan datang. 

Konsep nasionalisme energi ini berkembang dengan pesat di kawasan Asia Timur dan saat ini diadopsi oleh misalnya China. Negeri Tirai Bambu ini mengembangkan beberapa strategi dalam mengaplikasikan konsep nasionalisme energi seperti pembangunan cadangan energi strategik (strategic energy reserves, terutama minyak), investasi energi di luar negeri yang dilakukan melalui perusahaan- perusahaan energi nasional, pembangunan jalur distribusi energi transnasional di darat untuk mengatasi kendala pengiriman melalui laut, dan diplomasi energi. 

Salah satu negara yang menggunakan “instrumen militer” dalam upaya mengamankan pasokan energinya adalah Prancis di dekade 1960-70an. Prancis mengembangkan tiga strategi besar untuk mengamankan pasokan minyak dari Timur Tengah yaitu dengan berperan aktif mendukung upaya negara-negara Arab dalam menyelesaikan masalah Arab-Israel, menolak upaya aliansi konsumen untuk menghadapi produsen minyak, dan upaya membangun relasi khusus dengan negara-negara produsen minyak yang salah satunya dilakukan dengan pertukaran produk strategis; senjata untuk minyak (Lieber,1980). 

Konsep kedua yang juga dapat digunakan untuk melakukan intervensi pasokan adalah dengan melakukan diversifikasi sumber energi. Jepang dan Korea Selatan merupakan beberapa contoh negara Asia yang mengadopsi strategi ini. Jepang mengembangkan sumber-sumber energi alternatif selain minyak dan gas. Diversifikasi sumber energi tidak sepenuhnya mudah untuk dilakukan. Kesiapan infrastruktur, terutama industri, untuk mengubah sumber energi menjadi hal mendasar yang perlu dilakukan. 

Sejauh ini program diversifikasi sumber energi ini mencapai cerita keberhasilan di Jepang (dari 70% bergantung pada minyak pada 1970 menjadi 50% pada 2001). Korea Selatan juga cukup berhasil menjalankan strategi ini, namun tidak kalah efisien dari Jepang karena ada faktor Korea Utara. Konsep ketiga terkait upaya-upaya untuk mengatasi kendala kondisional dan struktural yang sifatnya lebih jangka pendek. 

Upaya-upaya ini menjadi perlu dilakukan jika negara gagal mengaplikasikan dua konsep pertama. Kendala-kendala kondisional terkait dengan kejadian-kejadian yang tidak diprediksikan yang mampu mengancam suplai maupun distribusi energi. Krisis di Selat Hormuz yang terjadi tahun lalu merupakan salah satu contohnya. Gejolak Musim Semi Arab di Timur Tengah jika berlangsung di negara-negara penghasil minyak juga menjadi contoh lain. 

Intervensi pasokan hanya akan efektif bila dilakukan sebagai sebuah keputusan bersama. Artinya, semua pemangku kepentingan dalam masalah energi duduk bersama dalam paradigma yang senada. Pengalaman China memperlihatkan bahwa intervensi pasokan hanya efektif ketika perusahaan-perusahaan energi nasional, komisi perencanaan pembangunan nasional, komisi ekonomi dan perdagangan, kementerian luar negeri, militer, 

pusat-pusat kajian pembangunan, institut-institut kajian energi, institut-institut kebijakan luar negeri, akademisi, dan media memiliki pemahaman yang senada mengenai akar permasalahan energi China dan visi ke depan, dalam hal ini diletakkan pada pembangunan dan kemandirian. Dalam kebutuhan tersebut, tidak seharusnya pemerintah mengabaikan upaya meningkatkan pasokan energi untuk bisa menuju pada kondisi kedaulatan energi.

Peran serta negara menjadi sentral mengingat ekspansi energi hanya akan berhasil jika energi diperlakukan sebagai komoditas strategis dan kewenangan tersebut dimiliki oleh negara. Diplomasi bisa digunakan sebagai sarana untuk melakukan hal tersebut, apalagi jika dilakukan pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi. Jika tidak dimulai dari saat ini, kapan lagi? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar