Hari-hari
ini kita menyaksikan dinamika politik dan kesibukan partai politik dalam
menyongsong dan mempersiapkan Pemilu 2014. Dinamika politik terbaru tampak
pada penetapan Luthfi Hasan Ishaaq dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
sebagai tersangka kasus suap izin impor daging sapi di Kementerian
Pertanian.
Kasus ini masih akan terus menggelinding, karena beberapa pejabat penting
diduga juga terlibat dalam pusaran korupsi suap ini. Sebelumnya, suhu
politik di Indonesia juga menghangat akibat dari konflik internal di Partai
NasDem yang berujung pada pengunduran diri Hary Tanoesoedibjo dan para
pengurus teras partai ini. Gegap gempita politik dan parpol menjelang
Pemilu 2014 itu,menunjukkan perpolitikan Indonesia terus bergairah dan
bergerak dinamis.
Dari sekian banyak parpol yang berjibaku untuk memenuhi syarat verifikasi
administratif dan faktual, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 10 parpol
yang berhak mengikuti perhelatan akbar tahun 2014.Dari 10 parpol yang ada
itu, sebagian besar juga sedang diuji dengan berbagai permasalahan, baik
masalah internal maupun eksternal. Meski banyak tantangan dan dinamika yang
terjal dalam politik, antusiasme banyak orang untuk berpolitik dan
mendirikan partai politik sangat besar.Hal itu karena kedudukan parpol di
Indonesia masih sangat sentral.
Problem Mendasar
Saat ini, partai politik di Indonesia lebih mempunyai kekuatan dan wibawa
yang berdampak signifikan dalam kehidupan kenegaraan kita. Jika sebelumnya
perpolitikan Indonesia banyak direkayasa dan masih sering ada “sandiwara
politik”, pascareformasi perpolitikan Indonesia lebih terkonsolidasi.
Dengan segala kekurangannya, partai-partai politik yang berpartisipasi
mengikuti pemilu itu, sudah sepakat menjadikan demokrasi sebagai
satu-satunya aturan main yang dipatuhi (the
only game in the town).
Dengan begitu, demokrasi bisa menjadi rambu-rambu yang mengatur permainan
politik itu. Akan tetapi harus dicatat pula bahwa kondisi partai politik di
Indonesia masih mengalami problem-problem klasik yang serius dan
fundamental. Problem korupsi di internal partai dan keterlibatan anggota
partai politik dalam praktek korupsi sudah umum terjadi. Hal itu karena
sistem dan budaya politik di Indonesia masih mengharuskan para politisi itu
menghidupi partai yang sangat berbiaya tinggi.
Tingkat kemahiran dan reputasi seorang politisi biasanya diukur dari sejauh
mana kecanggihan dia mampu bermain dan mendatangkan sumbersumber capital
bagi partainya. Kasus Luthfi Hasan Ishaaq dari PKS adalah contoh dari
sekian banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh para politisi, baik di
level eksekutif maupun legislatif. Praktik korupsi yang banyak terjadi di
institusi negara ini, sejalan dengan pernyataan Larry Diamond bahwa masalah
korupsi dan penegakan hukum adalah problem yang menjadi hambatan serius
proses konsolidasi demokrasi di Indonesia (Indonesia’s Place in Global
Democracy, 2010).
Partai politik di Indonesia juga banyak yang kurang merakyat dan
bersentuhan langsung dengan kebutuhan-kebutuhan rakyat.Mereka hanya datang saat
menjelang pemilu untuk berkampanye dan ketika ada acara seremonial yang
mendatangkan petinggi partai. Atau ketika terjadi bencana, mereka cukup
memberikan sedikit bantuan untuk kemudian mengibarkan bendera partai.
Sedangkan kerja-kerja konkret untuk rakyat dan advokasi hak-hak rakyat
sangat jarang dilakukan.
Hal ini berlaku sama baik pada partai politik yang berkesempatan berkuasa
(the ruling parties) maupun partaipartai yang hanya berada di
parlemen.Bahkan,banyak partai- partai yang hanya mengandalkan iklan-iklan
di media (political advertising) guna meraih simpati rakyat dengan memberi
janji-janji baru atau janji lama dengan kemasan baru. Akibatnya, banyak
masyarakat yang apatis dengan partai politik dan politisi. Meskipun
sebenarnya masih banyak juga politisi yang jujur, serius, dan berkomitmen
untuk bangsa.
Dengan kondisi internal dan sistem kerja yang sedemikian itu, tidak heran
jika partai-partai politik di Indonesia kurang bisa melahirkan kader-kader
yang bisa tampil menjadi pemimpin bangsa. Para pemimpin bangsa ini justru
banyak dilahirkan dari pengaderan dari wilayah lain seperti organisasi
masyarakat, militer, pengusaha, kampus, dan sebagainya. Hal ini sangat
berbeda dengan kondisi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat,
Inggris, atau Australia di mana para pemimpin politik dan negaranya banyak
berasal dari pengaderan partai.
Para pemimpin itu sebelum aktif di partai sebelumnya juga telah matang
menjadi aktivis mahasiswa sejak zaman mudanya. Tony Blair, Gordon Brown,
David Cameron, Kevin Rudd, Julia Gillard, dan Tony Abbott adalah di antara
para pemimpin dari Inggris dan Australia yang telah matang dididik di
partai dan tampil menjadi pemimpin bangsa yang tangguh dan meyakinkan.Tidak
heran jika mental mereka sebagai politisi lebih terbentuk dan mereka sangat
berani dan canggih berdebat untuk mempertahankan kebijakan-kebijakan
politiknya di depan partai oposisi.
Reorientasi Parpol
Marcus Mietzner dalam Military Politics, Islam, and the State in Indonesia:
From Turbulent Transition to Democratic Consolidation (2009) menyatakan
bahwa pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2004 sebetulnya
menandai akhir transisi demokrasi. Dia berargumen bahwa selama era transisi
dari 1998-2004,banyak sekali konflik komunal,konflik sosial, dan persaingan
politik antara sipil dan militer.
Dalam kurun waktu itu, banyak perjuangan yang telah menghasilkan konsensus
politik,perbaikan institusi, penciptaan lembaga- lembaga baru, serta upaya
serius untuk membentuk prosedur demokrasi yang baru. Oleh karena itu, agar
proses akhir transisi yang beralih ke konsolidasi demokrasi itu tidak
kembali mundur ke belakang, maka partai politik harus lebih giat dan serius
bekerja untuk rakyat. Partai politik harus melakukan reorientasi politiknya
dan mengubah paradigmanya untuk lebih membumi dengan kebutuhan dan
kepentingan rakyat.
Partai politik harus terus- menerus bekerja sepanjang waktu untuk perbaikan
kondisi masyarakat. Kerjakerja sosial (social works) yang sudah banyak
dilakukan oleh para politisi di Amerika Serikat dan negara maju lainnya,
hendaknya bisa dijadikan salah satu acuan.Dengan begitu,para politisi itu
tidak menjadi orang yang “berumah di atas angin” yang gagap berdialog
dengan rakyat dan tidak mengetahui kebutuhan konstituennya.
Kerja-kerja politik berbasis komunitas yang seperti pernah dilakukan oleh
Tan Malaka ketika mendidik dan mencerdaskan rakyatnya di lingkungan sekolah
dan buruh perkebunan adalah sebuah contoh ideal dari kerja aktivis partai
politik. Jika para politisi kita banyak yang mau menyingsingkan baju dan
terjun langsung ke komunitas,masa depan Indonesia yang lebih cerah dan adil
pasti akan segera dapat kita nikmati bersama. Wallahu A’lam Bisshawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar