Tidak
ada yang menyangkal, mayoritas orang yang tinggal di daerah perkotaan
Indonesia saat ini telah menikmati kehidupan yang jauh lebih baik.Apalagi
bila Anda kalangan kelas menengah.
Bensin murah, listrik bisa dicuri, uang negara atau uang perusahaan bisa
dengan mudah dipatgulipatkan, penjualan naik terus, berwirausaha banyak
yang mendukung, mau jadi presiden tinggal berucap, marah mudah, bebas
berbicara, bahkan pelaku korupsi pun bisa memberi keterangan pers sambil
tersenyum. Sekalipun harga pangan sudah termahal di dunia, kita bisa tetap
makan enak. Meski harga properti naik terus, pembelinya tetap banyak.
Dengan segala kenikmatan itu, perilaku orang Indonesia telah berubah dalam
segala sektor kehidupan. Penjualan sepeda motor di akhir 2012 turun,konon
karena kebijakan Bank Indonesia (15/3/2012) tentang batas minimal uang muka
kredit.Namun penjualan mobil (2012) naik cukup signifikan. Demikian juga
jumlah wisatawan asal Indonesia yang berkunjung ke luar negeri meningkat
pesat.
Mereka yang terbang dari Bandara Soekarno-Hatta melonjak terus, dari 50
jutaan menjadi 60 jutaan, tanpa fiskal,dengan tarif pesawat low cost. Bahkan orang tua yang
pasca krisis moneter (1997–1998) menarik anak-anaknya dari luar negeri kini
mulai kembali menyekolahkan anak-anaknya ke Singapura, Australia, Eropa,
dan Amerika Serikat (AS). Di Paris saja saya menyaksikan 30% dari pelancong
yang berburu tas-tas bermerek adalah pelancong asal Indonesia. Mereka
berburu tas-tas mewah yang harganya di atas Rp15 juta.
Sinyal Tanjakan atau
Turunan
Setiap kali seseorang merasa jalannya enak, satu hal yang pasti tengah
terjadi: kita tengah melewati jalan yang menurun. Sebaliknya, di Eropa dan
Amerika Serikat, saat krisis menekan hidup, sesungguhnya mereka tengah bekerja
keras menelusuri jalan “tanjakan” yang berat. Mereka yang berada dalam
lingkungan ekonomi yang berat itu adalah buah dari apa yang ditanam oleh
para pemimpin yang berkuasa di zaman tersenyum.
Pemimpin-pemimpin yang berkuasa di era yang sulit adalah pemimpin yang
memimpin untuk dinikmati hari esok. Jaringan televisi CNN belum lama ini
misalnya menurunkan liputan gaya hidup Haruka Nishimatsu,CEO JAL, yang
memimpin dengan berbagai fasilitas jauh dari yang dinikmati ratarata CEO
Indonesia. Haruka Nishimatsu berangkatke kantor dengan bus pegawai, tak ada
sopir pribadi, tas dibawa sendiri,tak ada protokoler yang mengawal, duduk
di kelas ekonomi, makan siang bersama pegawai di kantin kantor dengan menu
siap saji seperti yang bisa dinikmati rata-rata pegawai.
Video itu dengan cepat menjadi bahan diskusi di antara para eksekutif di
negara-negara yang “matahari”ekonominya masih bersinar terang, termasuk disini,
Korea, China, Meksiko, India, dan Brasil. Bagi CEO-CEO seperti itu,
kerjakerasdiperlukanuntukmewariskan kebaikan kepada pemimpin dan generasi berikutnya.
Hal serupa sebenarnya juga dilakukan oleh para kepala negara yang memimpin
dalam ekonomi yang sulit.
Obama berjuang memangkas biaya perang dan memperbaiki sistem jaminan hari
tua dan kesehatan. Istrinya menjadi role model untuk mengubah gaya hidup
warga negaranya mulai dari pendidikan hingga obesitas. Mereka berupaya
keras mengurangi aneka kenikmatan dan memperbaiki corporate governance di sektor keuangan. Demikian juga dengan
pemimpin-pemimpin di Benua Eropa.
Mereka memperbaiki mata rantai produksi, meningkatkan “nilai” dari
produkproduk dan jasa yang dihasilkan, memperbaiki produktivitas,
mengembalikan kepercayaan, mempercepat pengambilan keputusan, mengurangi
subsidi, dan memperbaiki infrastruktur. Lantas apa yang dilakukan para CEO
dan kepala-kepala negara di negeri yang tengah merasa sedang “kaya”? Tentu
saja ada dua macam pemimpin. Ada pemimpin yang sadar betul bahwa mereka
tengah hidup di era uncertainties
yang tidak bisa diatasi dengan bersenangsenang sepanjang waktu dan ada yang
senang “menunda masalah”.
Menunda Masalah
Ya, pemimpin erat hubungannya dengan masalah dan untuk itulah mereka harus
mengambil keputusan. Pilihannya hanya ada dua: bergelut dengan atau
menundanya. Orang-orang yang bergelut melawan masalah adalah petarung yang
tak mudah mengalah terhadap masalah, melibatkan diri secara mendalam, dan
membuat rencana-rencana tindakan yang tegas. Sebaliknya pemimpin yang
menunda masalah tidak berkeinginan menyelesaikan masalah di era mereka.
Mereka justru berkolaborasi untuk menunda penyelesaian aneka masalah yang
dapat menyengsarakan generasi muda, membuat mereka mabuk subsidi, berani
berutang, membiarkan korupsi menjadi budaya. Mari kita becermin apa yang
tengah terjadi di negeri ini. Ekonomi bagus sekali. Semua elite tengah
menari dan mengentertain subsidi
untuk kalangan yang bersuara lantang, membiarkan korupsi berlarutlarut,
kemiskinan hanya dijadikan retorika, infrastruktur sudah menjadi agenda
tetapi tidak diorkestrasikan, buruh-buruh dijadikan alat gerakan politik, ketika
harga pulsa telepon naik kita tidak ribut, tetapi saat tarif parkir atau
tarif kereta api dinaikkan Rp1.000 saja bisa jadi berita besar, sekolah
internasional dilarang, kurikulum baru dihujat, koruptor berpura-pura sakit
tetapi bisa menggerakkan demo, sepak bola dijadikan alat berjudi, pembawa
acara televisi dibebaskan berceloteh dengan bahasa “banci” dan kata-kata
kotor, rektor yang korup dibela kawan-kawannya,
pintu impor dibuka lebar-lebar dibiarkan mematikan ekonomi rakyat, dan
seterusnya. Yang di atas menari, di tengah mengunci, di bawah resistensi.
Saya tak bisa membayangkan siapa yang akan sanggup menjadi presiden negeri
ini setahun dari sekarang. Penyanyi dangdut, pengacara yang suka
bersensasi, politisi yang terbiasa berpolitik uang, pengusaha yang punya
masalah besar, tentara yang dimusuhi teman-temannya, atau entahlah siapa
yang punya keberanian menegakkan benang-benang yang tampak sudah membasah
ini.
Atau jangan-jangan mereka hanya akan menghibur kita, menenangkan hati, atau
mungkin karena mereka sama sekali tidak mengerti persoalan besar yang
tengah kita hadapi. Betapa kejamnya generasi yang memimpin dengan membuang-buang
waktu. Menunda masalah adalah membuat masalah menjadi besar. Siapkah
generasi telepon pintar menghadapinya? PR-nya banyak lho! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar