Siapa
yang tak pernah mendengar nama Blok Mahakam? Berminggu-minggu menjadi
bahasan penting semua elemen sektor energi. Blok yang kabarnya masih mampu
memproduksi minyak dan gas sampai 20-25 tahun kedepan tentu menjadi sorotan
berbagai pihak, terutama pengejar profit.
Sebagai salah
satu aset yang seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat, secara praktis migas juga menjadi tanggung jawab pemerintah.
Lantas, bagaimana nasib Blok Mahakam di titik temu kepentingan rakyat,
negara, dan swasta?
Harta Bangsa yang “Hilang”
Blok Mahakam
salah satu sumber migas bangsa yang tampak “tak tersentuh” oleh pribumi.
Sejak 31 Maret 1967, Blok Mahakam secara resmi dikelola oleh swasta asing,
Total E&P Indonesia dan Inpex Corporation, untuk jangka waktu 30 tahun.
Selanjutnya pada 1997 kontrak tersebut diperpanjang untuk jangka waktu 20
tahun.
Dapat kita
lihat begitu panjangnya jangka waktu migas kita di Blok Mahakam dikelola
oleh swasta. Awal mulanya kegiatan eksplorasi di Blok Mahakam dimulai pada
1972. Eksplorasi tersebut menemukan cadangan minyak dan gas bumi dalam
jumlah yang cukup besar. Cadangan awal yang ditemukan saat itu sebesar 1,68
miliar barel minyak dan gas bumi sebesar 21,2 triliun kaki kubik (TCF).
Penemuan pada
1972 itu menjadi cikal bakal produksi dan pengurasan secara besarbesaran
migas Blok Mahakam. Setelah pengurasan selama 40 tahun, sisa cadangan 2P
minyak saat ini sebesar 185 juta barel dan cadangan 2P gas sebesar 5,7 TCF.
Kemudian akhir masa kontrak pada 2017, Blok Mahakam diperkirakan masih
menyisakan cadangan 2P minyak sebesar 131 juta barel dan cadangan 2P gas
sebanyak 3,8 TCF pada 2017.
Dari jumlah
tersebut diperkirakan sisa cadangan terbukti (P1) gas kurang dari 2 TCF.
Eksplorasi besar-besaran yang dilakukan terhadap Blok Mahakam oleh Total
dan Inpex bukan tanpa hitung-hitungan angka. Saat ini dua kontraktor
tersebut telah menginvestasikan setidaknya USD27 miliar atau sekitar Rp250
triliun sejak masa eksplorasi dan pengembangan di Blok Mahakam. Selain itu,
mereka juga telah memberikan penerimaan negara sebesar USD83 miliar atau
sekitar Rp750 triliun.
Di bawah
pengelolaan swasta, Blok Mahakam memang tetap memberikan kontribusinya bagi
bangsa. Hanya, sejumlah profit yang diambil para kontraktor dianggap
sebagai suatu hal yang inkonstitusional karena berarti migas Indonesia
tidak digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.Pertanyaannya,
mungkinkah Indonesia berdiri sendiri tanpa kerja sama swasta asing?
Negara dan Swasta Asing, VS atau CS?
Empat tahun
menjelang kontrak berakhir,muncul desakan dari berbagai pihak kepada
pemerintah untuk tidak memperpanjang kontrak dengan Total dan Inpex.
Alasannya jelas, status Blok Mahakam sebagai aset bangsa seharusnya
dikelola sebanyak-banyaknya untuk rakyat, bukan dikeruk untuk menghasilkan
profit bagi swasta semata. Pertamina, selaku perusahaan negara, merupakan
pihak yang dirasa tepat untuk mengelola Blok Mahakam.
Namun,mari
cermati berbagai kelemahan yang dimiliki Pertamina jika ingin mengelola
blok ini. Dari segi finansial, sebenarnya Pertamina tidak ada masalah untuk
mengelola Blok Mahakam. Namun, Pertamina lemah di teknologi dan manajemen
pengelolaan lapangan. Blok Migas adalah penghasil gas tua. Artinya, blok
ini membutuhkan begitu banyak perhatian khusus dalam pengelolaannya.
Profesionalisme
dalam manajemen dan good governance
Pertamina masih sangat perlu diuji dan dibuktikan lebih dahulu. Sementara
Total dan Inpex tentu menginginkan perpanjangan kontrak setelah 2017.
Mereka memiliki rencana investasi 2013-2017 yang harus dilakukan agar
produksi gas masih bisa dipelihara untuk memenuhi komitmen dengan konsumen
gas sampai 2022. Namun,hasil investasi tersebut baru dapat dirasakan bila
Total masih bisa ikut sampai 2022.
Kendati
demikian, bukan berarti bangsa kita menyerahkan pengelolaan migas kepada
asing selamanya. Bayangkan saja jika kekayaan yang menyangkut hajat hidup
rakyat terus-menerus dikuasai asing. Apa yang diproduksi Blok Mahakam salah
satu manifestasi pelayanan publik yang tentu saja memiliki public value.
Sebagaimana
dikatakan Coats and Passmore (2008), “Public
value argues that public services are distinctive because they are
characterized by claims of rights by citizens to services that have been
authorized and funded through some democratic process”.
Setiap
pelayanan publik yang memiliki public value jelas memiliki klaim berupa hak
rakyat terhadap pelayanan tersebut. Hal ini tentu saja karena pelayanan
publik tersebut secara resmi merupakan kewajiban pemerintah.
Memperpanjang
kontrak Blok Mahakam kepada Total dan Inpex sepenuhnya tentu bukan pilihan
tepat jika tidak ingin melihat migas kita di masa depan berada sepenuhnya
dalam genggaman asing, sementara pribumi hanya gigit jari. Namun,
menyerahkan Blok Mahakam sepenuhnya kepada Pertamina juga tidak menjamin
pengelolaannya akan lebih baik jika kapasitas BUMN tersebut masih stagnan.
Joint Operation sebagai Solusi
Tak ada masalah
tanpa jalan keluar. Dilema Blok Mahakam akan menemui titik akhir bukan
dengan memilih antara memperpanjang kontrak dan menyerahkannya kepada BUMN.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan dua kontraktor pengelola Blok
Mahakam memiliki peranan yang sangat besar.
Kendati
demikian, Pertamina selaku perusahaan negara perlu ikut serta dan belajar
berbisnis gas di tempat yang berisiko besar,baik dari sisi investasi maupun
teknologi. Karena itu, penyertaan BUMN/BUMD menjadi penting. Dengan kata
lain, joint operation (JO)
menjadi solusi ideal yang dapat diambil untuk mengatasi dilema Blok
Mahakam. JO yang dilakukan ini tentu harus dengan dominasi Pertamina.
Pemerintah
sebaiknya meminta bagian negara agar dinaikkan sejak 2017.Hal ini
diperlukan karena seluruh aset sudah menjadi milik negara akibat sudah
terbayar oleh mekanisme cost recovery
sehingga bagian operator setelah 2017 tidak akan sebesar sekarang. Lebih
lanjut,menyertakan perusahaan negara dalam mengelola migas bukan berarti
mengulang kembali kesalahan yang terjadi sebelumnya.
Sebagai contoh,
kasus PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ).
Pertamina membeli ONWJ dari British Petroleum dengan nilai USD250 juta pada
2003, namun hingga kini nyatanya investasi belum kembali. Awalnya produksi
memang terlihat naik, namun hal ini semata hanya karena kecepatan proses approval dan tidak ada eksplorasi
yang memadai.
Hal ini
akhirnya menyebabkan proses produksi menjadi anjlok. Kesalahan masa lalu
lainnya terjadi pada PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore
(PHE-WMO). Pertamina diberikan blok WMO pada akhir 2011 ketika saat itu
produksi masih sekitar 15.000 barel per hari (bph). Pada kenyataannya, produksi
terjun bebas ke 1.200 bph minggu lalu walau kini naik kembali menjadi
7.000-an bph.
Namun, angka
kenaikan tersebut juga masih jauh dari harapan yakni di atas 20.000 bph.
Selain itu, dari sisi penerimaan negara, kita kehilangan produksi dan
mengalami penurunan penerimaan. Kedua pengalaman buruk penyertaan
perusahaan negara ke dalam pengelolaan migas mengisyaratkan sebuah
kesimpulan, Pertamina sebagai perpanjangan tangan negara dalam mengelola
migas bangsa tidak boleh kalah kredibel jika dibandingkan dengan swasta
asing dalam bidang apa pun, termasuk bidang penguasaan teknologi.
Karena itu,
selama proses JO, perlu ada pengalihan teknologi dari Total dan Inpex ke
Pertamina. Hal ini diperlukan karena sebaiknya JO dilakukan selama 5-10
tahun saja.Setelah itu Blok Mahakam sepenuhnya dikelola Pertamina. Intinya,
Blok Mahakam akan dapat dikelola oleh Pertamina jika BUMN tersebut sudah
dirasa kapabel dan kredibel melakukan tanggung jawab tersebut.
Pertamina perlu
membenahi manajemen perusahaan sehingga mampu memberi dampak positif bagi
penerimaan negara dan menjadi BUMN yang memosisikan dirinya sebagai pilar
kedaulatan energi di Indonesia. Selain itu, SKK Migas juga memiliki peran
dalam memberikan evaluasi dan rekomendasi soal peningkatan kinerja dan
kompetensi Pertamina. Dengan demikian, Pertamina layak disetarakan dengan
perusahaan migas kelas dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar