Hati saya sedang
berbunga-bunga. Sebagai mantan aktivis sebuah organisasi pelajar Islam, alhamdulillah wa syukurulillah,
sebulan terakhir meskipun bukan bulan puasa, politisi kita terasa semakin
‘saleh’ dan ‘religius’. Terima kasih juga kepada media yang telah bersedia
menjadi panggung unjuk kesalehan para politisi.
Repotnya,
sekarang saya mengalami kesusahan membedakan ustadz, mubaligh, dan kyai
dengan politisi. Semuanya mirip. Perilaku keberagamaan mereka sama. Mungkin
fenomena ini mesti dilihat sebagai keberhasilan pada level praktis dan
kongkret ajaran tentang Islam itu adalah agama dan sekaligus negara (Al-Islam huwa Ad-din wa Ad-daulah). Ustadz Yes; Politikus Yes. Atau,
mubaligh OK, presiden lebih OK dong!
Coba simak rangkain
kejadian di bawah ini! Insya Allah, Anda (tidak) akan sepakat bahwa
politisi kita kini tambah religius.
Agama Para Politisi
Lihatlah
kesalehan Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), mantan Presiden Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). Seketika sebelum masuk 'mobil jemputan' Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) seraya membantah bahwa ia terlibat dalam kasus
impor sapi, LHI menyempatkan diri mengutip dzikir dari ayat Al-Qur’an: ‘hasbunallah wa anni’ma al-wakil, ni'ma
al maula wa ni’ma annashir’ (cukuplah
Allah menjadi penolong kami dan Allahlah sebaik-baiknya pelindung dan
penolong). Kapan lagi kita bisa menyaksikan politikus yang dari
mulutnya meluncur ayat-ayat Tuhan.
Selain itu LHI
juga terkenal seorang yang taat beragama. Seorang koleganya di DPR
memberikan kesaksian bahwa LHI adalah sosok yang alim, religius dan khusuk
(Kompas 31/01/2013). Di hari yang sama, tetangga LHI di malang juga
mengeluarkan testimoni yang hampir sama bahwa LHI adalah orang yang baik
hati, sederhana dan dermawan. Ia rajin menyantuni anak yatim piatu dan
fakir miskin (Kompas 31/01/2012). Uswah hasanah (teladan) yang hampir
sempurna!
Tidak kalah
saleh dari mantan presiden partai dakwah di atas, Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat (PD), mempertontonkan kesalehannya
kepada publik dengan cara yang lain. Tepat di depan Ka'bah, Masjid Haram
Makkah Al-Mukarramah, SBY menularkan religiusitasnya dengan mengirim pesan
singkat (SMS) kepada kader demokrat di seluruh Indonesia untuk berdoa agar
kemelut yang menerpa partai ini segera berakhir (detik.com 06/02/2013 ).
Ajaibnya,
ternyata doa SBY langsung dikabulkan Tuhan. Usai shalat subuh di Makkah dan
Madinah SBY mendapatkan petunjuk bagaimana cara menyelesaikan problem
internal demokrat yang menyebabkan perolehan partai ini jeblok di berbagai
survei (detik.com 08/02/2013). Dengan rangkaian unjuk kesalehan ini,
sebagai partai “nasionalis-religius” kader demokrat nampaknya paham bahwa
tindakan penyelamatan yang dilakukan SBY setibanya di Jakarta bukan sekedar
langkah politis, pragmatis dan profan melainkan sebuah “divine intervention” yang harus ditaati. Saya berani bertaruh,
SBY adalah presiden Indonesia yang paling saleh dibanding Soekarno,
Soeharto, B.J. Habibie, Gus Dur dan Megawati!
Tidak kalah
saleh dari seniornya yang berada di Makkah, Anas Urbaningrum (Ketua Umum
PD) juga memperlihatkan kesalehan par
excellence. Di tanah air, di rumahnya di kawasan Duren Sawit, Anas
menggelar khataman Al-Qur’an.
Para pembaca Al-Qur’an sengaja didatangkan dari sebuah pesantren Nahdlatul
Ulama (NU) di Yogyakarta yang dipimpin mertuanya, K.H. Attabik Ali. Tidak
tanggung-tanggung, mereka menamatkan Al-Qur’an yang sebegitu tebal dua kali
dalam sehari (Kompas, 08/02/2013).
Sehari
sebelumnya, didera ‘pengkhiatan para sengkuni’, di depan kader Demokrat,
Anas yang diduga terlibat bisnis haram bersama Nazaruddin (mantan Bendahara
Umum PD), menyitir sirah nabawiyah
tentang pentingnya loyalitas dan soliditas para sahabat bagi kemenangan dan
kejayaan Islam pada masa Rosulullah (detik.com 07/02/2013). Bahkan, setelah
kekuasaannya dipreteli di Cikeas, setibanya di rumah, hal pertama yang
dilakukan anas adalah menunaikan salat, menghadap ilahi rabbi (beritasatu.com 09/02/2013). Adakah Ketua Umum partai yang se-saleh Anas Urbaningrum? Rasanya
tidak ada!
Lain PKS, lain
Demokrat, lain pula Golkar. Rusli Zainal, Ketua DPP Partai Golkar dan juga
Gubernur Riau yang kini menjadi tersangka dua kasus korupsi sekaligus, juga
orang yang kadar kesalehannya tidak boleh diragukan. Kalau Anda berkunjung
ke Riau petang menjelang maghrib, sempatkan menonton adzan maghrib di TV
lokal (Riau TV). Suara muadzin-nya
merdu dan mendayu-dayu membuat orang ingin lekas-lekas wudhu’ dan
sembahyang. Anda tahu, sang muadzin yang bersuara merdu itu adalah Bapak
Gubernur Riau!
Sekitar sepuluh
tahun lalu ketika saya menyempatkan diri bersilaturahim dengan orang tua di
Pekanbaru, Rusli Zainal sedang digadang-gadang untuk menjadi gubernur.
Tetangga saya banyak yang kagum kepadanya. “Sosok muda visioner!” begitu kata mereka. Dan yang lebih
penting, lanjut tetangga saya, Rusli Zainal adalah orang yang taat
beragama. Biasa mengisi khutbah Jum’at bahkan pernah menjadi juara
Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat kabupaten. “Kapan lagi kita punya gubernur seorang qori?” tanya tetangga
saya menjajakan gubernur jagoannya. Memang, saya kira tidak ada gubernur di Indonesia yang bisa mendendangkan
ayat-ayat suci sefasih Rusli Zainal!
Cerita tentang
kesalehan politisi kita tidak sampai di sini. Bila beri salam sama dengan
berjilbab maka kita tidak perlu lagi ada ormas Islam seperti NU dan
Muhammadiyah. KPK lebih canggih dalam berdakwah untuk menjilbabkan para
muslimah. Lihatlah Maharani Suciono yang tampil pada konferensi pers pasca
penangkapannya bersama Ahmad Fathoni di sebuah kamar hotel mewah di
Jakarta. Tubuhnya tertutup rapat dengan kerudung yang menempel di
kepalanya. Dipta Anindita, istri muda Irjen Djoko Susilo yang terlilit
kasus simulator SIM, datang ke KPK juga mengenakan busana muslimah
(13/02/2013). Ia terlihat seperti santri pulang liqo. Sulit membedakan Maharani dan Dipta dengan ibu-ibu
Majelis Taklim Al-Mansyuroh dekat rumah saya di Bekasi selain memang
keduanya pasti terlihat lebih cantik.
Reorientasi Keberislaman?
Keriang-gembiraan
saya akan semakin salehnya politisi tertunda ketika seorang kawan
mengingatkan bahwa beragama tidak boleh berhenti pada ritual dan simbol.
Agama tidak hanya di ‘kulit’ tapi harus merasuk ke ‘daging’ dan ‘tulang’.
Bahkan dia dengan berani menuduh para politisi yang saya ceritakan di atas
sedang melakukan malpraktik keberagamaan. “Apakah praktik keberagamaan yang serba simbolik seperti itu tidak
akan membuat orang eneg dan mules terhadap Islam?” tanya kawan saya
itu. Saya mengangguk lemes mengiyakan. Hati saya layu, tidak berbunga-bunga
lagi.
Tapi mau bagaimana
lagi. Al-Qur’an adalah kitab suci seluruh ummat Islam tanpa melihat mereka
berjanggut, berkumis atau plontos. Ka'bah juga tidak saja milik penguasa
alim tapi juga kepunyaan penguasa lalim. Tuhan Yang Maha Pengasih dan
Pengampun menurunkan Islam tidak hanya untuk rakyat jelata yang papa tapi
juga bagi para politisi (tersangka) korup(si)tor. Wallahua’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar