Para
dokter dan rumah sakit saat ini berada di kubangan cibiran publik. Itu
terjadi sebagai konsekuensi meninggalnya bayi mungil, Dera, yang
membutuhkan bantuan medis sangat serius, namun dikabarkan ditolak oleh
sepuluh rumah sakit.
Hati memang
tersayat menyimak berita tentang Dera. Apalagi dengan latar ekonomi orang
tuanya yang sangat sederhana, masyarakat akan mudah menyimpulkan bahwa
nasib nahas Dera adalah buah dari kemiskinan keluarganya.Sadar maupun tanpa
sadar,terbentuk keresahan sosial sebagai akibat simpulan yang lagi-lagi
ditarik dengan gampang: orang miskin dilarang sakit.
Kebanyakan
masyarakat tampaknya berpikir bahwa sebelum memutuskan jenis tindakan yang
akan diambil, dokter terlebih dahulu memperhatikan semua hal terkait
kondisi pasien. Dengan proses berpikir yang diasumsikan sangat rasional
itu,keputusan yang diambil dokter juga dipandang sebagai keputusan dengan
kemanfaatan maksimal.
Faktanya,
benarkah langkah seperti itu kecenderungan perilaku dokter? Sebelum sampai
ke jawaban atas pertanyaan tersebut, perlu dipahami bahwa—terutama— unit
gawat darurat rumah sakit didatangi oleh banyak pasien.Keluhan pasien
sangat beragam. Jumlah dokter terbatas. Tidak sebatas memberikan tindakan
medisteknis dengan memeriksa fisik pasien, para dokter juga harus
mengerjakan tugas-tugas medis- administratif antara lain membuat catatan
rekam medis dan menuliskan resep.
Situasi
sedemikian rupa niscaya memberikan beban kognitif sangat tinggi kepada para
dokter.Namun, dalam situasi tersebut, dokter dituntut untuk tetap dapat
menentukan jenis tindakan dalam tempo selekas mungkin. Situasi semacam
itu,saya yakini, tidak memungkinkan bagi proses pembuatan keputusan
rasional.
Secara
realistis, bahkan sangat manusiawi, dokter tidak akan mengeksplorasi dan
mengolah semua informasi semata- mata tentang pasien sebelum menghasilkan
keputusan tertentu. Sebagai gantinya, demi memastikan respons kedaruratan
dan kegawatan tetap terjaga,dokter akan cenderung mengambil keputusan
dengan jalan pintas atau heuristik. Berpikir secara jalan pintas bukan
mengindikasikan kemalasan, apalagi kebodohan, dokter.
Keputusan
harus— atau terpaksa—dibuat lewat jalan pintas karena situasi yang memaksa
demikian.Apalagi, tak bisa dinihilkan,semua pasien merasa kondisinya paling
parah dibandingkan pasien lain serta ingin dilayani sesegera mungkin. Bisa
dibayangkan risiko yang bakal terjadi sekiranya dokter berpikir secara
komprehensif dan mendalam.Waktu yang dibutuhkan untuk melayani setiap
pasien akan sangat panjang.
Masing-masing
pasien juga bisa terlambat menerima tindakan yang semestinya karena dokter
berpikir terlalu njelimet memberikan penanganan tertentu. Guna menjalankan
proses berpikir jalan pintas, ada kemungkinan dokter menerapkan
tahapan-tahapan berpikir tertentu yang jauh lebih sederhana.
Sebagai
ilustrasi, saat akan menentukan apakah pasien akan dirawat inap atau
dirawat jalan, dokter hanya memperhatikan dua kondisi. Jika pasien berada
dalam kondisi A, sakit pasien dianggap tidak parah. Jika B, berarti parah. Karena
parah, berlanjut ke tahap berpikir selanjutnya yaitu adakah ruangan. Jika
tidak ada, ‘selesai’ urusan. Jika ada, dokter berpikir ke tahap ketiga:
adakah pasien lain yang juga membutuhkan rawat inap.
Apabila
tidak,tak ada masalah. Apabila ada, siapa yang harus didahulukan. Demikian
seterusnya; pada setiap tahapan berpikir, dokter selalu berhadapan dengan
dua opsi: “ya atau tidak”, “ada atau nihil”, “positif atau negatif”, dan
sejenisnya. Panjang pendeknya “pohon berpikir” tersebut, sangat relatif. Walau
demikian, proses seperti ini tetap lebih ringkas ketimbang proses rasional
yang dijelaskan pada alinea-alinea terdahulu.
Berpikir jalan
pintas bukan pertanda kesembronoan dokter, melainkan siasat kognitif yang
paling masuk akal untuk dipraktikkan dalam ruang gawat darurat. Hebatnya,
riset menunjukkan, proses berpikir jalan pintas ternyata—paling tidak—sama
andalnya dengan proses berpikir rasional yang serba komprehensif.
Terlepas dari
jenis cara berpikir yang dokter lakukan, keberadaan pasien di hadapan
dokter merupakan sesuatu yang krusial. Dokter tidak akan bisa menakar
kondisi pasien tanpa kehadiran pasien. Alih-alih, sebatas mengandalkan
informasi dari pihak ketiga, potensi bias yang dapat terjadi. Andaikan
dokter membuat perkiraan di bawah kondisi sebenarnya pasien (underestimate), akibatnya bisa
fatal.
Tapi, apabila
perkiraan dokter di atas kondisi aktual pasien (overestimate), selain bisa berefek buruk bagi pasien tersebut,
penanganan yang berlebihan juga dapat merugikan pasien lain yang bisa jadi
lebih benar-benar membutuhkan. Menambah rumit keadaan adalah ketika pasien
datang dalam kondisi yang sudah amat sangat payah.Begitu buruknya si
pasien, sampai-sampai dokter pada dasarnya sudah memprediksi bahwa tak ada
tindakan jitu untuk menyelamatkan nyawa pasien.
Tentu, terlalu naif
apabila saya mengingkari ada dokter nakal yang terkesan ingin
mengeksploitasi pasien. Sekadar berbagi cerita; Aza, anak ketiga saya,
suatu ketika pernah sekonyong-konyong langsung disarankan dokter untuk
diopname. Dugaan si dokter, “Demam berdarah atau tifus.” Butuh keberanian
ekstra untuk meminta dokter tersebut menjelaskan gejala-gejala yang ia
simpulkan sebagai demam berdarah ataupun tifus, di samping bentuk-bentuk
tindakan yang akan ia berikan selama Aza dirawat inap.
Setelah
berdiskusi, saya ‘memaksa’ dokter berpikir lebih rinci, barulah dokter
membuka kesempatan bagi Aza untuk menjalani rawat jalan. Lalu, entah untuk
menghangatkan relasi pasien-dokter, atau ada muatan yang lebih tendensius,
dokter tersebut akhirnya bertanya ke saya, “Bapak sekolah di mana?” Kembali
ke inti tulisan ini; seperti banyak orang lainnya, saya pun dirundung pilu
mengikuti warta tentang Dera.
Kendati begitu,
ungkapan “orang miskin dilarang sakit” saya anggap sebagai pesan yang
sedikit banyak berangkat dari kurangnya perhatian terhadap kompleksitas
psikologis (kognitif) dokter di ruang-ruang gawat darurat rumah sakit. Kompleksitas
itu bukanlah masalah etika atau moralitas dokter. Juga penting bagi semua
pihak untuk mewaspadai kemungkinan bias dalam menilai kerja dokter dan
rumah sakit.
Layanan yang
dokter berikan tidak melulu dipengaruhi oleh diri dokter sendiri
(disposisi), tetapi juga ditentukan oleh faktor situasi. Apa boleh buat,
kita barangkali perlu menerima kemungkinan bahwa ketika antrean pasien
(anggaplah semuanya adalah pasien miskin) teramat sangat panjang, akan ada
satu dua pasien yang tak bisa terpuaskan. Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar