Akhir-akhir ini kita disuguhi
sejumlah informasi yang sangat menyayat perasaan, terutama rasa
keberagamaan dan kemanusiaan.
Bagaimana tidak, mulai dari kasus
pemerkosaan, penculikan, pelecehan, hingga perdagangan anak. Semua itu
menjadikan kita seakan tidak ada lagi napas untuk melihat persoalan ini
dengan lebih jernih dan terukur, serta melihat bahwa agama, yakni pemahaman
manusia terhadap ajaran agama, punya andil sangat besar dalam memahami dan
menyelesaikan persoalan yang karut-marut ini. Salah satu aspek adalah
bagaimana melihat persoalan agama dan perempuan: apakah pemahaman ajaran
agama yang ada sekarang ini memberikan andil untuk terjadinya diskriminasi
terhadap perempuan atau sebaliknya?
Sosialisasi pemahaman keagamaan
dan keilmuan yang lebih egaliter dan berkeadilan dimaksudkan untuk
merekonstruksi nilai-nilai tradisional yang tidak lagi kondusif bagi proses
perubahan sosial. Termasuk bias jender, yang sering kali menghambat
tercapainya masyarakat yang berkeadilan. Karena itu, diperlukan seperangkat
analisis yang baik dan akurat dalam bidang akademik-keilmuan, yang pada
gilirannya berakibat pada penyusunan dan pengembangan kurikulum dan silabus
dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.
Maskulinisasi Epistemologi
Tak berlebihan jika dikatakan
bahwa selama ini ilmu pengetahuan positivistik beserta teori yang
dibangunnya merupakan konstruksi kaum laki-laki. Terlebih lagi jika kita
percaya pada apa yang dikatakan Simone de Beauvoir, ”dunia itu memang hasil
karya laki-laki” dan ”perempuan adalah jenis kelamin kedua”. Di sinilah
terjadi apa yang ditengarai oleh para pemikir dan pengamat filsafat
keilmuan sebagai apa yang disebut maskulinisasi epistemologi.
Kecenderungan maskulinisasi
tersebut memasuki beragam wilayah kajian. Tak terkecuali kajian ’Ulum
al-din atau ilmu-ilmu keagamaan Islam. Dunia keilmuan, selain telah
berkembang sangat pesat, juga diiringi konflik laten antara dua corak
dogmatisme: dogmatisme sekularisme ekstrem dan dogmatisme fundamentalisme
negatif agama-agama yang rigid dan radikal.
Dirasat Islamiyyah (Islamic studies) atau studi
keislaman kontemporer dituntut dapat membantu keluar dari problem dan
kesulitan yang dihadapi oleh ’Ulum
al-din (lama). Ia sekaligus dituntut dapat memberikan jalan keluar yang
relevan dengan dinamika zaman, sebagai konsekuensi logis dari keberhasilan
pendidikan pada setiap jenjang, yang mendorong tumbuhnya gagasan yang kuat
tentang keadilan, kesetaraan, dan penghargaan terhadap martabat kemanusiaan
(al-karamah al-insaniyyah).
Untuk itulah diskursus keilmuan
Islam bukan lagi sebagai keilmuan agama yang tertutup, tetapi terbuka dan
selalu diperlukan pengayaan dengan teori- teori sosial-humaniora semacam
hermeneutik untuk menopang dan mengembangkannya. Jika kita telusuri lebih
jauh, adanya fenomena pemahaman dan penafsiran yang monolitik terhadap Al
Quran dan al-Sunnah sebenarnya karena kurangnya pemahaman yang segar akan
faktor-faktor kesejarahan (tarikhiyyah)
yang ada di dalam ajaran Islam itu sendiri. Suatu pemahaman yang monolitik
dan rigid berpegang pada pandangan seolah ilmu agama merupakan ilmu yang
sakral, yang dilahirkan sekali untuk selamanya.
Padahal, tidak demikian adanya.
Terdapat perbedaan antara agama dan pengetahuan keagamaan, antara al-Din dan ’Ulum al-din, atau antara Islam dan pengetahuan tentang Islam
memang tak berubah, tetapi pemahaman manusia tentang Islam selalu berubah.
Berbeda dengan agama, pengetahuan keagamaan bukanlah ”wahyu langit” karena ia merupakan human construction—untuk tidak menyebutnya sebagai social dan cultural construction—sebagaimana cabang dari berbagai macam
ilmu manusia yang lain.
Jika diskursus dan pemahaman
mendasar ini diaplikasikan terhadap penafsiran Al Quran, maka dapat
dikatakan: ”yang berubah bukan Al
Quran, tapi kapasitas dan partikularitas pemahaman dan refleksi manusia
terhadap Al Quran tersebut dalam komunitas umat selalu dan terus berubah.” Untuk
itulah diskursus dan pemahaman mendasar semacam ini perlu dan harus
dikembangkan di kalangan umat.
Perlu diketahui, hermeneutik tidak
dimaksudkan untuk menghapus perbedaan antara Al Quran dengan tafsirnya.
Akan tetapi, untuk menjembatani jurang yang ada di antara keduanya, antara
teks dan penafsir, karena para penafsir Al Quran tidak bisa tidak memang
selalu terjebak dan terbelenggu waktu (tradisional, modern, postmodern), tingkat
pendidikan (dasar, menengah, tinggi), dan pengalaman (lokal, nasional,
global), dan begitu seterusnya. Perlu dipahami, sikap misoginis (pembenci
perempuan) yang muncul di sebagian komunitas Muslim kebanyakan memang
berasal dari sumber- sumber di luar Al Quran, terutama tafsir dan hadis.
Lebih jauh lagi, walaupun sangat
berlimpah hadis yang berpandangan sangat positif terhadap perempuan, kaum
konservatif lebih suka mengambil hadis-hadis misoginis, yaitu hadis-hadis
yang membenci atau melecehkan perempuan sebagai pedoman, daripada mengambil
hadis-hadis yang ramah terhadap perempuan. Bukan hanya hadis-hadis yang
antiperempuan yang jadi masalah, tetapi kenyataan bahwa hadis-hadis
misoginis justru diperkenalkan ke dalam tubuh resmi keilmuan Islam sejak abad
pertengahan dan dipertahankan sampai sekarang.
Hadis-hadis model inilah yang
mewarnai dan menggambarkan ”model perempuan Islam abad tengah” yang statis,
terbelakang, kurang terdidik, tak berpengalaman, yang hingga kini masih
ikut membentuk sikap terhadap perempuan. Sungguh ironis karena hadis-hadis
misoginis hanya ada enam yang diterima sebagai sahih dari sekitar 70.000-an
koleksi hadis. Namun, kenyataannya, justru enam hadis ini yang dipakai
sebagian penafsir laki-laki ketika mereka berargumentasi untuk menentang
keadilan dan kesetaraan jender. Kelompok ini benar-benar mengabaikan
hadis-hadis yang positif dan ramah perempuan, yang jumlahnya jauh lebih
banyak.
Butuh Perspektif Baru
Memang harus diakui, dalam kajian
fikih masih banyak yang otoriter dan merendahkan kaum perempuan. Ini
berarti, budaya patriarki cenderung mereproduksi hegemoni struktural jender
dalam teori ataupun praktik.
Kokohnya bangunan patriarki dan
maskulinisasi ini perlu diimbangi dengan cara pandang yang lebih adil dalam
memandang perempuan. Diperlukan upaya bersama untuk mendorong kesetaraan
dan persamaan martabat kemanusiaan (al-karamah
al-insaniyyah) dalam pengembangan ilmu agama dan kehidupan sehari-hari.
Pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya studi agama dan studi Islam, butuh perspektif baru yang lebih
adil secara jender untuk menjadikannya sebagai teori dan praksis sosial
yang adil bagi semua kaum, tanpa bias laki-laki. Sikap dan bias inilah yang
mewarnai corak pemahaman dan penafsiran keagamaan sebagian pimpinan
masyarakat, yang belakangan jadi bahan pemberitaan media massa di Tanah
Air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar