Rabu, 06 Februari 2013

Agama dan Perempuan


Agama dan Perempuan
M Amin Abdullah ;   Anggota AIPI di Komisi Kebudayaan
KOMPAS, 06 Februari 2013


Akhir-akhir ini kita disuguhi sejumlah informasi yang sangat menyayat perasaan, terutama rasa keberagamaan dan kemanusiaan.
Bagaimana tidak, mulai dari kasus pemerkosaan, penculikan, pelecehan, hingga perdagangan anak. Semua itu menjadikan kita seakan tidak ada lagi napas untuk melihat persoalan ini dengan lebih jernih dan terukur, serta melihat bahwa agama, yakni pemahaman manusia terhadap ajaran agama, punya andil sangat besar dalam memahami dan menyelesaikan persoalan yang karut-marut ini. Salah satu aspek adalah bagaimana melihat persoalan agama dan perempuan: apakah pemahaman ajaran agama yang ada sekarang ini memberikan andil untuk terjadinya diskriminasi terhadap perempuan atau sebaliknya?
Sosialisasi pemahaman keagamaan dan keilmuan yang lebih egaliter dan berkeadilan dimaksudkan untuk merekonstruksi nilai-nilai tradisional yang tidak lagi kondusif bagi proses perubahan sosial. Termasuk bias jender, yang sering kali menghambat tercapainya masyarakat yang berkeadilan. Karena itu, diperlukan seperangkat analisis yang baik dan akurat dalam bidang akademik-keilmuan, yang pada gilirannya berakibat pada penyusunan dan pengembangan kurikulum dan silabus dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.
Maskulinisasi Epistemologi
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa selama ini ilmu pengetahuan positivistik beserta teori yang dibangunnya merupakan konstruksi kaum laki-laki. Terlebih lagi jika kita percaya pada apa yang dikatakan Simone de Beauvoir, ”dunia itu memang hasil karya laki-laki” dan ”perempuan adalah jenis kelamin kedua”. Di sinilah terjadi apa yang ditengarai oleh para pemikir dan pengamat filsafat keilmuan sebagai apa yang disebut maskulinisasi epistemologi.
Kecenderungan maskulinisasi tersebut memasuki beragam wilayah kajian. Tak terkecuali kajian ’Ulum al-din atau ilmu-ilmu keagamaan Islam. Dunia keilmuan, selain telah berkembang sangat pesat, juga diiringi konflik laten antara dua corak dogmatisme: dogmatisme sekularisme ekstrem dan dogmatisme fundamentalisme negatif agama-agama yang rigid dan radikal.
Dirasat Islamiyyah (Islamic studies) atau studi keislaman kontemporer dituntut dapat membantu keluar dari problem dan kesulitan yang dihadapi oleh ’Ulum al-din (lama). Ia sekaligus dituntut dapat memberikan jalan keluar yang relevan dengan dinamika zaman, sebagai konsekuensi logis dari keberhasilan pendidikan pada setiap jenjang, yang mendorong tumbuhnya gagasan yang kuat tentang keadilan, kesetaraan, dan penghargaan terhadap martabat kemanusiaan (al-karamah al-insaniyyah).
Untuk itulah diskursus keilmuan Islam bukan lagi sebagai keilmuan agama yang tertutup, tetapi terbuka dan selalu diperlukan pengayaan dengan teori- teori sosial-humaniora semacam hermeneutik untuk menopang dan mengembangkannya. Jika kita telusuri lebih jauh, adanya fenomena pemahaman dan penafsiran yang monolitik terhadap Al Quran dan al-Sunnah sebenarnya karena kurangnya pemahaman yang segar akan faktor-faktor kesejarahan (tarikhiyyah) yang ada di dalam ajaran Islam itu sendiri. Suatu pemahaman yang monolitik dan rigid berpegang pada pandangan seolah ilmu agama merupakan ilmu yang sakral, yang dilahirkan sekali untuk selamanya.
Padahal, tidak demikian adanya. Terdapat perbedaan antara agama dan pengetahuan keagamaan, antara al-Din dan ’Ulum al-din, atau antara Islam dan pengetahuan tentang Islam memang tak berubah, tetapi pemahaman manusia tentang Islam selalu berubah. Berbeda dengan agama, pengetahuan keagamaan bukanlah ”wahyu langit” karena ia merupakan human construction—untuk tidak menyebutnya sebagai social dan cultural construction—sebagaimana cabang dari berbagai macam ilmu manusia yang lain.
Jika diskursus dan pemahaman mendasar ini diaplikasikan terhadap penafsiran Al Quran, maka dapat dikatakan: ”yang berubah bukan Al Quran, tapi kapasitas dan partikularitas pemahaman dan refleksi manusia terhadap Al Quran tersebut dalam komunitas umat selalu dan terus berubah.” Untuk itulah diskursus dan pemahaman mendasar semacam ini perlu dan harus dikembangkan di kalangan umat.
Perlu diketahui, hermeneutik tidak dimaksudkan untuk menghapus perbedaan antara Al Quran dengan tafsirnya. Akan tetapi, untuk menjembatani jurang yang ada di antara keduanya, antara teks dan penafsir, karena para penafsir Al Quran tidak bisa tidak memang selalu terjebak dan terbelenggu waktu (tradisional, modern, postmodern), tingkat pendidikan (dasar, menengah, tinggi), dan pengalaman (lokal, nasional, global), dan begitu seterusnya. Perlu dipahami, sikap misoginis (pembenci perempuan) yang muncul di sebagian komunitas Muslim kebanyakan memang berasal dari sumber- sumber di luar Al Quran, terutama tafsir dan hadis.
Lebih jauh lagi, walaupun sangat berlimpah hadis yang berpandangan sangat positif terhadap perempuan, kaum konservatif lebih suka mengambil hadis-hadis misoginis, yaitu hadis-hadis yang membenci atau melecehkan perempuan sebagai pedoman, daripada mengambil hadis-hadis yang ramah terhadap perempuan. Bukan hanya hadis-hadis yang antiperempuan yang jadi masalah, tetapi kenyataan bahwa hadis-hadis misoginis justru diperkenalkan ke dalam tubuh resmi keilmuan Islam sejak abad pertengahan dan dipertahankan sampai sekarang.
Hadis-hadis model inilah yang mewarnai dan menggambarkan ”model perempuan Islam abad tengah” yang statis, terbelakang, kurang terdidik, tak berpengalaman, yang hingga kini masih ikut membentuk sikap terhadap perempuan. Sungguh ironis karena hadis-hadis misoginis hanya ada enam yang diterima sebagai sahih dari sekitar 70.000-an koleksi hadis. Namun, kenyataannya, justru enam hadis ini yang dipakai sebagian penafsir laki-laki ketika mereka berargumentasi untuk menentang keadilan dan kesetaraan jender. Kelompok ini benar-benar mengabaikan hadis-hadis yang positif dan ramah perempuan, yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Butuh Perspektif Baru
Memang harus diakui, dalam kajian fikih masih banyak yang otoriter dan merendahkan kaum perempuan. Ini berarti, budaya patriarki cenderung mereproduksi hegemoni struktural jender dalam teori ataupun praktik.
Kokohnya bangunan patriarki dan maskulinisasi ini perlu diimbangi dengan cara pandang yang lebih adil dalam memandang perempuan. Diperlukan upaya bersama untuk mendorong kesetaraan dan persamaan martabat kemanusiaan (al-karamah al-insaniyyah) dalam pengembangan ilmu agama dan kehidupan sehari-hari.
Pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya studi agama dan studi Islam, butuh perspektif baru yang lebih adil secara jender untuk menjadikannya sebagai teori dan praksis sosial yang adil bagi semua kaum, tanpa bias laki-laki. Sikap dan bias inilah yang mewarnai corak pemahaman dan penafsiran keagamaan sebagian pimpinan masyarakat, yang belakangan jadi bahan pemberitaan media massa di Tanah Air. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar