Akhir-akhir
ini, jagat pewayangan semakin beraksi di permukaan. Sejumlah pementasan
wayang kontemporer yang memetik kisah Mahabharata dan Ramayana digelar di
Jakarta. Beberapa minggu mendatang, lakon Hanoman diangkat ke panggung
teater-sinema Broadway oleh para koreografer Indonesia dan Amerika, yang
tempo hari secara spektakuler menangani teater musikal Lion King dan Evita.
Kota Solo, dalam merayakan ulang tahunnya yang ke-268, menggelar Solo Wayang Carnival. Tokoh-tokoh
wayang diusung di tengah jalan, dengan memancarkan aura simbolis yang tajam
dan penuh kedalaman.
Dunia
pewayangan juga moncer di panggung birokrasi dan sosial-politik Indonesia.
Hanya, sayangnya, ranah ini lebih sering memilih tokoh-tokoh wayang yang
negatif dan antagonistis, sehingga wacana pengumpamaan Sri Mulyani sebagai
Srikandi segera kehilangan gaung. Padahal sang ahli keuangan yang maju
perang di medan Bank Dunia itu ibarat Srikandi, yang pintar bicara, mahir
membidikkan panah, dan lahir dari titik api. Pengumpamaan Gubernur Jakarta
Joko Widodo sebagai Kresna sang titisan Dewa Wisnu juga lenyap dimakan
dominasi Sangkuni dan teman-temannya. Padahal Joko Widodo tak jauh dari
Kresna, yang bijak dan cepat bertindak, dengan kulit cokelat-kehitaman
pula.
Namun
harus dimaklumi, di negeri yang disarati tipu muslihat dan nafsu jahat,
tokoh-tokoh wayang, seperti Sangkuni, Durna, Gandari, dan Sarpakenaka,
memang lebih memiliki tempat. Sedangkan kehadiran Drupadi, misalnya, cuma
terbit sebagai kerinduan yang jauh terpental. Lantas bagaimanakah profil
dari tokoh-tokoh itu? Kelir di bawah ini mencoba membeberkan satu per satu.
Sangkuni
dan Durna
Sangkuni
(atau Sengkuni, pakai e), berkelit ke arena setelah sejumlah elite Partai
Demokrat terus mengusik Ketua Umum Anas Urbaningrum. Menurut konstituen
yang pro-Anas, usaha pengusikan itu merupakan hasil hasutan Sangkuni, orang
yang ahli ilmu licik dan dengki (Lihat Politik dan Perlambang Wayang,
Bandung Mawardi, Koran Tempo edisi 14 Februari 2013). Anak Prabu Anggendara
dari Kerajaan Plasajenar ini bernama asli Arya Suman. Lantaran omongannya
culas, ia dijuluki Sangkuni, paduan kata dari "sangka" (akibat)
dan "uni" (ucapan). Sebutan Sangkuni dalam politik sering
disandingkan dengan Durna, yang pernah populer pada zaman Orde Baru. Kala
itu predikat Durna ditimpakan kepada Subandrio, Menteri Luar Negeri Orde
Lama.
Durna
bernama asli Bambang Kumbayana. Termakan sumpahnya, ia terpaksa mengawini
seekor kuda sembrani betina. Dari situ, ia punya anak bernama Aswatama,
lelaki berkaki kuda dan bersurai pula. Sejak saat itu, Kumbayana jadi
manusia bingung dan tak pernah berkonsentrasi sepanjang hari. Akibatnya, ia
selalu salah memanggil Prabu Drupada, raja Pancala, dengan nama kecilnya,
Sucitra. Atas kesalahan etika itu, Kumbayana dipukuli hingga wajahnya
menjadi buruk. Kumbayana pun marah besar, dan kemudian pergi ke Kerajaan
Astina untuk mengisi kesaktian.
Kelak,
seluruh kesaktian itu digunakan untuk melunaskan dendam, menghabisi
orang-orang yang pernah menyakitinya. Pada saat itulah ia dijuluki Durna,
yang berasal dari kata "dur" (buruk) dan "ana" (ada).
Durna pun diartikan sebagai "manusia
yang memelihara keburukan dalam jiwa". Tapi saya kurang setuju
dengan utak-atik kata ini. Buktinya, Gus Dur adalah orang yang begitu baik
hati!
Merindu Drupadi
Figur-figur
wanita pilihan Indonesia juga banyak yang (nyaris) tenggelam dalam pusaran.
Miranda Goeltom; Angelina Sondakh; Nunun Nurbaetie; Neneng Sri Wahyuni;
Hartati Murdaya; Ratna Ani Lestari, mantan Bupati Banyuwangi; Siti Fadilah
Supari, mantan Menteri Kesehatan; Siti C. Fadjriyah, mantan Deputi Gubernur
BI; serta Elda Devianne Adiningrat, impotir daging sapi; misalnya. Tentu
tidak dilupakan Putri Solo Dipta Anindita, istri ketiga Jenderal Djoko
Susilo yang dititipi setumpuk harta dan rumah-rumah mewah hasil simsalabim
simulator kemudi.
Penghayat
pewayangan selalu berharap munculnya nama-nama wanita wangi itu hanyalah
lantaran akal-akalan para lelaki serakah. Sahibulhikayat sering berkisah,
betapa lelaki begundal gemar menggunakan wanita untuk menutupi
siasat-siasat busuknya, sehingga si wanita terposisikan sebagai korban,
sebagaimana Maharani, yang dijadikan gula-gula oleh Ahmad Fathanah yang
siap menyuap mangsanya. Pemaham wayang sangat berharap wanita-wanita yang
kini jadi pesakitan itu adalah para Drupadi yang malang nasibnya.
Drupadi
memang dipakai sebagai perlambang wanita korban ulah ganjil kaum lelaki.
Drupadi adalah wanita jelita yang patuh kepada orang tua dan suami. Ia mau
saja ketika dicarikan jodoh lewat sebuah perlombaan oleh ayahnya. Ketika ia
dijadikan tumbal perjudian oleh suaminya, Yudhistira, dan dibuang ke hutan
selama 12 tahun bersama Pandawa Lima, ia juga tak menolak. Namun sebagai
wanita, dirinya memiliki harkat tinggi. Drupadi mengamuk jika melihat
ketidakjujuran. Ia murka ketika menyaksikan orang melakukan kejahatan. Dan
ia akan keramas dengan darah orang yang menghina kewanitaannya.
Tapi
sayang, sebagian (sekali lagi: sebagian) dari tokoh-tokoh wayang wanita
Indonesia bukanlah Drupadi. Mereka ternyata adalah Gandari, wanita gelap
mata dalam Mahabharata, atau Sarpakenaka, tokoh "rada-rada" dari
cerita Ramayana.
Gandari
tak lain adalah raksesi (raksasa perempuan) yang hidupnya dibaluti cemburu.
Ia sakit hati kepada Pandu Dewanata, yang tidak meliriknya. Padahal ia
naksir Pandu setengah mati. Lalu, dengan dibantu siasat belut Sangkuni, ia
berhasil bersanding dengan Pandu, sehingga Pandu mempunyai tiga istri,
yakni Kunti, Madrim, dan Gandari sendiri. Pandu merasa punya tiga istri ini
sangatlah berlebihan, sehingga ia mempersilakan kakaknya, Destarata, yang
bermata buta untuk mengambil satu di antaranya. Destarata ternyata memilih
Gandari. Atas kenyataan itu, Gandari marah luar biasa. Ia lalu menutup
matanya di sepanjang hidup. Celakanya, tutup mata ini sekalian menutup hati
dan pikirannya, sehingga ia mau memakan apa saja. Termasuk rumah, mobil,
juga intan berlian hasil korupsi.
Adapun
Sarpakenaka adalah istri Karadusana, yang ingin mengencani Laksmana. Segala
siasat ia lakukan untuk mendapatkan lelaki tampan itu. Kehebohan nafsu
Sarpakenaka ini menggugah kakaknya, Rahwana, atau Dasamuka. Dari situ,
lantas muncul peristiwa penculikan Dewi Sinta, gugurnya Jatayu, dan
seterusnya. Dunia wayang mencatat, akibat ulah ugal-ugalan Sarpakenaka ini,
Kerajaan Nusantaraya, eh, Alengkadireja, akhirnya rata tanah dibakar api
pemusnahan yang disulut oleh si kera putih, Hanoman.
Pada akhir kisah, Sang Hanoman berujar, "Tanda-tanda sebuah negeri yang akan masuk liang lahat adalah
ketika para perempuannya sudah berkemampuan hebat untuk berbuat jahat!"
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar