Selasa, 19 Februari 2013

Bertemu Sengkuni, Merindu Drupadi


Bertemu Sengkuni, Merindu Drupadi
Agus Dermawan T Penulis Buku-Buku Berbasis Seni, Sosial, Budaya;
Penghayat Wayang
KORAN TEMPO, 19 Februari 2013


Akhir-akhir ini, jagat pewayangan semakin beraksi di permukaan. Sejumlah pementasan wayang kontemporer yang memetik kisah Mahabharata dan Ramayana digelar di Jakarta. Beberapa minggu mendatang, lakon Hanoman diangkat ke panggung teater-sinema Broadway oleh para koreografer Indonesia dan Amerika, yang tempo hari secara spektakuler menangani teater musikal Lion King dan Evita. Kota Solo, dalam merayakan ulang tahunnya yang ke-268, menggelar Solo Wayang Carnival. Tokoh-tokoh wayang diusung di tengah jalan, dengan memancarkan aura simbolis yang tajam dan penuh kedalaman.
Dunia pewayangan juga moncer di panggung birokrasi dan sosial-politik Indonesia. Hanya, sayangnya, ranah ini lebih sering memilih tokoh-tokoh wayang yang negatif dan antagonistis, sehingga wacana pengumpamaan Sri Mulyani sebagai Srikandi segera kehilangan gaung. Padahal sang ahli keuangan yang maju perang di medan Bank Dunia itu ibarat Srikandi, yang pintar bicara, mahir membidikkan panah, dan lahir dari titik api. Pengumpamaan Gubernur Jakarta Joko Widodo sebagai Kresna sang titisan Dewa Wisnu juga lenyap dimakan dominasi Sangkuni dan teman-temannya. Padahal Joko Widodo tak jauh dari Kresna, yang bijak dan cepat bertindak, dengan kulit cokelat-kehitaman pula.
Namun harus dimaklumi, di negeri yang disarati tipu muslihat dan nafsu jahat, tokoh-tokoh wayang, seperti Sangkuni, Durna, Gandari, dan Sarpakenaka, memang lebih memiliki tempat. Sedangkan kehadiran Drupadi, misalnya, cuma terbit sebagai kerinduan yang jauh terpental. Lantas bagaimanakah profil dari tokoh-tokoh itu? Kelir di bawah ini mencoba membeberkan satu per satu.
Sangkuni dan Durna
Sangkuni (atau Sengkuni, pakai e), berkelit ke arena setelah sejumlah elite Partai Demokrat terus mengusik Ketua Umum Anas Urbaningrum. Menurut konstituen yang pro-Anas, usaha pengusikan itu merupakan hasil hasutan Sangkuni, orang yang ahli ilmu licik dan dengki (Lihat Politik dan Perlambang Wayang, Bandung Mawardi, Koran Tempo edisi 14 Februari 2013). Anak Prabu Anggendara dari Kerajaan Plasajenar ini bernama asli Arya Suman. Lantaran omongannya culas, ia dijuluki Sangkuni, paduan kata dari "sangka" (akibat) dan "uni" (ucapan). Sebutan Sangkuni dalam politik sering disandingkan dengan Durna, yang pernah populer pada zaman Orde Baru. Kala itu predikat Durna ditimpakan kepada Subandrio, Menteri Luar Negeri Orde Lama. 
Durna bernama asli Bambang Kumbayana. Termakan sumpahnya, ia terpaksa mengawini seekor kuda sembrani betina. Dari situ, ia punya anak bernama Aswatama, lelaki berkaki kuda dan bersurai pula. Sejak saat itu, Kumbayana jadi manusia bingung dan tak pernah berkonsentrasi sepanjang hari. Akibatnya, ia selalu salah memanggil Prabu Drupada, raja Pancala, dengan nama kecilnya, Sucitra. Atas kesalahan etika itu, Kumbayana dipukuli hingga wajahnya menjadi buruk. Kumbayana pun marah besar, dan kemudian pergi ke Kerajaan Astina untuk mengisi kesaktian.
Kelak, seluruh kesaktian itu digunakan untuk melunaskan dendam, menghabisi orang-orang yang pernah menyakitinya. Pada saat itulah ia dijuluki Durna, yang berasal dari kata "dur" (buruk) dan "ana" (ada). Durna pun diartikan sebagai "manusia yang memelihara keburukan dalam jiwa". Tapi saya kurang setuju dengan utak-atik kata ini. Buktinya, Gus Dur adalah orang yang begitu baik hati!
Merindu Drupadi
Figur-figur wanita pilihan Indonesia juga banyak yang (nyaris) tenggelam dalam pusaran. Miranda Goeltom; Angelina Sondakh; Nunun Nurbaetie; Neneng Sri Wahyuni; Hartati Murdaya; Ratna Ani Lestari, mantan Bupati Banyuwangi; Siti Fadilah Supari, mantan Menteri Kesehatan; Siti C. Fadjriyah, mantan Deputi Gubernur BI; serta Elda Devianne Adiningrat, impotir daging sapi; misalnya. Tentu tidak dilupakan Putri Solo Dipta Anindita, istri ketiga Jenderal Djoko Susilo yang dititipi setumpuk harta dan rumah-rumah mewah hasil simsalabim simulator kemudi.
Penghayat pewayangan selalu berharap munculnya nama-nama wanita wangi itu hanyalah lantaran akal-akalan para lelaki serakah. Sahibulhikayat sering berkisah, betapa lelaki begundal gemar menggunakan wanita untuk menutupi siasat-siasat busuknya, sehingga si wanita terposisikan sebagai korban, sebagaimana Maharani, yang dijadikan gula-gula oleh Ahmad Fathanah yang siap menyuap mangsanya. Pemaham wayang sangat berharap wanita-wanita yang kini jadi pesakitan itu adalah para Drupadi yang malang nasibnya.
Drupadi memang dipakai sebagai perlambang wanita korban ulah ganjil kaum lelaki. Drupadi adalah wanita jelita yang patuh kepada orang tua dan suami. Ia mau saja ketika dicarikan jodoh lewat sebuah perlombaan oleh ayahnya. Ketika ia dijadikan tumbal perjudian oleh suaminya, Yudhistira, dan dibuang ke hutan selama 12 tahun bersama Pandawa Lima, ia juga tak menolak. Namun sebagai wanita, dirinya memiliki harkat tinggi. Drupadi mengamuk jika melihat ketidakjujuran. Ia murka ketika menyaksikan orang melakukan kejahatan. Dan ia akan keramas dengan darah orang yang menghina kewanitaannya.
Tapi sayang, sebagian (sekali lagi: sebagian) dari tokoh-tokoh wayang wanita Indonesia bukanlah Drupadi. Mereka ternyata adalah Gandari, wanita gelap mata dalam Mahabharata, atau Sarpakenaka, tokoh "rada-rada" dari cerita Ramayana.
Gandari tak lain adalah raksesi (raksasa perempuan) yang hidupnya dibaluti cemburu. Ia sakit hati kepada Pandu Dewanata, yang tidak meliriknya. Padahal ia naksir Pandu setengah mati. Lalu, dengan dibantu siasat belut Sangkuni, ia berhasil bersanding dengan Pandu, sehingga Pandu mempunyai tiga istri, yakni Kunti, Madrim, dan Gandari sendiri. Pandu merasa punya tiga istri ini sangatlah berlebihan, sehingga ia mempersilakan kakaknya, Destarata, yang bermata buta untuk mengambil satu di antaranya. Destarata ternyata memilih Gandari. Atas kenyataan itu, Gandari marah luar biasa. Ia lalu menutup matanya di sepanjang hidup. Celakanya, tutup mata ini sekalian menutup hati dan pikirannya, sehingga ia mau memakan apa saja. Termasuk rumah, mobil, juga intan berlian hasil korupsi. 
Adapun Sarpakenaka adalah istri Karadusana, yang ingin mengencani Laksmana. Segala siasat ia lakukan untuk mendapatkan lelaki tampan itu. Kehebohan nafsu Sarpakenaka ini menggugah kakaknya, Rahwana, atau Dasamuka. Dari situ, lantas muncul peristiwa penculikan Dewi Sinta, gugurnya Jatayu, dan seterusnya. Dunia wayang mencatat, akibat ulah ugal-ugalan Sarpakenaka ini, Kerajaan Nusantaraya, eh, Alengkadireja, akhirnya rata tanah dibakar api pemusnahan yang disulut oleh si kera putih, Hanoman.
Pada akhir kisah, Sang Hanoman berujar, "Tanda-tanda sebuah negeri yang akan masuk liang lahat adalah ketika para perempuannya sudah berkemampuan hebat untuk berbuat jahat!" ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar