Selasa, 19 Februari 2013

Seriusi Produk Tebu Non-Gula


Seriusi Produk Tebu Non-Gula
Subiyono Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara X (Persero),
Ketua Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia atau Ikagi
JAWA POS, 19 Februari 2013


INDUSTRI berbasis tebu di Indonesia, yang hadir sejak ratusan tahun silam, kini menghadapi banyak tantangan perubahan. Tak bisa lagi industri ini hanya menjalankan bisnis secara biasa. Harus ada imajinasi baru untuk mengembalikan kejayaannya. 

Industri ini pada 2012 memproduksi gula sebagai produk utama sekitar 2,5 juta ton. Meski di bawah target pemerintah, angka itu patut disyukuri karena produksi gula dalam beberapa tahun terakhir ini jarang menembus angka 2,5 juta ton.

Lantas, bagaimana prospek pencapaian swasembada gula nasional pada 2014? Kini, tak bisa lagi kita bicara peningkatan produktivitas semata, karena bisa jalan di tempat. Swasembada gula jangan hanya dikerangkai dalam konteks pemenuhan produksi gula, tapi bagaimana ikhtiar kita membangun industri berbasis tebu (sugarcane based industry) terintegrasi.

Kita tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang besar jika tak mempunyai pikiran besar. Diperlukan strategi terpadu berupa efisiensi, optimalisasi, dan diversifikasi. 

Mengejar Rp 1,7 Triliun 

Diversifikasi, yang menjadi kata kunci, hanya bisa dilakukan jika efisiensi dan optimalisasi budi daya (on-farm) dan pengolahan pabrik (off-farm) sudah berjalan baik untuk meningkatkan produksi gula menuju swasembada. Artinya, diversifikasi sama sekali tidak mengganggu tugas utama pencapaian swasembada. Tanpa efisiensi dan optimalisasi, diversifikasi tak bisa dilakukan karena hilirisasi membutuhkan ketersediaan pasokan tebu dan kinerja mesin yang prima. 

Mengapa diversifikasi harus dilakukan? Sebagai komoditas highly-regulated,                       industri tebu mengandung kompleksitas. Di satu sisi, biaya produksi gula terus menanjak seiring kenaikan harga tebu petani dan upah. Di sisi lain, harga gula tak bisa dibentuk pada level yang menjanjikan margin memadai karena faktor daya beli konsumen dan intervensi pemerintah. Dengan demikian, margin pengusahaan gula tak cukup mampu untuk dibuat ekspansi memperluas lahan maupun membangun pabrik.

Kondisi serupa dialami negara-negara produsen gula dunia. Karena itu, di banyak negara, diversifikasi menjadi hal yang diseriusi. Dari sisi manajemen risiko, diversifikasi juga bermanfaat mengurangi risiko produksi. 

Selain menghasilkan gula dalam jumlah optimal, di industri berbasis tebu modern, setiap 1 ton tebu bisa memproduksi listrik 100 KWH bersumber dari ampas tebu (program cogeneration); 12 liter bioetanol dari tetes tebu, dan 40 kilogram biokompos dari limbah padat. Limbah bioetanol juga bisa diolah menjadi listrik. Itu belum termasuk produk hilir lain yang potensial dikembangkan. 

Di Indonesia, diversifikasi belum diseriusi. Banyak industri koproduk tebu, tapi mayoritas dimiliki perusahaan yang tak bergerak di bisnis tebu. Industri tebu hanya menjual bahan olahannya tanpa bisa mendapat nilai tambah secara optimal.

Secara nasional, berdasar kajian tim independen, dengan lahan sekitar 473.000 hektare dan potensi 38 juta ton tebu, potensi diversifikasi adalah surplus power                           3.800 GWH, bioetanol 460.000 kiloliter, dan biokompos 1,5 juta ton.

Dengan mengambil contoh pada 33 pabrik gula di Indonesia yang berteknologi "usang", investasi yang dikeluarkan untuk mengoptimalkan potensi diversifikasi adalah USD 1,585 miliar dengan potensi penerimaan USD 260,5 juta per tahun, punya waktu enam tahun untuk payback period (masa impas, Red).

Berdasar kajian di lingkungan PTPN X yang saya pimpin, potensi pendapatan diversifikasi bisnis (bioetanol, listrik, biokompos) Rp 1,7 triliun. Payback period-nya 3-5 tahun. Potensi pendapatan ini bisa dikelola untuk ekspansi sektor on-farm dan off-farm, sehingga dengan sendirinya bisa menopang peningkatan produksi gula sebagai komoditas pangan. 

Sudah Melangkah 

PTPN X sudah memulai langkah diversifikasi dengan proyek bioetanol di PG Gempolkrep, Mojokerto, bekerja sama dengan New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) Jepang. Investasinya Rp 467,79 miliar (hibah Jepang Rp 154 miliar dan dana PTPN X Rp 313,79 miliar). Pabrik yang berkapasitas sekitar 30 juta liter etanol per tahun dengan bahan baku tetes tebu dari PG-PG milik PTPN X itu resmi beroperasi pertengahan tahun ini. Limbah bioetanol juga masih diolah lagi menjadi listrik. 

PTPN X juga memulai program cogeneration (mengolah ampas tebu menjadi listrik) dalam skala terbatas di PG Ngadiredjo, Kediri, sejak tahun lalu. Program cogeneration ini akan dilanjutkan ke PG Kremboong, Sidoarjo. Secara keseluruhan, potensi pendapatan cogeneration di lingkungan PTPN X mencapai Rp 633,89 miliar-Rp 684,51 miliar per tahun dengan potensi listrik 225 MW. Tapi, tentu saja hal ini akan dilakukan secara bertahap. Adapun biokompos sudah dikembangkan di setiap PG.

Brazil adalah negara yang sukses mengoptimalkan produk turunan tebu dengan bertransformasi dari negara pengimpor sekitar 80 persen kebutuhan minyaknya menjadi pelopor energi terbarukan. Industri berbasis tebu menyumbang 18 persen dari kebutuhan energi negeri jawara bola itu.

Untuk memperkuat diversifikasi, syarat utama adalah membangun agribisnis tebu yang memadukan teknologi dengan kekayaan sektor pertanian. Spirit diversifikasi dan energi terbarukan harus menjadi semangat nasional, agar potensi ekonomi tebu bisa dimaksimalkan untuk menopang kebutuhan energi nasional dan menyejahterakan masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar