Selasa, 19 Februari 2013

Gugatan Regulasi Izin Keramaian


Gugatan Regulasi Izin Keramaian
Herie Purwanto Kepala Subbagian Hukum Polres Pekalongan Kota,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
SUARA MERDEKA, 19 Februari 2013


"Jangan sekadar melarang, Polri harus mendasarkan pada asas kepentingan bersama, yaitu keamanan"

GRUP Band Slank menggugat penerbitan izin terkait dengan penyelenggaraan keramaian atau pesta oleh Polri digugat oleh Slank. Personel grup band itu mengajukan permohonan uji materi Pasal 15 Ayat 2 a UU Nomor 2 Tahun 2002 ke Mahkamah Konstitusi karena substansi pasal itu dianggap merugikan. Beberapa kali konser mereka dibatalkan karena terganjal oleh ketentuan dalam pasal tersebut (SM, 07/02/13).

Selain itu, grup band tersebut mengajukan gugatan terhadap Pasal 510 Ayat 1 KUHP yang mengatur ancaman pidana bagi pihak yang mengadakan pesta/ keramaian tanpa izin dari polisi. Sebelum ada gugatan, Polri berdalih memang tak bersedia menerbitkan izin itu karena menganggap pertunjukan Slank bisa mengganggu keamanan.

Tapi setelah ada gugatan, Kapolri Jenderal Timur Pradopo menyatakan jajarannya tak membeda-bedakan masyarakat dalam pemberian izin keramaian atau pesta. (running text MetroTV, 07/02/13). "Polisi tak pernah melarang Slank. Artinya kalau tertib, bagus, dan masyarakat terhibur, itu malah bagus," kata Kapolri di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Senayan Jakarta, Rabu (detik.com, 13/02/13).

Benarkah persoalan itu sudah selesai hingga jajaran Polri paling bawah? Status facebook Slank pada Minggu (17/02/13) menuliskan, ”Sekarang ini Slank lagi susah dapat izin manggung, dengan alasan ketertiban dan keamanan (karena kelakuan orang-orang yang rusuh di lapangan). Mohon bantuan teman-teman, kasih masukan kepada Slankers yang lain. Mari kita buktikan konser Slank adalah konser musik paling damai. piss (maksusnya peace-Red)”

Secara tersirat, penulis berpendapat pernyataan Kapolri lebih mendasarkan pada pertimbangan keamanan atas penyelenggaraan kegiatan yang berpeluang dihadiri banyak orang. Kita sulit membayangkan bila semua kegiatan, semisal konser musik yang bakal menyedot belasan ribu penonton, diberi kebebasan tanpa perlu izin. Dampak yang mungkin timbul adalah Polri yang bertanggung jawab dalam keamanan dan ketertiban akan kewalahan. Personel Polri tak mampu mengatasi ekses dari banyak orang di satu tempat, di tengah ingar-bingar suara musik dan teriakan yang bisa membangkitkan emosi atau histeria.

Di sinilah salah satu pertimbangan perlunya perizinan. Dengan izin itu pula, polisi bisa menjalin koordinasi dengan event organizer (EO), guna menggali keterangan bagaimana kegiatan itu akan digelar, sistem pengamanan ataupun mempersiapkan langkah antisipasi bila terjadi keadaan kontijensi. Semisal perlu mendatangkan mobil pemadam kebakaran, tim medis dan ambulans, pengecekan konstruksi panggung, dan hal lain terkait teknis penyelenggaraan.

Korelatif Kriminogen

Upaya ini bisa terlaksana dengan baik bila panitia penyelenggara jauh-jauh hari mengajukan proposal kegiatan tersebut. Namun, pada sisi lain, polisi juga akan mempertimbangkan perkiraan-perkiraan bila kegiatan itu tetap dilaksanakan. Artinya, jangan sampai ketika kegiatan itu digelar, muncul penolakan dari pihak yang berseberangan dengan kegiatan tadi. Meskipun kita tak memungkiri kadang penolakan itu cenderung subjektif.

Beberapa kasus pembatalan pentas musik, baik artis nasional maupun internasional, lebih banyak dilatarbelakangi faktor korelatif kriminogen, sebelum menjadi ancaman faktual yang diprediksi intelijen. Faktor korelatif kriminogen ini menjadi hal krusial dalam pengambilan keputusan penerbitan izin. Polisi tak boleh terjebak dalam mindset pemihakan pada pihak tertentu. Contohnya, karena gencar ada demo penolakan atas rencana sebuah kegiatan, lantas hal itu menjadi pertimbangan utama untuk tidak menerbitkan izin.

Pada sisi lain, ancaman faktual atau kemungkinan buruk yang bisa terjadi dapat diantisipasi melalui beberapa upaya. Pertama; pendekatan kepada semua pihak yang terlibat atau pihak yang dimungkinkan menolak kegiatan tersebut.

Kedua; bagi pihak yang menolak atau berseberangan dengan kegiatan yang akan digelar, harus memberi alasan yang bisa diterima publik. Artinya, penolakan atas penyelenggaraan kegiatan itu bukan karena kepentingan kelompok itu melainkan mewakili kepentingan yang lebih besar, yaitu masyarakat.

Di sinilah peran dari konsekuensi regulasi perizinan dijalankan. Jangan sekadar melarang atau memperbolehkan hanya dengan alasan subjektif, namun Polri harus mendasarkan pada asas kepentingan bersama, yaitu kondisi keamanan. Meskipun pada titik tertentu, faktor subjektif membuka celah intervensi penguasa agar polisi tak menerbitkan izin, semisal izin untuk kelompok atau perorangan yang mempunyai massa besar, kritis terhadap rezim penguasa, dan kepentingan lain.

Ini yang seharusnya dihindari oleh polisi karena ia seharusnya berada pada posisi netral di antara banyak kepentingan di masyarakat, supaya tak ada kelompok yang merasa dirugikan hingga memunculkan gugatan regulasi izin keramaian. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar