Sejarah adalah catatan
perjalanan panjang manusia menuju masa depan, kumpulan masa lalu menuju
hari esok, dan pembuka gerbang untuk menyongsong masa depan. Sejarah tidak
hanya rentetan peristiwa, tetapi merupakan kumpulan gambar yang menyingkap
prestasi dan kegagalan, kecemerlangan dan kemalangan, serta kejayaan dan
kehancuran.
Ia, menurut Khurshid Ahmad
(2007), laksana cermin yang dapat memotret setiap episode jatuh bangunnya
suatu bangsa atau peradaban. Jatuh bangun suatu bangsa punya mekanismenya
sendiri. Maju karena ada faktor dan pemicunyanya, mundur pun seperti itu. Alquran
menempatkan faktor moral dan materi sebagai penentu atas maju dan mundurnya
suatu bangsa.
Salah satu pemicu kemunduran
suatu bangsa menurut Alquran adalah hidup bermewah-mewah (taraf) atau orang
kaya yang hidup bermewah-mewah (mutraf). Alquran banyak menguraikan
perilaku kaum yang suka bermewah-mewah alias kaum mutraf ini, di antaranya,
dalam QS al-Isra:16, al-Waqi\'ah: 45, as-Saba: 34- 37, Huud: 116, dan
lain-lain.
Kandungan QS al-Isra':16, misalnya,
secara jelas menegaskan bahwa kemewahan berpotensi menjadi ancaman terhadap
kelangsungan suatu bangsa. Jika penguasa suatu negeri hidup berfoya-foya,
ini akan mengantar mereka melupakan tugas-tugasnya serta mengabaikan
hak-hak orang kebanyakan dan membiarkannya hidup miskin. Sehingga,
mengundang kecemburuan sosial.
Jika ada penguasa yang hanya untuk
keperluan pernikahan menghabiskan miliaran rupiah untuk pesta
penyelenggaraannya sementara rakyat nya masih banyak yang menderita kelaparan
dan kemiskinan, ini akan menjauhkan penguasa dan rakyatnya. Dan, ini
menjadi benih-benih mun culnya disloyalitas terhadap pemim pinnya.
Disloyalitas ini tentunya akan menghambat terjadinya proses pembangunan.
Ibnu Khaldun memperkenalkan siklus
peradaban (muncul, berkembang, dan hancur). Pada awalnya, terjadi transformasi
dari masyarakat primitif menjadi masyarakat kota, di mana agama menjadi
faktor pembentuk dari solidaritas (ashabiyah)
pertumbuhan dan perkembangannya. Saat mencapai puncaknya, terjadi pemusatan
kekuasaan dan tirani, kesantaian dalam menikmati buah kekuasaan dan
menumpuk kekayaan, hidup bermewah-mewah, berfoya-foya, serta hidup
bermalas-malasan.
Saat berada di puncak kejayaan
itu, sebenarnya sedang meluncur ke tahap kehancuran dan kemunduran.
Artinya, kemewahan (taraf) adalah
fenomena yang melekat secara niscaya dalam proses peradaban ketika suatu
masyarakat eko nomi dengan jaringan ekonomi yang sangat sederhana
(primitif), tingkat kesejahteraan dan kemakmuran yang rendah berkembang
menjadi masyarakat kota yang berkelimpahan materi.
Kemewahan, menurut Ibnu
Khaldum, memiliki dampak pada dimensi moral dan ekonomi. Pada dimensi moral
akan melahirkan sifat kemalasan, ketidakpedulian, dan hedonisme yang ber
dampak pada produktivitas dan kreativitas yang rendah. Akhirnya berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Sementara, dimensi ekonomi
terlihat pada tingginya tingkat konsumsi (konsumerisme), khususnya pada
barang- barang mewah. Sehingga, menyebabkan ketimpangan pertumbuhan sektor
ekonomi dalam perekonomian.
Dampak kerusakan perilaku bermewah-mewah
para penguasa akan jauh lebih besar dibandingkan dengan kemewahan kehidupan
rakyatnya. Adanya kekuasaan ditangannya, bisa saja penguasa menyuburkan
budaya korupsi untuk melangsungkan kehidupan kemewahannya.
Ada begitu banyak pejabat di
negeri ini yang karena terobsesi hidup dengan kemewahan lalu menggunakan
kekuasaannya untuk mengakses sumber- sumber pendapatan yang tidak halal. Tidak
bisa dimungkiri, banyak pejabat di negeri ini tidak seimbang antara
pendapatan resminya dengan kehidupan kemewahannya.
Pertumbuhan ekonomi kita yang
sekitar 6,3 persen itu ternyata ditopang oleh konsumsi dalam negeri dan kontribusi
dari sektor non-tradeable. Artinya, kualitas pertumbuhan ekonomi kita lebih
banyak dibanjiri oleh produk-produk konsumerisme dan jasa yang identik
dengan kehidupan kemewahan.
Sementara, di pulau-pulau terpencil di negeri ini masih banyak yang
kebutuhan dasarnya belum terpenuhi. Mereka kelaparan, buta huruf,
putus sekolah, pengangguran, dan menghadapi permasalahan sosial lainnya.
Artinya, sektor produksi lebih banyak terfokus pada produksi barang-barang
sekunder (hajiyat) dan tersier (tahsiniyat)
dibanding dengan kebutuhan dasar ekonomi (dharuriyat). Di sisi lain, jurang pendapatan antarmasyarakat
juga semakin memprihatinkan, terlihat pada rasio gini yang semakin besar,
0,41 persen.
Kehidupan yang bermewah-mewah
dan berfoya-foya akan menjadi ancaman serius bagi solidaritas dan integrasi
masyarakat kita. Apalagi, di saat penduduk masih banyak yang hidup di bawah
garis kemiskinan. Jika menggunakan ukuran kemiskinan sesuai standar
internasional, yakni dua dolar AS per hari, warga miskin Indonesia sekitar
100 juta jiwa atau 42 persen dari jumlah penduduk.
Kemiskinan dan kesenjangan pendapatan
berpotensi melahirkan kecemburuan, perselisihan, dan konflik sosial. Karena
sudah mengidentifikasi potensi kemunduran bangsa akibat kehidupan yang
bermewah-mewahan (mutraf), agama
pun menawarkan solusi. Agama menganjurkan untuk hidup yang seimbang
dan sederhana sesuai dengan standar hidup yang berlaku di masyarakat, tidak
berlebih-lebihan dalam bertindak, tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu,
dan tidak mementingkan diri sendiri.
Agama menganjurkan kehidupan
yang sederhana, yaitu antara keborosan dan kebakhilan. Ia juga menganjurkan
bagi mereka yang diberi nikmat materi yang lebih untuk menyuburkan sikap
kedermawanan berupa zakat, infak, dan sedekah.
Yang perlu dicatat adalah Islam
itu agama yang memiliki keberpihakan yang sama kepada yang kaya dan miskin,
tidak seperti kapitalisme yang terlalu berpihak kepada orang kaya
(borjuis). Islam juga bukan sosialisme yang terlalu berpihak kepada orang
miskin (proletar). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar