Menakar
Politik Luar Negeri AS Terkini Abhiram Singh Yadav ; Peneliti
Politik Hubungan Internasional |
KOMPAS,
13 April
2021
Kemenangan Joe Biden-Kamala Harris pada
pemilu AS, 3 November 2020, membawa harapan baru dalam hubungan antarnegara
di berbagai kawasan.
Kementerian Luar Negeri dan Kementerian
Pertahanan AS, menjadi dua pilar utama untuk memahami langkah-langkah yang
akan diambil Washington DC selama empat tahun ke depan dalam hubungan
internasionalnya.
Indonesia dilihat dari kepentingan
nasionalnya memiliki arti penting tersendiri dalam narasi terkini konstruksi
sosio-geopolitik yang digagas Biden-Harris. Ada tiga hal menarik, pertama,
sebagai penganut Islam terbesar di dunia, Indonesia menanti kebijakan
geopolitik AS terkait masyarakat dan negara-negara Islam.
Kedua, kebijakan geo-strategis Pentagon
terkait kawasan Indo-Pasifik secara umum, Laut China Selatan (LCS) dan China
secara khusus, bahkan persoalan politik di Myanmar. Ketiga, langkah-langkah
geo-ekonomi AS dalam kepemimpinan untuk menyelamatkan dunia dari resesi dan
meningkat tajamnya kemiskinan di masa pandemi Covid-19.
Prioritas
baru AS
Baru sebulan dilantik pada 20 Januari 2021,
politik luar negeri (polugri) AS mulai memberi indikasi berakhirnya ”musim
semi” dan menunjukkan tanda-tanda potensi ”musim dingin telah tiba”.
Kini, haluan baru polugri AS masih dalam
tahap pembentukan kerangka dasar dalam menyikapi tantangan zaman saat ini.
Sebagai tokoh yang berpengalaman dalam politik internasional, Biden sangat
jelas akan mengusung misi politik global yang menjadi pedoman dalam
mewujudkan visi AS sebagai ”pemimpin global”.
Pertama, kembalinya konsep geopolitik
”kekuatan demokrasi liberal” ala AS serta memperkuat aliansi antar-negara
demokrasi yang like-minded (sependirian/sepaham) serta dapat bermitra dalam
aksi nyata terhadap tantangan global. Kedua, meluruskan kembali konsep
”geo-ekonomi” dalam hal asas-asas perdagangan bebas sesuai norma hukum
internasional dan penekanan pada makna trust (saling percaya).
Ketiga, menegaskan pada dunia bahwa
kepentingan ekonomi masyarakat AS menjadi isu ”kepentingan nasional”
khususnya dalam rivalitas investasi dengan China maupun negara lain sehingga
patut dapat kesempatan yang sama dan adil. Keempat, menjadi ”pemimpin utama”
dalam memobilisasi aksi global terhadap berbagai ancaman global, baik
”ancaman-ancaman tradisional” maupun ancaman non-tradisional.
Berdasarkan analisis ini, premis yang dapat
kita simpulkan adalah, bahwa terdapat sebuah perasaan yang mendalam serta
tuntutan yang mendesak bagi AS untuk kembali jadi ”pemimpin utama dunia”
dalam manajemen diskursus politik global dan untuk meluruskan kembali
cita-cita demokrasi liberal terhadap pesaingnya, yaitu demokrasi ala
sosialis.
Implementasi teori power politics dapat
kita cermati dari pernyataan dan argumentasi AS terhadap langkah
geo-strategis yang diumumkan dan gerakan geopolitik armada militer AS.
Langkah ini bisa kita cermati lebih jauh
terkait haluan politik ”al-Tsaurat al-Arabyiah”, yaitu kebijakan AS
menyerahkan kembali kepada negara-negara Islam di Timur Tengah untuk
menyelesaikan dan menentukan makna tatanan politik idealnya sendiri dalam
konteks politik ”musim semi” yang terus berkelanjutan yang dikenal sebagai
Arab Spring, yaitu berupa kebangkitan Dunia Arab.
Dengan adanya prioritas geopolitik yang
lebih besar, AS nampaknya ingin memberi kesan baru sebagai ”sahabat sejati”
masyarakat Muslim secara inklusif dan tak terbatas pada negara-negara Islam
tertentu. Langkah strategis ini, sebenarnya, sudah lebih dulu dimulai China.
Perubahan kebijakan terhadap Yaman, dari bentuk pendekatan militer menuju
soft power berupa pendekatan kemanusiaan menjadi titik awal ”ciri khas baru”
konsep diplomasi AS dalam ”restorasi citra” AS di mata dunia Islam.
Di sisi lain, pergerakan aksi power
politics AS di Indo-Pasifik mulai terpantau kembali dan bahkan kali ini lebih
meyakinkan melalui penempatan dan pergerakan armada tempur udara dan laut.
Ini seolah sinyal ”musim dingin telah tiba” dan menandai dimulainya ”Perang
Dingin” dilihat dari perspektif Teori Deterensi.
Kehadiran rombongan kapal induk AS, USS
Theodore Roosevelt dan USS Nimitz, dilengkapi persenjataan perang nuklir dan
berbagai kapal perusak lain telah ”menyetel” navigasinya di LCS dan Laut
China Timur. Ini langsung direspons secara sepadan oleh China melalui
kegiatan berbagai latihan militer besar-besaran, tepat di Selat Taiwan dan
dekat dengan Vietnam. Ironisnya, ”unjuk kekuatan” armada tempur antara AS dan
China ini berlangsung di ”halaman belakang” negara-negara ASEAN.
Sebagaimana diutarakan pada joebiden.com,
the world does not organize itself. Dunia tidak dapat mengatur dirinya
sendiri. Langkah AS ini dapat disimak dan memberi makna tentang peran dan
kehadiran AS bukan semata sebagai ”pemain tunggal”, tetapi sebagai sebuah
”kekuatan global” yang terstruktur dan sistemik. Premis ini diperkuat dengan
”komitmen keamanan” dari para sekutu tradisional AS untuk bergabung dalam
misi freedom of navigation yang memperjuangkan kebebasan pelayaran di kawasan
Indo-Pasifik.
Argumentasi di atas diperkuat dengan
mulainya dibentuk sebuah pola ”kerja sama keamanan” (security cooperation/SC)
yang nyata dengan proses gagasan Indo-Pasifik yang sedang berjalan di Uni
Eropa, yang diprakarsai oleh Perancis, Jerman, dan Belanda. SC yang
sesungguhnya dimaksud adalah suatu konsep keamanan yang bukan tertuju pada
ancaman musuh tertentu melainkan bentuk SC untuk menghindari potensi ancaman
yang mungkin timbul di Indo-Pasifik.
Sebenarnya, konsep SC ini sudah terjalin
dalam wadah The Quadrilateral Security Dialogue (The Quad) yang beranggotakan
AS, India, Jepang dan Australia. The Quad pun nampaknya berhasil ”mengatur”
sedemikian rupa sehingga muncul ”ASEAN Outlook on the Indo-Pacific”, suatu gagasan
yang dicetuskan Indonesia untuk menghadang polarisasi kekuatan di kawasan
Asia Tenggara.
Sebagaimana diprediksi dan dikhawatirkan
oleh para peneliti politik dan hubungan internasional, akankah terbentuk
suatu konsep ala NATO sebagai deterrence di kawasan Indo-Pasifik dan sejauh
mana peran AS melalui power politics-nya mampu ”mengatur tatanan global”
terkini yang lebih berperikemanusiaan dan berorientasi menghormati ”harkat
dan martabat” (dignity)?
Politik
Bebas-Aktif RI
Dengan mengamati dinamika polugri AS di
awal 2021 ini, dapat disimpulkan sementara, bahwa AS memberi indikasi
berakhirnya diskursus ”musim semi” yang kerap mendiskreditkan umat Islam di
Timur Tengah dan Afrika, dan dimulainya retorika ”winter” (musim dingin) yang
berorientasi pada ”China matters” (hal-hal yang berhubungan dengan China).
Bahkan, Biden secara terang mengungkapkan
ini melalui pidato pertama 4 Febuari 2021 yang disebutnya sebagai ”Hari
Kemenangan Demokrasi”.
Tantangan apa yang dihadapi Indonesia dalam
dinamika politik kawasan dan politik global ke depan? Ada dua hal menarik.
Pertama, harapan ke arah kehidupan yang lebih baik, khususnya bagi masyarakat
Islam secara global.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk
Islam terbesar, dapat memainkan peran lebih besar dan lebih aktif dalam
usaha-usaha pemeliharaan perdamaian dunia dengan mengedepankan pendekatan
asas-asas kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana diamanahkan dalam
sila-sila Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Sebagai salah satu negara demokrasi
terbesar, Indonesia juga dapat makin menggiatkan gerakan Kebijakan Luar
Negeri ”Bebas-Aktif”, tanpa adanya kekhawatiran akan menyinggung mitra-mitra
negara Barat.
Kedua, di sisi lain, terjadinya peningkatan
perseteruan hegemoni AS-China di kawasan Indo-Pasifik, lebih tepatnya lagi di
”halaman belakang” Indonesia, yaitu di LCS, menjadi kekhawatiran tersendiri
bagi Indonesia. Dengan letak geo-strategisnya, Nusantara dikhawatirkan
menjadi medan pertempuran geo-politik, geo-strategi, dan geo-ekonomi antara
dua negara adikuasa itu.
Indonesia dan negara ASEAN lainnya
dihadapkan pada sebuah ”dilema keamanan” seandainya terjadi kegagalan dalam
proses komunikasi saat mengedepankan mekanisme ASEAN. PM Singapura Lee Hsien
Loong pada KTT ASEAN 2018 pernah memperingatkan akan tiba waktunya, saat
negara-negara ASEAN terdesak untuk memilih keberpihakannya, meskipun Lee
tetap berharap itu tidak terjadi.
Namun, jika kita mencermati polugri
Indonesia akhir-akhir ini, jelas terlihat Indonesia telah mengantisipasi hal
itu dengan membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan China maupun AS
tanpa terjebak dalam perseturuan geo-politik, geo-ekonomi maupun geo-strategi
yang sedang berlangsung.
Di satu sisi, persahabatan Indonesia-China
terpelihara dengan baik sesuai ”asas-asas kepentingan bersama”. Tapi, pada
saat yang sama, Jakarta pun mampu tegas menolak isu-isu yang masih jadi
perbedaan seperti soal pelanggaran Zona Ekonomi Ekslusif Laut Natuna dan isu
klasik Nine Dash Line (Sembilan Garis Putus-putus) di LCS yang selalu
menghantui Indonesia dan ASEAN.
Di sisi lain, hubungan Indonesia-AS juga
terus terpelihara. Meski demikian, ujian pertama bagi Indonesia yang mungkin
menjadi perhatian pemerintahaan Presiden Biden adalah sikap Indonesia
terhadap persoalan kudeta militer di Myanmar yang berlangsung baru-baru ini
(1 Februari 2021).
Meskipun Indonesia menyikapi persoalan
politik Myanmar secara diplomatis dan dengan gaya ”tradisi diplomasi” ala
ASEAN, menarik untuk diperhatikan dalam isu politik Myanmar ini adalah
pernyataan resmi Presiden Jokowi yang menekankan kata-kata yang sangat
melekat dan bermakna terhadap ”konsep demokrasi AS”. Yaitu, adherence to the
rule of law (ketaatan pada supremasi hukum), good governance (tata-kelola
pemerintahan yang baik), the principles of democracy (prinsip-prinsip
demokrasi), dan constitutional government (pemerintahan konstitusional).
Pernyataan Jokowi ini ibaratnya memberi sinyal kuat pada AS bahwa hubungan
kedua negara adalah ”sepaham dan sependirian” terkait politik Myanmar terkini
serta dalam konteks persepsi terhadap dampak geo-politik regional.
Dengan berbagai perdebatan pandangan yang
ada, sangat menarik untuk mengamati sikap dan kebijakan prioritas
pemerintahaan Biden terhadap Indonesia. Dan tentu juga, peran ”Politik
Bebas-Aktif” Indonesia yang bersumberkan pada asas-asas Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945 dalam menghadapi perseteruan geopolitik yang terus
meningkat.
Tentu, tantangan ”Bebas-Aktif” di masa kini
berbeda dengan di masa lalu di mana kita dituntut untuk ”Bebas” dalam menjaga
netralitas atau ”Aktif” dalam menjaga keadilan dan kebebasan itu sendiri.
Dalam diskursus politik regional di Indo-Pasifik dapat dikatakan, kini
saatnya bukan lagi melakukan usaha-usaha memperjuangkan kemerdekaan, tetapi
mempertahankan kebebasan dan penegakan hukum-hukum internasional serta
norma-norma demokrasi secara universal.
Apakah Indonesia dengan ”Politik Luar
Negeri Bebas Aktif”-nya mampu hadir sebagai sebuah negara yang mewakili
kepentingan ASEAN dalam konteks penerapan kebijakan baru polugri AS di Indo-Pasifik
dalam pusaran perseteruan perebutan pengaruh antara ”Elang versus Naga”? Dan
apakah pemimpin baru AS akan mampu mewujudkan kembali cita-cita lama
”demokrasi liberal” dan mampu ”memenangi” rivalitas dengan China di
Indo-Pasifik? Kita tunggu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar