Selasa, 13 April 2021

Menakar Politik Luar Negeri AS Terkini

Abhiram Singh Yadav ; Peneliti Politik Hubungan Internasional

                                                         KOMPAS, 13 April 2021

 

 

                                                           

Kemenangan Joe Biden-Kamala Harris pada pemilu AS, 3 November 2020, membawa harapan baru dalam hubungan antarnegara di berbagai kawasan.

 

Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan AS, menjadi dua pilar utama untuk memahami langkah-langkah yang akan diambil Washington DC selama empat tahun ke depan dalam hubungan internasionalnya.

 

Indonesia dilihat dari kepentingan nasionalnya memiliki arti penting tersendiri dalam narasi terkini konstruksi sosio-geopolitik yang digagas Biden-Harris. Ada tiga hal menarik, pertama, sebagai penganut Islam terbesar di dunia, Indonesia menanti kebijakan geopolitik AS terkait masyarakat dan negara-negara Islam.

 

Kedua, kebijakan geo-strategis Pentagon terkait kawasan Indo-Pasifik secara umum, Laut China Selatan (LCS) dan China secara khusus, bahkan persoalan politik di Myanmar. Ketiga, langkah-langkah geo-ekonomi AS dalam kepemimpinan untuk menyelamatkan dunia dari resesi dan meningkat tajamnya kemiskinan di masa pandemi Covid-19.

 

Prioritas baru AS

 

Baru sebulan dilantik pada 20 Januari 2021, politik luar negeri (polugri) AS mulai memberi indikasi berakhirnya ”musim semi” dan menunjukkan tanda-tanda potensi ”musim dingin telah tiba”.

 

Kini, haluan baru polugri AS masih dalam tahap pembentukan kerangka dasar dalam menyikapi tantangan zaman saat ini. Sebagai tokoh yang berpengalaman dalam politik internasional, Biden sangat jelas akan mengusung misi politik global yang menjadi pedoman dalam mewujudkan visi AS sebagai ”pemimpin global”.

 

Pertama, kembalinya konsep geopolitik ”kekuatan demokrasi liberal” ala AS serta memperkuat aliansi antar-negara demokrasi yang like-minded (sependirian/sepaham) serta dapat bermitra dalam aksi nyata terhadap tantangan global. Kedua, meluruskan kembali konsep ”geo-ekonomi” dalam hal asas-asas perdagangan bebas sesuai norma hukum internasional dan penekanan pada makna trust (saling percaya).

 

Ketiga, menegaskan pada dunia bahwa kepentingan ekonomi masyarakat AS menjadi isu ”kepentingan nasional” khususnya dalam rivalitas investasi dengan China maupun negara lain sehingga patut dapat kesempatan yang sama dan adil. Keempat, menjadi ”pemimpin utama” dalam memobilisasi aksi global terhadap berbagai ancaman global, baik ”ancaman-ancaman tradisional” maupun ancaman non-tradisional.

 

Berdasarkan analisis ini, premis yang dapat kita simpulkan adalah, bahwa terdapat sebuah perasaan yang mendalam serta tuntutan yang mendesak bagi AS untuk kembali jadi ”pemimpin utama dunia” dalam manajemen diskursus politik global dan untuk meluruskan kembali cita-cita demokrasi liberal terhadap pesaingnya, yaitu demokrasi ala sosialis.

 

Implementasi teori power politics dapat kita cermati dari pernyataan dan argumentasi AS terhadap langkah geo-strategis yang diumumkan dan gerakan geopolitik armada militer AS.

 

Langkah ini bisa kita cermati lebih jauh terkait haluan politik ”al-Tsaurat al-Arabyiah”, yaitu kebijakan AS menyerahkan kembali kepada negara-negara Islam di Timur Tengah untuk menyelesaikan dan menentukan makna tatanan politik idealnya sendiri dalam konteks politik ”musim semi” yang terus berkelanjutan yang dikenal sebagai Arab Spring, yaitu berupa kebangkitan Dunia Arab.

 

Dengan adanya prioritas geopolitik yang lebih besar, AS nampaknya ingin memberi kesan baru sebagai ”sahabat sejati” masyarakat Muslim secara inklusif dan tak terbatas pada negara-negara Islam tertentu. Langkah strategis ini, sebenarnya, sudah lebih dulu dimulai China. Perubahan kebijakan terhadap Yaman, dari bentuk pendekatan militer menuju soft power berupa pendekatan kemanusiaan menjadi titik awal ”ciri khas baru” konsep diplomasi AS dalam ”restorasi citra” AS di mata dunia Islam.

 

Di sisi lain, pergerakan aksi power politics AS di Indo-Pasifik mulai terpantau kembali dan bahkan kali ini lebih meyakinkan melalui penempatan dan pergerakan armada tempur udara dan laut. Ini seolah sinyal ”musim dingin telah tiba” dan menandai dimulainya ”Perang Dingin” dilihat dari perspektif Teori Deterensi.

 

Kehadiran rombongan kapal induk AS, USS Theodore Roosevelt dan USS Nimitz, dilengkapi persenjataan perang nuklir dan berbagai kapal perusak lain telah ”menyetel” navigasinya di LCS dan Laut China Timur. Ini langsung direspons secara sepadan oleh China melalui kegiatan berbagai latihan militer besar-besaran, tepat di Selat Taiwan dan dekat dengan Vietnam. Ironisnya, ”unjuk kekuatan” armada tempur antara AS dan China ini berlangsung di ”halaman belakang” negara-negara ASEAN.

 

Sebagaimana diutarakan pada joebiden.com, the world does not organize itself. Dunia tidak dapat mengatur dirinya sendiri. Langkah AS ini dapat disimak dan memberi makna tentang peran dan kehadiran AS bukan semata sebagai ”pemain tunggal”, tetapi sebagai sebuah ”kekuatan global” yang terstruktur dan sistemik. Premis ini diperkuat dengan ”komitmen keamanan” dari para sekutu tradisional AS untuk bergabung dalam misi freedom of navigation yang memperjuangkan kebebasan pelayaran di kawasan Indo-Pasifik.

 

Argumentasi di atas diperkuat dengan mulainya dibentuk sebuah pola ”kerja sama keamanan” (security cooperation/SC) yang nyata dengan proses gagasan Indo-Pasifik yang sedang berjalan di Uni Eropa, yang diprakarsai oleh Perancis, Jerman, dan Belanda. SC yang sesungguhnya dimaksud adalah suatu konsep keamanan yang bukan tertuju pada ancaman musuh tertentu melainkan bentuk SC untuk menghindari potensi ancaman yang mungkin timbul di Indo-Pasifik.

 

Sebenarnya, konsep SC ini sudah terjalin dalam wadah The Quadrilateral Security Dialogue (The Quad) yang beranggotakan AS, India, Jepang dan Australia. The Quad pun nampaknya berhasil ”mengatur” sedemikian rupa sehingga muncul ”ASEAN Outlook on the Indo-Pacific”, suatu gagasan yang dicetuskan Indonesia untuk menghadang polarisasi kekuatan di kawasan Asia Tenggara.

 

Sebagaimana diprediksi dan dikhawatirkan oleh para peneliti politik dan hubungan internasional, akankah terbentuk suatu konsep ala NATO sebagai deterrence di kawasan Indo-Pasifik dan sejauh mana peran AS melalui power politics-nya mampu ”mengatur tatanan global” terkini yang lebih berperikemanusiaan dan berorientasi menghormati ”harkat dan martabat” (dignity)?

 

Politik Bebas-Aktif RI

 

Dengan mengamati dinamika polugri AS di awal 2021 ini, dapat disimpulkan sementara, bahwa AS memberi indikasi berakhirnya diskursus ”musim semi” yang kerap mendiskreditkan umat Islam di Timur Tengah dan Afrika, dan dimulainya retorika ”winter” (musim dingin) yang berorientasi pada ”China matters” (hal-hal yang berhubungan dengan China).

 

Bahkan, Biden secara terang mengungkapkan ini melalui pidato pertama 4 Febuari 2021 yang disebutnya sebagai ”Hari Kemenangan Demokrasi”.

 

Tantangan apa yang dihadapi Indonesia dalam dinamika politik kawasan dan politik global ke depan? Ada dua hal menarik. Pertama, harapan ke arah kehidupan yang lebih baik, khususnya bagi masyarakat Islam secara global.

 

Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar, dapat memainkan peran lebih besar dan lebih aktif dalam usaha-usaha pemeliharaan perdamaian dunia dengan mengedepankan pendekatan asas-asas kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana diamanahkan dalam sila-sila Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

 

Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar, Indonesia juga dapat makin menggiatkan gerakan Kebijakan Luar Negeri ”Bebas-Aktif”, tanpa adanya kekhawatiran akan menyinggung mitra-mitra negara Barat.

 

Kedua, di sisi lain, terjadinya peningkatan perseteruan hegemoni AS-China di kawasan Indo-Pasifik, lebih tepatnya lagi di ”halaman belakang” Indonesia, yaitu di LCS, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Indonesia. Dengan letak geo-strategisnya, Nusantara dikhawatirkan menjadi medan pertempuran geo-politik, geo-strategi, dan geo-ekonomi antara dua negara adikuasa itu.

 

Indonesia dan negara ASEAN lainnya dihadapkan pada sebuah ”dilema keamanan” seandainya terjadi kegagalan dalam proses komunikasi saat mengedepankan mekanisme ASEAN. PM Singapura Lee Hsien Loong pada KTT ASEAN 2018 pernah memperingatkan akan tiba waktunya, saat negara-negara ASEAN terdesak untuk memilih keberpihakannya, meskipun Lee tetap berharap itu tidak terjadi.

 

Namun, jika kita mencermati polugri Indonesia akhir-akhir ini, jelas terlihat Indonesia telah mengantisipasi hal itu dengan membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan China maupun AS tanpa terjebak dalam perseturuan geo-politik, geo-ekonomi maupun geo-strategi yang sedang berlangsung.

 

Di satu sisi, persahabatan Indonesia-China terpelihara dengan baik sesuai ”asas-asas kepentingan bersama”. Tapi, pada saat yang sama, Jakarta pun mampu tegas menolak isu-isu yang masih jadi perbedaan seperti soal pelanggaran Zona Ekonomi Ekslusif Laut Natuna dan isu klasik Nine Dash Line (Sembilan Garis Putus-putus) di LCS yang selalu menghantui Indonesia dan ASEAN.

 

Di sisi lain, hubungan Indonesia-AS juga terus terpelihara. Meski demikian, ujian pertama bagi Indonesia yang mungkin menjadi perhatian pemerintahaan Presiden Biden adalah sikap Indonesia terhadap persoalan kudeta militer di Myanmar yang berlangsung baru-baru ini (1 Februari 2021).

 

Meskipun Indonesia menyikapi persoalan politik Myanmar secara diplomatis dan dengan gaya ”tradisi diplomasi” ala ASEAN, menarik untuk diperhatikan dalam isu politik Myanmar ini adalah pernyataan resmi Presiden Jokowi yang menekankan kata-kata yang sangat melekat dan bermakna terhadap ”konsep demokrasi AS”. Yaitu, adherence to the rule of law (ketaatan pada supremasi hukum), good governance (tata-kelola pemerintahan yang baik), the principles of democracy (prinsip-prinsip demokrasi), dan constitutional government (pemerintahan konstitusional). Pernyataan Jokowi ini ibaratnya memberi sinyal kuat pada AS bahwa hubungan kedua negara adalah ”sepaham dan sependirian” terkait politik Myanmar terkini serta dalam konteks persepsi terhadap dampak geo-politik regional.

 

Dengan berbagai perdebatan pandangan yang ada, sangat menarik untuk mengamati sikap dan kebijakan prioritas pemerintahaan Biden terhadap Indonesia. Dan tentu juga, peran ”Politik Bebas-Aktif” Indonesia yang bersumberkan pada asas-asas Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dalam menghadapi perseteruan geopolitik yang terus meningkat.

 

Tentu, tantangan ”Bebas-Aktif” di masa kini berbeda dengan di masa lalu di mana kita dituntut untuk ”Bebas” dalam menjaga netralitas atau ”Aktif” dalam menjaga keadilan dan kebebasan itu sendiri. Dalam diskursus politik regional di Indo-Pasifik dapat dikatakan, kini saatnya bukan lagi melakukan usaha-usaha memperjuangkan kemerdekaan, tetapi mempertahankan kebebasan dan penegakan hukum-hukum internasional serta norma-norma demokrasi secara universal.

 

Apakah Indonesia dengan ”Politik Luar Negeri Bebas Aktif”-nya mampu hadir sebagai sebuah negara yang mewakili kepentingan ASEAN dalam konteks penerapan kebijakan baru polugri AS di Indo-Pasifik dalam pusaran perseteruan perebutan pengaruh antara ”Elang versus Naga”? Dan apakah pemimpin baru AS akan mampu mewujudkan kembali cita-cita lama ”demokrasi liberal” dan mampu ”memenangi” rivalitas dengan China di Indo-Pasifik? Kita tunggu. ●


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar