Sanksi
Ekonomi Biden terhadap China Mirip Gigitan Nyamuk (2) Simon Saragih ; Wartawan
Kompas |
KOMPAS, 21 April 2021
Meski lebih banyak buruknya, tradisi
peluncuran tekanan ekonomi dari AS terhadap negara-negara lain belum sirna.
Kali ini sasaran terbesar adalah China. Di balik pengenaan sanksi itu, campur
aduk berbagai alasan AS. Ini mulai dari pelanggaran hak asasi manusia,
pengenaan harga dumping termasuk manipulasi kurs, hingga pencurian teknologi.
Tentu unsur perseteruan politik negara-negara terkuat dunia, di mana AS tidak
rela ada pesaing setara, termasuk berperan di balik pengenaan tekanan
ekonomi. Sanksi AS itu ada kalanya juga dikenakan
jika korporasi AS mengeluh kepada Pemerintah AS karena korporasi tersebut
sulit memasuki bisnis tertentu. Hillary Clinton saat menjabat Menlu,
misalnya, mendesak China membuka akses untuk Google, tetapi ditolak. Belum tersadar atau masih mengira diri
sebagai negara terkuat, atau entah sedang menguji kekuatan, AS masih
melanjutkan tekanan terhadap China. Presiden AS Joe Biden juga melanjutkan
tekanan. Sebenarnya, tekanan AS terhadap China
mereda, khususnya di bawah Presiden Barack Obama. Hubungan Obama dengan
Presiden Hu Jintao dilanjutkan dengan Presiden Xi Jinping tergolong baik. Ini
relatif melanjutkan warisan Bill Clinton dan George W Bush yang memilih
bersahabat dengan China. Hubungan Clinton dengan Presiden Jiang Zemin
dilanjutkan dengan era Hu Jintao juga relatif baik. Akan tetapi memang di era
Clinton hingga Obama, bisa dikatakan China masih relatif tunduk pada AS. Mendadak faktor populisme di era Donald
Trump turut memainkan isu China untuk kepentingan pemilu. Kebesaran AS
diumbar dan ingin ditunjukkan bahwa AS akan bisa mendikte China. Dicarilah
ekonom pembenci China, Peter Navarro, untuk pembenaran tekanan terhadap
China. Hal itu berlanjut ke era Biden. Mungkin AS
masih mengira tetap berada di dunia unipolar. Lalu, berentetlah sanksi dan
tekanan demi tekanan ekonomi AS ke China. Sanksi terbaru di era Biden
diumumkan, Kamis, 8 April 2021. Akses perusahaan komputer China, khususnya
yang terkait dengan pengembangan komputer super cepat, ditutup terhadap
teknologi AS. Sanksi dikenai karena akses itu
dikhawatirkan bisa memperkuat pengembangan komputer quantum, yang memiliki
presisi dan kecepatan tinggi. Departemen Perdagangan AS menyebutkan
pengembangan komputer quantum itu bisa dipakai China untuk mengembangkan
senjata militer juga menstimulasi ledakan nuklir dan aerodinamika rudal serta
pesawat siluman berkecepatan tinggi. Trump
sangat lemah Akan tetapi, efektifkah sanksi-sanksi AS,
termasuk sanksi terbaru dari era Biden? Menurut The Washington Post edisi 9
April 2021, sanksi serupa itu pernah dilakukan di era Presiden Obama pada
2015. Alasannya juga serupa, agar bisa menghambat perkembangan ilmu
pengetahuan komputer dan penerapannya di China. Saat itu, China juga dituduh
mencuri teknologi dari AS. Nyatanya Obama dengan kebijakannya tidak bisa
menghambat kemajuan teknologi komputasi China. Kegagalan membendung China juga sudah
terjadi di era Trump. Atas alasan serupa, membendung kemajuan teknologi
China, Trump membombardir China dengan sejumlah sanksi sampai tidak bisa
diingat lagi sanksi-sanksi di era Trump. Saat menerapkannya, Trump mengatakan,
tidak ada presiden AS sebelumnya seperti dia dan hanya Trump yang berani
menghadapi China. Tentu saja ucapan Trump sangat tidak benar.
Sejauh ini China tetap tidak mau tunduk seperti Jepang. China menunjukkan
keunikan. China menuntut kolaborasi dan kesetaraan, bukan pola hubungan tuan
dan budak. China menegaskan sikap tidak perlu tunduk karena pengembangan
teknologi adalah hak sah setiap negara. Nyatanya, sanksi itu kadang tidak sesuai
kenyataan di lapangan dan tidak sesuai perkembangan. Kadang sanksi hanya
mencuat di permukaan, tetapi ada permainan politik di baliknya. Bahkan Trump
yang terkesan sarkastik terhadap China juga ternyata kelihatan sedang
”bersandiwara’. Ketika Trump mengatakan hanya dia yang
berani bersikap keras terhadap China, jelas hal itu menjadi pertanyaan besar.
Trump bagai pisau bermata dua. Majalah Vanity Fair di situsnya edisi 21
Oktober 2020 menuliskan, Trump justru sangat lemah terhadap China. Berteriak
tentang China di permukaan, tetapi Trump memiliki rekening rahasia di bank di
China. Banyak argumentasi AS di balik pengenaan
sanksi-sanksi itu, misalnya China mencuri teknologi, melanggar hak asasi di
Xinjiang dan Hong Kong, menguasai Laut China Selatan dan mencoba mendikte
Taiwan. Namun, mengapa sanksi terhadap China tidak efektif? Khusus untuk tuduhan pencurian teknologi,
pada peraturan WTO ada anjuran transfer teknologi secara perlahan dari
investor ke negara-negara tujuan investasi. Transfer ini umumnya jarang
berlangsung, tetapi memang kemudian sangat marak ”pencurian” teknologi. ”AS
juga melewati tahapan itu pada Abad 19,” kata seorang ekonom Jerman, Daniel
Gros, yang juga menjabat sebagai Direktur Centre for European Policy Studies,
6 Januari 2021. Akan tetapi, ada kesahihan di balik
”pencurian” ini karena usia hak paten itu tidak abadi. Seperti dikatakan
Rebecca Fannin, pengamat tentang inovasi global, yang lama bertugas di
Silicon Valley, AS, terkait teknologi informasi sekarang ini, antara satu
perusahaan dengan perusahaan lainnya tidak luput dari aksi saling memantau
perkembangan produk pesaing. Fannin sangat yakin China akan terdepan di
bidang tekonologi informasi. Hal ini juga didukung analisis Gros, bahwa
rencana-rencana holistik China, mulai dari pendidikan hingga ekonomi, membuat
China akan terus melaju dari sisi teknologi. Pertumbuhan
dan inovasi Kembali kepada pernyataan bahwa tekanan AS
akan gagal menghambat China, ada banyak faktor yang memperkuat argumentasi
tersebut. Untuk kasus China, pertumbuhan ekonomi telah membuat negara ini
menjadi perekonomian kedua terbesar di dunia. Jika dilihat dari sisi
keseimbangan daya beli (purchasing power parity/PPP) versi Dana Moneter
Internasional (IMF) dan Bank Dunia, besaran ekonomi China sudah melampaui AS. China sudah berubah dari status sebagai
pusat manufaktur menjadi pasar utama bagi produksi global. Kombinasi
pertumbuhan ekonomi dan keseriusan pemerintah dalam merangsang inovasi
membuat China sudah dalam posisi menentukan di dunia ini. Pada laporan 2019
oleh McKinsey Global Institute berjudul ”China and the world: Inside the
dynamics of a changing relationship” dituliskan bahwa dunia sudah semakin
bergantung pada China dan China tidak terlalu bergantung lagi pada dunia. Oleh sebab itu, tidak salah jika
disimpulkan bahwa sanksi-sanksi ekonomi AS terhadap China mirip peluru angin.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, melihat AS berkelit
dengan segala tuduhan di balik tekanannya terhadap China. Zhao mengatakan
inti dan pengenaan sanksi itu bertujuan menekan kemajuan industri di China. ”Pencegatan dan penekanan oleh AS tidak
dapat menghambat laju perkembangan sains dan teknologi China,” kata Zhao,
pada 8 April 2021, mengomentari sanksi dari Biden. China relatif memiliki rasa percaya diri
yang tinggi sekarang ini. Harian The Global Times edisi 5 Mei 2020
menuliskan, ”Trump telah memainkan semua kartu … Decoupling (pemutusan)
adalah pilihan terakhir.” Harian itu meledek ancaman Trump bahwa decoupling
perkembangan teknologi akan membuat sektor teknologi tinggi China sulit
berkembang. ”Akan tetapi, dengan pudarnya sektor
high-tech AS, yang justru sangat diandalkan, memang telah membuat decoupling
berlangsung. Ada produk-produk yang oleh AS dianggap terlalu berharga untuk
dipasarkan ke China. Padahal sesungguhnya sudah tidak ada lagi yang terlalu berharga
untuk dijual,” demikian harian itu, yang juga menambahkan, ”AS tidak lagi
semakmur dulu…” Oleh karena itu, harian The Global Times
dalam edisi 8 April 2021 menuliskan, sanksi terbaru AS tidak lebih dari
sekadar gigitan nyamuk. Kolonel Zhou Bo, Direktur Center for International
Security and Strategy (Tsinghua University), kepada televisi China, Global
Television News (CGTN), memberikan gambaran. Zhou mengatakan, sudah sejak
dulu AS menekan China soal riset militer. Namun, lihatlah, senjata apa sekarang
ini yang tidak dimiliki China…. ”Sanksi dan tekanan tidak akan pernah
berhasil meredam China,” kata Zhou. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar