Kamis, 22 April 2021

 

Sanksi Ekonomi Biden terhadap China Mirip Gigitan Nyamuk (2)

Simon Saragih ; Wartawan Kompas

KOMPAS, 21 April 2021

 

 

                                                           

Meski lebih banyak buruknya, tradisi peluncuran tekanan ekonomi dari AS terhadap negara-negara lain belum sirna. Kali ini sasaran terbesar adalah China. Di balik pengenaan sanksi itu, campur aduk berbagai alasan AS. Ini mulai dari pelanggaran hak asasi manusia, pengenaan harga dumping termasuk manipulasi kurs, hingga pencurian teknologi. Tentu unsur perseteruan politik negara-negara terkuat dunia, di mana AS tidak rela ada pesaing setara, termasuk berperan di balik pengenaan tekanan ekonomi.

 

Sanksi AS itu ada kalanya juga dikenakan jika korporasi AS mengeluh kepada Pemerintah AS karena korporasi tersebut sulit memasuki bisnis tertentu. Hillary Clinton saat menjabat Menlu, misalnya, mendesak China membuka akses untuk Google, tetapi ditolak.

 

Belum tersadar atau masih mengira diri sebagai negara terkuat, atau entah sedang menguji kekuatan, AS masih melanjutkan tekanan terhadap China. Presiden AS Joe Biden juga melanjutkan tekanan.

 

Sebenarnya, tekanan AS terhadap China mereda, khususnya di bawah Presiden Barack Obama. Hubungan Obama dengan Presiden Hu Jintao dilanjutkan dengan Presiden Xi Jinping tergolong baik. Ini relatif melanjutkan warisan Bill Clinton dan George W Bush yang memilih bersahabat dengan China. Hubungan Clinton dengan Presiden Jiang Zemin dilanjutkan dengan era Hu Jintao juga relatif baik. Akan tetapi memang di era Clinton hingga Obama, bisa dikatakan China masih relatif tunduk pada AS.

 

Mendadak faktor populisme di era Donald Trump turut memainkan isu China untuk kepentingan pemilu. Kebesaran AS diumbar dan ingin ditunjukkan bahwa AS akan bisa mendikte China. Dicarilah ekonom pembenci China, Peter Navarro, untuk pembenaran tekanan terhadap China.

 

Hal itu berlanjut ke era Biden. Mungkin AS masih mengira tetap berada di dunia unipolar. Lalu, berentetlah sanksi dan tekanan demi tekanan ekonomi AS ke China. Sanksi terbaru di era Biden diumumkan, Kamis, 8 April 2021. Akses perusahaan komputer China, khususnya yang terkait dengan pengembangan komputer super cepat, ditutup terhadap teknologi AS.

 

Sanksi dikenai karena akses itu dikhawatirkan bisa memperkuat pengembangan komputer quantum, yang memiliki presisi dan kecepatan tinggi. Departemen Perdagangan AS menyebutkan pengembangan komputer quantum itu bisa dipakai China untuk mengembangkan senjata militer juga menstimulasi ledakan nuklir dan aerodinamika rudal serta pesawat siluman berkecepatan tinggi.

 

Trump sangat lemah

 

Akan tetapi, efektifkah sanksi-sanksi AS, termasuk sanksi terbaru dari era Biden? Menurut The Washington Post edisi 9 April 2021, sanksi serupa itu pernah dilakukan di era Presiden Obama pada 2015. Alasannya juga serupa, agar bisa menghambat perkembangan ilmu pengetahuan komputer dan penerapannya di China. Saat itu, China juga dituduh mencuri teknologi dari AS. Nyatanya Obama dengan kebijakannya tidak bisa menghambat kemajuan teknologi komputasi China.

 

Kegagalan membendung China juga sudah terjadi di era Trump. Atas alasan serupa, membendung kemajuan teknologi China, Trump membombardir China dengan sejumlah sanksi sampai tidak bisa diingat lagi sanksi-sanksi di era Trump. Saat menerapkannya, Trump mengatakan, tidak ada presiden AS sebelumnya seperti dia dan hanya Trump yang berani menghadapi China.

 

Tentu saja ucapan Trump sangat tidak benar. Sejauh ini China tetap tidak mau tunduk seperti Jepang. China menunjukkan keunikan. China menuntut kolaborasi dan kesetaraan, bukan pola hubungan tuan dan budak. China menegaskan sikap tidak perlu tunduk karena pengembangan teknologi adalah hak sah setiap negara.

 

Nyatanya, sanksi itu kadang tidak sesuai kenyataan di lapangan dan tidak sesuai perkembangan. Kadang sanksi hanya mencuat di permukaan, tetapi ada permainan politik di baliknya. Bahkan Trump yang terkesan sarkastik terhadap China juga ternyata kelihatan sedang ”bersandiwara’.

 

Ketika Trump mengatakan hanya dia yang berani bersikap keras terhadap China, jelas hal itu menjadi pertanyaan besar. Trump bagai pisau bermata dua. Majalah Vanity Fair di situsnya edisi 21 Oktober 2020 menuliskan, Trump justru sangat lemah terhadap China. Berteriak tentang China di permukaan, tetapi Trump memiliki rekening rahasia di bank di China.

 

Banyak argumentasi AS di balik pengenaan sanksi-sanksi itu, misalnya China mencuri teknologi, melanggar hak asasi di Xinjiang dan Hong Kong, menguasai Laut China Selatan dan mencoba mendikte Taiwan. Namun, mengapa sanksi terhadap China tidak efektif?

 

Khusus untuk tuduhan pencurian teknologi, pada peraturan WTO ada anjuran transfer teknologi secara perlahan dari investor ke negara-negara tujuan investasi. Transfer ini umumnya jarang berlangsung, tetapi memang kemudian sangat marak ”pencurian” teknologi. ”AS juga melewati tahapan itu pada Abad 19,” kata seorang ekonom Jerman, Daniel Gros, yang juga menjabat sebagai Direktur Centre for European Policy Studies, 6 Januari 2021.

 

Akan tetapi, ada kesahihan di balik ”pencurian” ini karena usia hak paten itu tidak abadi. Seperti dikatakan Rebecca Fannin, pengamat tentang inovasi global, yang lama bertugas di Silicon Valley, AS, terkait teknologi informasi sekarang ini, antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya tidak luput dari aksi saling memantau perkembangan produk pesaing.

 

Fannin sangat yakin China akan terdepan di bidang tekonologi informasi. Hal ini juga didukung analisis Gros, bahwa rencana-rencana holistik China, mulai dari pendidikan hingga ekonomi, membuat China akan terus melaju dari sisi teknologi.

 

Pertumbuhan dan inovasi

 

Kembali kepada pernyataan bahwa tekanan AS akan gagal menghambat China, ada banyak faktor yang memperkuat argumentasi tersebut. Untuk kasus China, pertumbuhan ekonomi telah membuat negara ini menjadi perekonomian kedua terbesar di dunia. Jika dilihat dari sisi keseimbangan daya beli (purchasing power parity/PPP) versi Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, besaran ekonomi China sudah melampaui AS.

 

China sudah berubah dari status sebagai pusat manufaktur menjadi pasar utama bagi produksi global. Kombinasi pertumbuhan ekonomi dan keseriusan pemerintah dalam merangsang inovasi membuat China sudah dalam posisi menentukan di dunia ini. Pada laporan 2019 oleh McKinsey Global Institute berjudul ”China and the world: Inside the dynamics of a changing relationship” dituliskan bahwa dunia sudah semakin bergantung pada China dan China tidak terlalu bergantung lagi pada dunia.

 

Oleh sebab itu, tidak salah jika disimpulkan bahwa sanksi-sanksi ekonomi AS terhadap China mirip peluru angin. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, melihat AS berkelit dengan segala tuduhan di balik tekanannya terhadap China. Zhao mengatakan inti dan pengenaan sanksi itu bertujuan menekan kemajuan industri di China.

 

”Pencegatan dan penekanan oleh AS tidak dapat menghambat laju perkembangan sains dan teknologi China,” kata Zhao, pada 8 April 2021, mengomentari sanksi dari Biden.

 

China relatif memiliki rasa percaya diri yang tinggi sekarang ini. Harian The Global Times edisi 5 Mei 2020 menuliskan, ”Trump telah memainkan semua kartu … Decoupling (pemutusan) adalah pilihan terakhir.” Harian itu meledek ancaman Trump bahwa decoupling perkembangan teknologi akan membuat sektor teknologi tinggi China sulit berkembang.

 

”Akan tetapi, dengan pudarnya sektor high-tech AS, yang justru sangat diandalkan, memang telah membuat decoupling berlangsung. Ada produk-produk yang oleh AS dianggap terlalu berharga untuk dipasarkan ke China. Padahal sesungguhnya sudah tidak ada lagi yang terlalu berharga untuk dijual,” demikian harian itu, yang juga menambahkan, ”AS tidak lagi semakmur dulu…”

 

Oleh karena itu, harian The Global Times dalam edisi 8 April 2021 menuliskan, sanksi terbaru AS tidak lebih dari sekadar gigitan nyamuk. Kolonel Zhou Bo, Direktur Center for International Security and Strategy (Tsinghua University), kepada televisi China, Global Television News (CGTN), memberikan gambaran. Zhou mengatakan, sudah sejak dulu AS menekan China soal riset militer. Namun, lihatlah, senjata apa sekarang ini yang tidak dimiliki China…. ”Sanksi dan tekanan tidak akan pernah berhasil meredam China,” kata Zhou. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar