Sabtu, 17 April 2021

 

Meningkatkan Kepesertaan Jamsostek

Timboel Siregar ; Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Sekjen OPSI-KRPI

                                                         KOMPAS, 15 April 2021

 

 

                                                           

Jaminan sosial adalah hak konstitusional seluruh rakyat Indonesia.

 

Kehadiran jaminan sosial melindungi seluruh rakyat Indonesia, baik dari sisi kesehatan ketika sakit atau kecelakaan kerja maupun dari sisi ekonomi ketika terjadi pemutusan hubungan kerja, pensiun, cacat total, hingga kematian.

 

Perlindungan peserta dan keluarganya menjadi satu kesatuan untuk mendukung kesejahteraan rakyat Indonesia.

 

Khusus untuk perlindungan dari program jaminan sosial ketenagakerjaan dengan lima programnya, yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), memang masih untuk masyarakat yang bekerja, belum bisa diakses secara umum oleh seluruh rakyat Indonesia, seperti program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

 

Dari total angkatan kerja sebanyak 137 juta orang (BPS, Februari 2021) jumlah yang eligible menjadi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan sekitar 90 juta orang, seperti disampaikan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan saat rapat dengan Komisi IX DPR, 30 Maret 2021. Dari jumlah itu, yang sudah menjadi peserta 48,6 juta orang dengan status kepesertaan aktif 27,75 juta (57,11 persen) dan nonaktif 20,85 juta (42,89 persen).

 

Dari total peserta aktif 27,75 juta, peserta dari sektor penerima upah (PU) 19,26 juta, pekerja migran Indonesia (PMI) 0,35 juta, bukan penerima upah (BPU) 2,68 juta, dan pekerja jasa konstruksi (jakon) 5,46 juta. Dengan kepesertaan aktif saat ini, potensi kepesertaan yang bisa dijangkau masih sangat besar. Artinya masih banyak pekerja yang belum terlindungi.

 

Pemerintah memahami kondisi ini sehingga lahirlah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 25 Maret 2021. Inpres ini fokus pada peningkatan dan perluasan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan walaupun permasalahan juga terkait dengan manfaat dan investasi dana kelolaan.

 

Mengacu pada PP Nomor 44 Tahun 2015 tentang JKK dan JKm, PP Nomor 45 Tahun 2015 tentang JP, PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang JHT, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Jaminan Sosial dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2018 tentang PMI, program JKK dan JKm wajib diikuti pekerja PU, PMI dan jakon; program JP wajib untuk pekerja PU skala besar dan menengah; program JHT wajib untuk pekerja PU dan ada akses bagi PMI dan BPU.

 

Walaupun diwajibkan, masih banyak pekerja PU, PMI, dan jakon belum menjadi peserta. Hal ini dampak dari rendahnya sosialisasi dan edukasi program jaminan sosial, pengawasan, dan penegakan hukum ke badan usaha. Sosialisasi dan edukasi masif kepada BPU akan meningkatkan kepesertaan BPU jaminan sosial ketenagakerjaan.

 

Perluasan cakupan

 

Kehadiran Inpres No 2 Tahun 2021 adalah hal baik yang akan mampu mendukung perluasan dan peningkatan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan. Dalam Inpres ini ada 26 kementerian/lembaga dikoordinasikan oleh Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

 

Kelompok yang didorong ikut antara lain penerima kredit usaha rakyat, peserta pelatihan program vokasi, non-aparatur sipil negara (ASN) pemda dan non-ASN di luar negeri, tenaga kependidikan dan pendukungnya, notaris-advokat, penyuluh dan pendamping program pertanian beserta petani, nelayan, hingga penyelenggara pemilu.

 

Tindak lanjut inpres ini, ke depan, seharusnya ada regulasi yang mewajibkan mereka menjadi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Tentunya didahului sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya jaminan sosial ketenagakerjaan bagi mereka dengan risiko kerja, seperti manfaat JKK dan JKm di PP No 82 Tahun 2019, dan manfaat program lainnya, dari manfaat kuratif, santunan, hingga beasiswa anak dari peserta yang meninggal dunia.

 

Tentang iurannya, saya menilai kelompok yang disebut dalam inpres ini memiliki kemampuan membayar iuran mengingat iuran jaminan sosial ketenagakerjaan relatif rendah seperti iuran JKK 0,1 persen dan JKm 0,2 persen dari upah bagi peserta PU dan minimal Rp 16.800 per bulan bagi peserta BPU.

 

Bagi pekerja miskin seperti petani, nelayan, pemulung, saatnya pemerintah mengikutsertakan mereka sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKK dan JKm.

 

Untuk memastikan sembilan prinsip sistem jaminan sosial nasional berjalan dengan baik dan ada kesetaraan semua pekerja, seharusnya inpres ini mendorong para ASN didaftarkan ke BPJS Ketenagakerjaan sesuai amanat UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan Perpres Nomor 109 Tahun 2013.

 

Sebagai terobosan, pemerintah hendaknya membuka ruang bagi kepesertaan baru di jaminan sosial ketenagakerjaan yang bukan masuk kategori pekerja, seperti olahragawan. Demikian juga dengan mahasiswa dengan mobilitas tinggi dengan potensi risiko, merupakan kelompok yang seharusnya dijamin oleh jaminan sosial ketenagakerjaan.

 

Perluasan cakupan kepesertaan ini tidak hanya bermanfaat untuk pekerja, tetapi juga mendukung efisiensi pembiayaan JKN karena peserta yang mengalami kecelakaan kerja akan ditanggung BPJS Ketenagakerjaan.

 

Makin banyak peserta, makin banyak pula iuran. Dana kelolaan akan semakin besar. Ini akan mendukung keberlangsungan lima program jaminan sosial ketenagakerjaan. Dana kelolaan dapat diinvestasikan juga di instrumen Surat Berharga Negara untuk membantu defisit APBN. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar