Kamis, 22 April 2021

 

Puasa dan Zakat dalam Kelompok Rentan

Ahmad Nashih Luthfi ; Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Pengajar Pesantren Agraria FNKSDA

KOMPAS, 20 April 2021

 

 

                                                           

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keadilan sosial, anti-monopoli, dan kemubaziran adalah visi dalam ibadah puasa dan zakat. Allah mewajibkan kita menahan makan dan minum dalam arti sebenarnya ataupun simbolik. Tubuh pribadi perlu dipulihkan, diberi hak rehatnya dan diseimbangkan jenis asupannya: ruang kosong, oksigen, darah, nutrisi, dan hasrat.

 

”Over-consumption”

 

Jika kita melihat secara global sejarah manusia, kelangkaan pangan dan kelaparan terjadi karena kekeringan. Sebagai contoh Mesir dan India kehilangan 5-10% populasinya pada abad pertengahan. Kematian massal di beberapa negara di Eropa pada akhir abad ke-17: Perancis kehilangan 15% populasi, Skotlandia sampai 20%, dan yang terparah adalah Finlandia dengan separuh penduduk mati pada 1696.

 

Kelaparan massal masih terjadi kini, bukan karena bencana alam yang menerpa dunia namun karena politik manusia. Keserakahan dan monopoli manusia terhadap manusia yang lain, dan negara yang salah urus dan abai. Sebaliknya, kematian juga bukan karena kekurangan asupan pangan, melainkan karena keberlimpahan konsumsi (Harari 2018 [2015]).

 

Jumlah penderita diabetes dunia (konsumsi gula dan obesitas) naik dari 108 juta orang pada 1980 menjadi 422 juta orang pada 2014. Diabetes adalah penyebab utama kebutaan, gagal ginjal, serangan jantung, stroke, dan amputasi anggota tubuh (WHO, fact diabetes 2021). Di Amerika 1,5 juta kematian tiap tahun karena diabetes. Kini gula lebih berbahaya daripada mesiu.

 

Obesitas membunuh tiga kali dari malanutrisi (Adams 2012). Tren konsumsi berlebih naik di negara berpendapatan menengah dan tinggi. Angka penderita diabetes merangkak di negara berpendapat rendah sebab keterbatasan pilihan sumber pangan di luar ber-karbohidrat/gula tinggi. Bagaimana peran puasa dan zakat di era gaya hidup hedonistik semacam ini?

 

Adil

 

Makanan dan minuman adalah simbol dari tingkatan primordial konsumsi manusia. Pengaturan yang seimbang dan adil terhadapnya melalui ibadah puasa dan zakat mengarahkan agar terbangun tubuh sosial yang sehat, adil, dan lestari. Lazim sekali terjadi orang menahan hasrat dengan berpuasa untuk ditumpuk dan dilampiaskan pada saat berbuka.

 

Sesungguhnya bulan Ramadhan adalah bulan pengingat dari Allah agar kita terus mengurangi konsumsi tubuh pribadi dan tubuh sosial yang terlalu banyak mengambil dari alam. Bahkan mengambil banyak secara eksploitatif dari sesama manusia dalam suatu tatanan yang melulu menghamba pada kapital.

 

Memonopoli pangan dan sumber daya lain adalah bentuk kejahatan. Ajaran Islam melarang itu. ”Barangsiapa yang menimbun barang, ia berdosa” (HR Muslim).

 

Derajat ketakwaan digapai melalui perilaku adil (QS. 5: 8). Berpuasa adalah menumbuhkan sikap adil pada diri dan sesama, dan dengan itulah derajat ketakwaan tergapai (QS. 2: 183). Eksternalisasi puasa adalah sikap peduli pada kepapaan orang lain dan kerentaan alam, sedangkan internalisasinya adalah rasa tanggung jawab dan kebersihan diri.

 

Jika keadilan adalah raison d’etre dari ketakwaan atau keagamaan itu sendiri, berpuasa adalah jalur tempuh yang sunyi. Ada paralelitas antara puasa, low consumption, sikap adil, dan derajat ketakwaan dalam perjumpaan dengan-Nya.

 

Kesucian ganda

 

Pada penghabis Ramadhan kita diwajibkan mengeluarkan zakat-fitrah. Jika ditilik dari akar katanya, zakaat dan fithrah memiliki makna yang sama: suci. Sementara futhur atau ifthar yang diartikan sebagai berbuka, juga seakar kata dengan fithrah, suci.

 

Kita bisa membangun pemahaman bahwa untuk menyucikan diri, seseorang harus menempuh jalan pengekangan atas kerakusan pangannya, dan sebaliknya memberi bahan pangan sekaligus membuka akses atas aktivitas produksi pangan kepada orang lain. Inilah cita-cita transformatif di dalam ajaran Islam.

 

Meminjam pertanyaan ekonomi-politik sumber daya (Bernstein 2010), keadilan pangan yang diajarkan dalam puasa dan zakat tecermin dari siapa memiliki apa; bukan ketimpangan. Keadilan diwujudkan dalam siapa melakukan apa; bukan eksploitasi. Keadilan terlihat dari siapa mendapatkan apa; bukan pemerasan. Keadilan tampak dari perilaku seseorang membelanjakan apa yang diperolehnya; bukan kerakusan.

 

Tidak bersikap adil terhadap diri dan hanya mementingkan bilangan rakaatnya sembari menafikan realitas kepapaan lebih-lebih menghardiknya dari ruang kognisi dan kebijakan, adalah suatu ”pembohongan terhadap agama” (QS 107). Tuhan pantas murka.

 

Masyarakat prekariat

 

Para muzaki dan para mustahik adalah kategori yang sebetulnya secara sosial-ekonomi dikenali oleh masyarakat, tetapi  seringkali luput dari amatan administrasi. Jika secara obyektif pendasarannya adalah pada pangan (sebagai ukuran primordial) dan sarana produksinya, maka siapa mereka adalah bersifat dinamis. Perlu ijtihad yang kontekstual untuk menentukan siapa mereka itu para mustahik di era neoliberal yang banyak melahirkan kaum terpinggirkan.

 

Sebagai contoh di masa pandemi setahun terakhir ini. Para buruh pabrik di perkotaan yang daerahnya terkena kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menghadapi kondisi yang rentan. Mereka adalah kaum prekariat (rentan). Sepi pendapatan, kosong tabungan, rawan kelaparan.

 

Mereka dilarang bekerja, pabrik ditutup, tetapi di sisi lain tidak mendapatkan bantuan langsung tunai seperti warga lainnya. Mereka dianggap bukan warga tempatan. Kebijakan bantuan didasarkan pada keberadaan kartu tanda penduduk, bukan pada sifat kerentanan. Mereka juga sulit mengakses bantuan dan fasilitas kesehatan, termasuk vaksinasi (swasta) yang kabarnya akan dibebankan oleh perusahaan dari potongan gaji mereka. Dan berbagai kerentanan lainnya.

 

Kaum prekariat itu menurut Guy Standing (2011) tidak memiliki bayangan masa depan, sebagaimana masa depan apa yang mereka kerjakan sekarang.Mereka mengalami kondisi bahaya, anomi, resah, dan alienasi.

 

Bagaimana fikih Islam mengidentifikasi penggolongan-penggolongan sosial di era neoliberal saat ini? Dapatkah mereka disebut sebagai ibnu sabil, footloose labor sebagaimana dalam era kolonial, satu dari sekian golongan mustahik? Apa upaya negara dan masyarakat Islam (ormas-ormas, masjid-masjid, lembaga finansial, dll.) untuk memberi pertolongan manjur (al maa’uun) agar mereka tidak kolaps? Mereka dan segolongannya adalah kelompok rentan. Bertahan hidup (survive) saja susah apalagi menapaki mobilitas sosial.

 

Tentu saja bukan solusi karitatif yang sementara, namun suatu sistem yang melindungi dan memberi kepastian masa depan mereka. Kondisi kerentanan mereka adalah akibat struktural ekonomi politik neoliberal, sehingga pemulihannya perlu dilakukan secara struktural pula.

 

Kita perlu menyucikan diri dan ruang sosial sekaligus menafsirkan kembali ajaran agama secara kontekstual agar ia tidak kehilangan elan vitalnya menghadapi sistem dunia yang menuju katastropis. Dibutuhkan sikap keagamaan yang inklusif pada sains dan turut kreatif membangun sistem dunia yang melindungi kelompok dhuafa. Puasa dan zakat menjadi momentum kita bersama. ●

 

1 komentar: