Selasa, 27 April 2021

 

Menghadang Pemudik Nekat

Wihana Kirana Jaya ;  Guru Besar FEB Universitas Gadjah Mada

KOMPAS, 27 April 2021

 

 

                                                           

Mudik Lebaran di tengah pandemi Covid-19 sekarang ini merupakan interaksi sosial budaya yang berisiko kesehatan.

 

Mudik menjadi tradisi tahunan, dan tradisi sifatnya evolutif atau sulit berubah, sebagaimana disebutkan oleh Williamson (2000), tokoh New Institutional Economics, dengan Analisis 4 Level-nya.

 

Dari perspektif modal sosial, perlu pemahaman antara pemudik dan relasinya di kampung halaman, apakah orangtua, kerabat, atau komunitas asal dari perantau, bahwa mudik di tengah pandemi bisa saling membahayakan kesehatan masing-masing, terlebih jika pemudik datang dari ”zona merah” Covid-19. Fukuyama (2001) menyatakan bahwa modal sosial adalah norma informal yang digunakan (instantiated informal norm) untuk mengembangkan kerja sama, termasuk dalam konteks pandemi.

 

Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, pada 26 Maret lalu, akhirnya resmi melarang mudik Lebaran 2021 untuk periode 6-17 Mei mendatang. Kebijakan larangan mudik Lebaran 2021 ini telah sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo yang disampaikan pada 23 Maret 2021.

 

Merespons larangan mudik tersebut, terbitlah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idul Fitri 1442 H/2021. Beleid ini melarang pengoperasian semua moda transportasi untuk tujuan mudik, dan mengatur pengecualian secara terbatas. Namun, transportasi logistik tetap berjalan seperti biasa.

 

Alasan kuat

 

Larangan mudik tahun ini tentu saja sangat beralasan. Pertama, vaksinasi Covid-19 baru pada tahap awal. Sampai dengan 7 April, 2021, baru tervaksinasi tahap 1 sebanyak 9,78 juta orang (5,39 persen) dari sasaran keseluruhan sebanyak 181.554.465 jiwa. Kekebalan komunitas (herd immunity) sama sekali belum terwujud.

 

Kedua, dari pengalaman empiris, setiap ada libur panjang, selalu diikuti dengan lonjakan kasus baru harian. Berdasarkan data Satgas Covid-19, libur Idul Fitri tahun lalu telah mengakibatkan kenaikan jumlah kasus baru harian 68 persen hingga 93 persen.

 

Sepanjang 2020, pasca-new normal, lonjakan jumlah kasus harian tersebut terus menunjukkan tren peningkatan mencolok, pada bulan-bulan Juli, Agustus, Oktober, dan Desember. Lonjakan kasus baru harian mencapai ”top score” sebesar 8.369 per 3 Desember 2020.

 

Memasuki 2021, tren peningkatan kasus harian infeksi Covid-19 ternyata terus berlanjut pascalibur Natal dan Tahun Baru. Rekor kasus baru harian di tahun 2020 terpecahkan pada 8 Januari 2021, yakni 10.617 kasus, bahkan mencapai 14.224 kasus (16 Januari), dan 14.518 kasus (30 Januari).

 

Ketiga, menjaga tren penurunan setelah rekor kasus baru harian per 30 Januari. Sejak awal Februari 2021, tren kasus baru harian menunjukkan penurunan ke angka tertinggi bulan Februari, yakni dari 10.614 (19 Februari) menjadi 5.008 (29 Maret) dan 4.549 (6 April). Tren penurunan kasus baru harian ini perlu terus dijaga, bahkan sebisanya ditekan hingga di bawah 2.000 kasus.

 

Potensi lonjakan kasus baru

 

Hasil survei yang diselenggarakan Kementerian Perhubungan baru-baru ini, dengan responden sebanyak 61.988 orang, menunjukkan bahwa jika tidak ada larangan mudik, pada Mei mendatang sebanyak 83 juta jiwa (33 persen) secara nasional akan mudik Lebaran. Khusus dari wilayah Jabodetabek sebanyak 10,3 juta.

 

Daerah tujuan utama mudik adalah Jawa Tengah (37,07 persen), Jawa Barat (22,82 persen), dan Jawa Timur (14 persen).

 

Kita coba berhitung dengan lingkup pemudik dari Jabodetabek saja. Dari pemudik sebanyak 10,3 juta jiwa (2,94 juta kepala keluarga) berasal dari wilayah megapolitan tersebut, terdapat orang tanpa gejala (OTG) yang berpotensi menularkan Covid-19 ketika berinteraksi dengan masyarakat di daerah-daerah tujuan mudik, terutama di daerah kabupaten dan perdesaan.

 

Hasil tes cepat antigen secara acak selama libur akhir tahun 2020 yang dilakukan Kementerian Perhubungan pada 24 Desember 2020 hingga 1 Januari 2021 di 14 lokasi terminal dan Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) kiranya dapat dijadikan acuan. Dari jumlah sampel 6.607 orang, sebanyak 6.169 orang merupakan penumpang angkutan umum dan pribadi dan 418 awak kendaraan logistik.

 

Hasil tes menunjukkan sebanyak 121 penumpang angkutan umum dan pribadi serta empat awak kendaraan logistik dinyatakan positif. Dengan demikian, secara umum dari hasil tes acak tersebut, 125 dari 6.607 sampel (1,9 persen) adalah OTG Covid-19.

 

Dengan parameter ini, maka dari total pemudik Jabodetabek 10,3 juta orang, sebanyak 194.869 orang berpotensi OTG. Dengan angka reproduksi 1,5 saja, seandainya mudik tidak dilarang, berarti setidaknya terdapat 292.304 kasus baru pascamudik 2021. Angka ini di luar OTG yang belum tertangani dan akan terdistribusi di sekitar dua minggu (masa inkubasi) setelah musim puncak Lebaran.

 

Nekat mudik

 

Di samping kelengkapan regulasi, keefektifan kebijakan larangan mudik 2021 membutuhkan penegakan yang konsisten pada tingkat lapangan. Pasalnya, kendati ada larangan mudik, berdasarkan hasil penelitian Kementerian Perhubungan di atas, secara nasional masih terdapat potensi pemudik ”nekat” sebesar 11 persen atau 27,6 juta jiwa, yang sebagian berusaha untuk mudik sebelum 6 Mei 2021.

 

Angka ini turun dibandingkan dengan tahun lalu yang sebesar 19,48 persen, tetapi masih ”mengerikan”, dengan segala konsekuensi dan implikasinya.

 

Maka, penegakan aturan di lapangan sangatlah penting untuk menekan potensi pemudik ”nekat” hingga 1 persen saja. Penegakan membutuhkan koordinasi antarinstansi terkait, yakni Polri (Korlantas), POM TNI, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kesehatan, dan pemerintah daerah.

 

Para petugas gabungan akan disebar di 333 titik penyekatan pada jalur mudik dari Lampung hingga Bali. Titik-titik penyekatan yang terhubung dengan rumah-rumah sakit rujukan ini berada di jalur tol, jalur pantura, jalur lintas tengah Jawa, dan jalur lintas selatan Jawa. Pembatasan-pembatasan mobilitas akan disertai kemungkinan perluasan tes GeNose, baik bagi pelaku perjalanan nonmudik maupun pelanggar larangan mudik.

 

Bagaimana dengan pemudik ”nekat” yang berangkat sebelum 6 Mei 2021?

 

Perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di daerah-daerah sumber utama pemudik dan daerah-daerah tujuan utama mudik menjadi salah satu solusinya, di samping pengetatan persyaratan dan standar kesehatan bagi para pelaku perjalanan. Sementara di daerah tujuan mudik, desa-desa siaga Covid-19 perlu mengantisipasi datangnya para pemudik, termasuk menyiapkan tempat karantina.

 

Mekanisme reward and punishment perlu diterapkan mengingat larangan mudik juga berlaku bagi aparatur negara dan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah. Perusahaan-perusahaan swasta perlu berpartisipasi dalam sosialisasi larangan mudik bagi karyawannya dengan menerapkan sanksi dan insentif.

 

Bagi kaum urban marjinal yang tidak mudik, reward perlu diberikan dalam bentuk bantuan sosial dan/atau insentif lainnya menjelang Lebaran. Mereka sebagian besar tinggal di kontrakan sederhana di gang-gang sempit perkotaan, khususnya di wilayah mega-urban Jabodetabek. Hal ini patut menjadi perhatian kementerian terkait dan pemerintah provinsi/kabupaten/kota di daerah sumber utama pemudik tersebut.

 

Salus Populi Suprema Lex Esto!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar