Senin, 19 April 2021

 

Nyadran 2021

Bre Redana; Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu

KOMPAS, 18 April 2021

 

 

                                                           

Terus terang judul ini pernah saya pakai di rubrik ini empat tahun lalu. Saya memang mempunyai kebiasaan pulang kampung setiap menjelang Ramadhan. Ziarah ke makam keluarga dan leluhur. Orang Jawa menyebutnya ”nyadran”.

 

Tradisi nyadran konon diwarisi dari zaman Majapahit. Pada masa pemerintahannya, Raja Hayam Wuruk memerintahkan Mahapatih Gajah Mada untuk menyelenggarakan upacara untuk menghormati arwah nenek Hayam Wuruk, Gayatri Rajapatni. Dicatat dalam Nagara Kertagama, inilah upacara penghormatan arwah terbesar dalam sejarah Majapahit. Namanya Srada, di kemudian hari menjadi nyadran.

 

Di tengah kondisi wabah, bersama istri saya memillih menyetir mobil sendiri. Banyak orang terkesan dengan jalan tol di Jawa yang membuat perjalanan Jakarta-Jawa Tengah menjadi sangat cepat.

 

Hanya saja, di ruas tertentu, saya menentukan keluar dari tol. Saya ingin menikmati jalur lama tatkala saya sering keluyuran di sejumlah kota di Jawa dulu. Mungkin beginilah psikologi pensiunan tanpa kerjaan. Tak ada janji. Dalam semua hal saya tidak merasa perlu cepat-cepat.

 

Saya menyukai berkendara keluar kota sambil ngomyang ini-itu. Seperti biasanya, sampai Batang, saya ingatkan istri, inilah kota kelahiran Mas Goen, Goenawan Mohamad. Tidak akan ada kesan istimewa tentang kota ini seandainya pada masa sekolah menengah saya tidak membaca buku kumpulan esai Goenawan Mohamad, Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang.

 

Bagian paling mengesankan bagi saya adalah bagaimana ibarat terbawa perahu, seorang anak muda menulis sajak dan kemudian menjadi penyair. Dari desa pesisir di sebuah kota kecil Jateng, begitu kurang lebih penulis menggambarkan, ia sejatinya bukan hanya pindah ke Jakarta. Yang esensial, dengan kesusastraan, ia memperoleh kemerdekaan.

 

Dalam pandangan saya pribadi, bukankah itu hal terpenting dalam kehidupan? Yakni kebebasan. Ajaib kalau orang merasa tidak mempunyai pilihan.

 

Pernah saya memberi tahu Mas Goen bahwa setiap kali lewat Batang, saya berhenti untuk cari duren di daerah Subah. Sambil menikmati duren, saya tanya si penjual, apakah kenal yang namanya Goenawan Mohamad. Rata-rata yang saya tanyai bingung.

 

Mas Goen tertawa mendengar penuturan saya.

 

”A stupid little town,” ucapnya saya ingat.

 

Pada saat mulai kuliah, saya bisa menebak-nebak dari mana kira-kira Potret Seorang Penyair Muda menemukan sumber ekspresinya. Siapa pun yang menggulati sastra niscaya membaca novel penulis Irlandia, James Joyce, A Portrait of the Artist as a Young Man.

 

Begitulah kurang lebih sastra membentangkan cakrawala. Dari desa di pesisir utara Jawa kita dimungkinkan melihat kebangkitan intelektual pemuda bernama Stephen Dedalus di Irlandia.

 

Saya bersyukur sampai saat ini memiliki beberapa teman yang menggemari sastra. Beberapa jauh lebih muda daripada saya. Dengan mereka, saya tidak hanya berdiskusi, tetapi kadang juga bertengkar.

 

Penulis Linda Christanty berkomentar mengenai kebiasaan membaca bersama yang kini telah hilang. Sama-sama mempunyai pengalaman pernah tinggal di Aceh, ia mengingatkan bagaimana dulu di keude kopi orang membaca koran secara bergantian dan kemudian mendiskusikannya. Waktu itu, kalau ingin tahu pandangan politik orang Aceh, nongkrong-lah di keude kopi. Kopi pancung dan bada saya kenang sampai sekarang.

 

Dengan teman yang lain lagi, Joss Wibisono, kami cenderung akan bertengkar begitu saya menyebut nama Milan Kundera. Kami menjadi seperti partisan, berhadap-hadapan satu di belakang Kundera satu lagi di belakang Vaclav Havel.

 

Bedanya dengan dunia virtual yang dihidupi sebagian besar manusia saat ini, pertengkaran tadi tidak memisahkan kami, tetapi justru mempertemukan. Tidak membuat benci, tetapi kangen.

 

Kini, percepatan menggantikan segala-galanya, termasuk kecepatan tersulutnya emosi. Rasionalisme diganti emosionalisme.

 

Saya selalu diresahkan dengan percepatan. Gugup kalau melihat pengendara ngebut tak keruan. Percepatan bagi saya adalah akhir yang kian dekat. Percepatan digital saya khawatirkan mendekatkan kita pada akhir kemanusiaan, berakhirnya manusia sebagai gejala darah-daging-roh.

 

Sejarah ada dalam kita, begitu pandangan saya yang dipengaruhi oleh teks sastra. Sejarah saya adalah sejarah anak desa. Tidak up to date. Apa-apa serba pelan.

 

Saya mengemudikan kendaraan pelan-pelan, sesampainya.

 

Sambil berharap masa depan masih jauh, tahun depan bisa nyadran lagi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar