Minggu, 25 April 2021

 

Membangun Masyarakat Tangguh Bencana

Dwi Mukti Wibowo ;  Pemerhati Masalah Ekonomi dan Kemanusiaan; Kepala Biro Humas dan Kerjasama Universitas Muhammadiyah Bandung

KOMPAS, 24 April 2021

 

 

                                                           

”Jangan pernah menyerah, jangan bersedih dan berputus asa. Musibah dan bencana hanyalah bagian kecil dari perjalanan hidup yang panjang ini. Jadikan bencana sebagai pembelajaran penting yang bisa menjadikan manusia positif”.

 

Katap-kata bijak itu seperti hendak menyadarkan perilaku negatif manusia selama ini. Kita akui, telah lama manusia terbenam dalam egosentris yang mengklaim dirinya sebagai satu-satunya ”subyek hidup” di semesta ini.

 

Manusia mengeksploitasi alam menjadi ”perahan” bagi kepentingannya. Manusia tidak sadar jika alam yang selama ini dianggap sebagai obyek, di suatu hari kelak akan berbalik menyerang manusia. Alam yang seolah pasrah, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi bencana yang siap mengancam manusia.

 

Melalui bencana inilah alam ingin menunjukkan subyektivitas dirinya. Alam yang selalu ”ditindak” manusia berbalik menjadi subyek ”penindak” manusia. Inilah realitas bencana, yang terkadang membuat manusia tidak mau menerima kenyataannya.

 

Realitas bencana menimbulkan berbagai perspektif yang berbeda-beda, tergantung pada diri subyek/individu yang menafsirkan realitas. Menurut perspektif teologis, bencana gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami, misalnya, disebabkan oleh kemurkaan Tuhan. Manusia hanya memahami bencana sebagai musibah, ujian keimanan, teguran, dan azab.

 

Lain halnya apabila dipandang dari perspektif pebisnis. Ia justru berterima kasih kepada Tuhan. Meletusnya gunung dilihat sebagai peluang bisnis backhoe (tambang pasir), serta bagaimana topografi baru yang terbentuk dari letusan berpotensi menjadi obyek wisata baru.

 

Sementara perspektif seorang geolog memandang letusan gunung vulkanik sebagai fenomena alam biasa. Ketika magma terus mendesak kawah, akan semakin tipis lapisannya sehingga menimbulkan letusan.

 

Dalam perspektif ekologi, bencana dapat didefinisikan sebagai proses fenomena alam yang terjadi dalam kerangka kausalitas ilmiah. Pertanyaannya, mengapa Indonesia sering dilanda bencana? Sebab, lokasi negara Indonesia berada di wilayah ring of fire dan lokasi tumbukan tiga lempeng benua. Kondisi ini menjadikan wilayah kepulauan Indonesia rentan terhadap gempa bumi.

 

Akibat kondisi ini, Indonesia selalu mengalami rentetan berbagai bencana alam yang menimbulkan korban jiwa, kerugian material, hingga kerusakan jaringan infrastruktur. Bagi yang berpikir positif, bencana yang terjadi di Tanah Air akhir-akhir ini semakin mempertebal keyakinan jika bencana sewaktu-waktu dapat terjadi.

 

Masyarakat harus siap siaga terhadap bencana, dan mulai memahami pentingnya perencanaan menghadapi bencana, termasuk mendorong penerapan iptek multidisipliner dalam merespons kondisi geografis cincin api Pasifik.

 

Asal bencana

 

Bencana alam yang terjadi di Indonesia berasal dari alam murni dan karena ulah manusia. Contoh bencana alam murni seperti gunung meletus, tsunami, dan gempa. Bencana alam akibat campur tangan manusia adalah banjir, kebakaran, dan tanah longsor.

 

Bencana alam murni merupakan peristiwa yang mengikuti hukum alam, yang sulit diperkirakan dan sulit dihindari. Manusia tidak berdaya menghindar karena melampaui jangkauan kemampuannya. Manusia hanya mampu mengurangi dampak buruknya ketika bencana terjadi.

 

Bencana alam karena ulah manusia kini lebih sering terjadi karena penebangan kayu sembarangan, atau pembangunan perumahan di daerah resapan air, sehingga hutan menjadi gundul dan tidak mampu menyerap air.

 

Itulah konsekuensi perbuatan manusia terhadap alam sehingga atas kejadian ini manusia harus mulai mengubah perilakunya agar lebih menjaga dan memelihara keseimbangan alam, serta mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan.

 

Mengatasi bencana

 

Alam mampu melakukan proses evolusi dan kembali ke titik awal. Adapun yang harus dilakukan manusia adalah menjaga keseimbangan alam dan beradaptasi. Tindakan adaptasi dapat diawali dengan membangun perspektif yang bersifat transformatif, yaitu memahami bencana sebagai fakta yang dialami masyarakat sehingga perlu memiliki kemampuan menghadapinya.

 

Bencana alam menjadi sumber bagi manusia untuk belajar dan berbenah serta melakukan refleksi. Penanggulangan bencana diupayakan secara kolektif. Setiap individu memiliki tanggung jawab sosial termasuk menjaga properti yang digunakan untuk memprediksi bencana.

 

Aparatur negara dituntut berperan menangani bencana dan memberi peringatan dini jika terjadi bencana alam. Dalam hubungan antarmanusia, bencana alam telah mengasah empati kita terhadap penderitaan korban, mengingatkan diri sendiri untuk tanggap terhadap bencana alam. Masyarakat dan pemerintah dituntut berkolaborasi untuk selalu siaga dan sigap bergerak saat pascabencana.

 

Hampir semua manusia paham tentang apa yang dimaksud ”bencana”. Namun, bencana menjadi sulit dipahami dalam konteks manusia yang sedang menghadapinya karena mengalami kepanikan. Bencana menjadi sesuatu yang asing dan merusak, dipandang sebagai sisi buruk dari kenyataan yang dihadapi manusia. Itu sebabnya manusia berusaha menghindari bencana. Meskipun bencana kerap kali juga menjadi lahan perebutan kepentingan berbagai pihak. Aji mumpung.

 

Oliver-Smith (1996) menjelaskan bahwa pada situasi bencana masyarakat diuji ketahanannya beradaptasi dengan perubahan mendadak akibat kehancuran ruang-ruang fisik itu. Bencana alam juga menyebabkan perilaku masyarakat berubah.

 

Hal ini juga diungkapkan Abdullah (2008), bahwa bencana bisa memperkuat solidaritas, tetapi juga konflik dalam masyarakat. Bencana alam terkadang membongkar permasalahan yang selama ini terpendam dalam masyarakat, dan terkadang masyarakat sudah terlatih menyelesaikannya.

 

Bukan hanya sekadar pengetahuan, semua pihak terkait perlu menjalin komunikasi agar saling memahami, terutama saat menyusun program, prioritas, dan strategi implementasi pengelolaan suatu ancaman bencana berkelanjutan. Strategi ini harus menjadi acuan menghadapi ancaman bencana dalam kehidupan sehari-hari.

 

Manajemen dan mitigasi bencana

 

Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, manajemen bencana meliputi manajemen risiko bencana yang terdiri dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, dan peringatan dini. Adapun manajemen kedaruratan terdiri dari tanggap darurat dan bantuan darurat. Serta manajemen pemulihan berupa pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

 

Sementara itu, mitigasi bencana dimulai dari tahap awal penanggulangan bencana (prabencana) dari pendekatan struktural melalui pembangunan prasarana fisik dan pemanfaatan teknologi, hingga pendekatan nonstruktural melalui pembuatan kebijakan atau peraturan tertentu.

 

Dalam upaya mitigasi bencana diperlukan prinsip memahami bencana yang dapat diprediksi secara alamiah dan saling berkaitan antara satu bencana dan bencana lainnya sehingga perlu dievaluasi terus-menerus. Aparat pemerintah dan masyarakat mempunyai persepsi sama dalam mengantisipasi dan meminimalkan dampak bencana.

 

Masyarakat tangguh bencana

 

Mewujudkan masyarakat tangguh bencana harus melibatkan perempuan dan penyandang disabilitas dengan memberikan kesetaraan jender dan akses, serta peluang yang sama. Perempuan diposisikan sebaga subyek dalam penanggulangan bencana pada fase prabencana, tanggap darurat, ataupun pascabencana. Peran perempuan bersifat strategis, perlu dilibatkan dalam merumuskan kebijakan sistem manajemen bencana alam.

 

Kita sadar, kita tinggal dan bermukim di lingkungan lokasi berisiko tinggi. Berbagai bencana alam yang sering terjadi harus dipahami sebagai certain factor. Sebuah keniscayaan yang sudah pasti sehingga mengharuskan kesiapan kita jika suatu saat terjadi.

 

Persoalannya, apakah pemahaman dan pengetahuan komunal masyarakat sudah mencukupi saat bencana alam terjadi? Atau sebaliknya, masyarakat masih ”berlindung” dalam alam pikiran bahwa bencana adalah ”ajang penghakiman” dan ”turunnya azab” Tuhan akibat dosa dan kesalahan manusia yang terjadi di dunia?

 

Dr Bilal Philips pernah menyatakan, ”Ingatlah bahwa sebuah musibah yang membawamu makin dekat kepada Allah itu lebih baik daripada nikmat yang membuatmu makin menjauh dari Allah.” Musibah tercipta bersamaan dengan jalan keluarnya. Jadi, jangan fokus pada cobaannya, tetapi fokuslah pada jalan keluarnya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar