Membangun
Masyarakat Tangguh Bencana Dwi Mukti Wibowo ; Pemerhati Masalah
Ekonomi dan Kemanusiaan; Kepala Biro Humas dan Kerjasama Universitas
Muhammadiyah Bandung |
KOMPAS, 24 April 2021
”Jangan
pernah menyerah, jangan bersedih dan berputus asa. Musibah dan bencana
hanyalah bagian kecil dari perjalanan hidup yang panjang ini. Jadikan bencana
sebagai pembelajaran penting yang bisa menjadikan manusia positif”. Katap-kata bijak itu seperti hendak
menyadarkan perilaku negatif manusia selama ini. Kita akui, telah lama
manusia terbenam dalam egosentris yang mengklaim dirinya sebagai satu-satunya
”subyek hidup” di semesta ini. Manusia mengeksploitasi alam menjadi
”perahan” bagi kepentingannya. Manusia tidak sadar jika alam yang selama ini
dianggap sebagai obyek, di suatu hari kelak akan berbalik menyerang manusia.
Alam yang seolah pasrah, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi bencana yang
siap mengancam manusia. Melalui bencana inilah alam ingin
menunjukkan subyektivitas dirinya. Alam yang selalu ”ditindak” manusia
berbalik menjadi subyek ”penindak” manusia. Inilah realitas bencana, yang
terkadang membuat manusia tidak mau menerima kenyataannya. Realitas bencana menimbulkan berbagai perspektif
yang berbeda-beda, tergantung pada diri subyek/individu yang menafsirkan
realitas. Menurut perspektif teologis, bencana gunung meletus, gempa bumi,
dan tsunami, misalnya, disebabkan oleh kemurkaan Tuhan. Manusia hanya
memahami bencana sebagai musibah, ujian keimanan, teguran, dan azab. Lain halnya apabila dipandang dari
perspektif pebisnis. Ia justru berterima kasih kepada Tuhan. Meletusnya
gunung dilihat sebagai peluang bisnis backhoe (tambang pasir), serta
bagaimana topografi baru yang terbentuk dari letusan berpotensi menjadi obyek
wisata baru. Sementara perspektif seorang geolog
memandang letusan gunung vulkanik sebagai fenomena alam biasa. Ketika magma
terus mendesak kawah, akan semakin tipis lapisannya sehingga menimbulkan
letusan. Dalam perspektif ekologi, bencana dapat
didefinisikan sebagai proses fenomena alam yang terjadi dalam kerangka
kausalitas ilmiah. Pertanyaannya, mengapa Indonesia sering dilanda bencana?
Sebab, lokasi negara Indonesia berada di wilayah ring of fire dan lokasi tumbukan
tiga lempeng benua. Kondisi ini menjadikan wilayah kepulauan Indonesia rentan
terhadap gempa bumi. Akibat kondisi ini, Indonesia selalu
mengalami rentetan berbagai bencana alam yang menimbulkan korban jiwa,
kerugian material, hingga kerusakan jaringan infrastruktur. Bagi yang
berpikir positif, bencana yang terjadi di Tanah Air akhir-akhir ini semakin
mempertebal keyakinan jika bencana sewaktu-waktu dapat terjadi. Masyarakat harus siap siaga terhadap
bencana, dan mulai memahami pentingnya perencanaan menghadapi bencana,
termasuk mendorong penerapan iptek multidisipliner dalam merespons kondisi
geografis cincin api Pasifik. Asal
bencana Bencana alam yang terjadi di Indonesia
berasal dari alam murni dan karena ulah manusia. Contoh bencana alam murni seperti
gunung meletus, tsunami, dan gempa. Bencana alam akibat campur tangan manusia
adalah banjir, kebakaran, dan tanah longsor. Bencana alam murni merupakan peristiwa yang
mengikuti hukum alam, yang sulit diperkirakan dan sulit dihindari. Manusia
tidak berdaya menghindar karena melampaui jangkauan kemampuannya. Manusia
hanya mampu mengurangi dampak buruknya ketika bencana terjadi. Bencana alam karena ulah manusia kini lebih
sering terjadi karena penebangan kayu sembarangan, atau pembangunan perumahan
di daerah resapan air, sehingga hutan menjadi gundul dan tidak mampu menyerap
air. Itulah konsekuensi perbuatan manusia
terhadap alam sehingga atas kejadian ini manusia harus mulai mengubah
perilakunya agar lebih menjaga dan memelihara keseimbangan alam, serta
mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan. Mengatasi
bencana Alam mampu melakukan proses evolusi dan
kembali ke titik awal. Adapun yang harus dilakukan manusia adalah menjaga
keseimbangan alam dan beradaptasi. Tindakan adaptasi dapat diawali dengan membangun
perspektif yang bersifat transformatif, yaitu memahami bencana sebagai fakta
yang dialami masyarakat sehingga perlu memiliki kemampuan menghadapinya. Bencana alam menjadi sumber bagi manusia
untuk belajar dan berbenah serta melakukan refleksi. Penanggulangan bencana
diupayakan secara kolektif. Setiap individu memiliki tanggung jawab sosial
termasuk menjaga properti yang digunakan untuk memprediksi bencana. Aparatur negara dituntut berperan menangani
bencana dan memberi peringatan dini jika terjadi bencana alam. Dalam hubungan
antarmanusia, bencana alam telah mengasah empati kita terhadap penderitaan
korban, mengingatkan diri sendiri untuk tanggap terhadap bencana alam.
Masyarakat dan pemerintah dituntut berkolaborasi untuk selalu siaga dan sigap
bergerak saat pascabencana. Hampir semua manusia paham tentang apa yang
dimaksud ”bencana”. Namun, bencana menjadi sulit dipahami dalam konteks
manusia yang sedang menghadapinya karena mengalami kepanikan. Bencana menjadi
sesuatu yang asing dan merusak, dipandang sebagai sisi buruk dari kenyataan
yang dihadapi manusia. Itu sebabnya manusia berusaha menghindari bencana.
Meskipun bencana kerap kali juga menjadi lahan perebutan kepentingan berbagai
pihak. Aji mumpung. Oliver-Smith (1996) menjelaskan bahwa pada
situasi bencana masyarakat diuji ketahanannya beradaptasi dengan perubahan
mendadak akibat kehancuran ruang-ruang fisik itu. Bencana alam juga
menyebabkan perilaku masyarakat berubah. Hal ini juga diungkapkan Abdullah (2008),
bahwa bencana bisa memperkuat solidaritas, tetapi juga konflik dalam
masyarakat. Bencana alam terkadang membongkar permasalahan yang selama ini
terpendam dalam masyarakat, dan terkadang masyarakat sudah terlatih
menyelesaikannya. Bukan hanya sekadar pengetahuan, semua
pihak terkait perlu menjalin komunikasi agar saling memahami, terutama saat
menyusun program, prioritas, dan strategi implementasi pengelolaan suatu
ancaman bencana berkelanjutan. Strategi ini harus menjadi acuan menghadapi
ancaman bencana dalam kehidupan sehari-hari. Manajemen
dan mitigasi bencana Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, manajemen bencana meliputi manajemen risiko
bencana yang terdiri dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, dan peringatan
dini. Adapun manajemen kedaruratan terdiri dari tanggap darurat dan bantuan
darurat. Serta manajemen pemulihan berupa pemulihan, rehabilitasi, dan
rekonstruksi. Sementara itu, mitigasi bencana dimulai
dari tahap awal penanggulangan bencana (prabencana) dari pendekatan
struktural melalui pembangunan prasarana fisik dan pemanfaatan teknologi,
hingga pendekatan nonstruktural melalui pembuatan kebijakan atau peraturan
tertentu. Dalam upaya mitigasi bencana diperlukan
prinsip memahami bencana yang dapat diprediksi secara alamiah dan saling
berkaitan antara satu bencana dan bencana lainnya sehingga perlu dievaluasi
terus-menerus. Aparat pemerintah dan masyarakat mempunyai persepsi sama dalam
mengantisipasi dan meminimalkan dampak bencana. Masyarakat
tangguh bencana Mewujudkan masyarakat tangguh bencana harus
melibatkan perempuan dan penyandang disabilitas dengan memberikan kesetaraan
jender dan akses, serta peluang yang sama. Perempuan diposisikan sebaga
subyek dalam penanggulangan bencana pada fase prabencana, tanggap darurat,
ataupun pascabencana. Peran perempuan bersifat strategis, perlu dilibatkan
dalam merumuskan kebijakan sistem manajemen bencana alam. Kita sadar, kita tinggal dan bermukim di
lingkungan lokasi berisiko tinggi. Berbagai bencana alam yang sering terjadi
harus dipahami sebagai certain factor. Sebuah keniscayaan yang sudah pasti
sehingga mengharuskan kesiapan kita jika suatu saat terjadi. Persoalannya, apakah pemahaman dan
pengetahuan komunal masyarakat sudah mencukupi saat bencana alam terjadi?
Atau sebaliknya, masyarakat masih ”berlindung” dalam alam pikiran bahwa
bencana adalah ”ajang penghakiman” dan ”turunnya azab” Tuhan akibat dosa dan
kesalahan manusia yang terjadi di dunia? Dr Bilal Philips pernah menyatakan,
”Ingatlah bahwa sebuah musibah yang membawamu makin dekat kepada Allah itu
lebih baik daripada nikmat yang membuatmu makin menjauh dari Allah.” Musibah
tercipta bersamaan dengan jalan keluarnya. Jadi, jangan fokus pada cobaannya,
tetapi fokuslah pada jalan keluarnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar