Memperdebatkan
Tuhan Dalam Ruang Immanent Kang Warsa ; Staf Wakil Wali Kota Sukabumi |
WATYUTINK,
27 April
2021
Armstrong dalam buku Masa
Depan Tuhan menuliskan satu kalimat sederhana: Kita terlalu sering membahas
Tuhan dengan pikiran dangkal. Maksud utama dari kalimat itu adalah pembahasan
tentang Tuhan akan terus dilakukan oleh manusia, akan terjadi pengulangan,
perdebatan, dan percekcokan.
Fenomena ini telah terjadi
sejak ribuan tahun lalu. Hebatnya pembahasan ini bukan hanya terjadi dalam
sejarah Barat dari sejak mula pencarian Tuhan hingga meninggalkannya kembali
karena manusia telah merasa cukup sebagai manusia (antrophosentris). Demikian
juga dalam dunia Islam, ilmu Tauhid disebut ilmu kalam (perbincangan) salah
satunya disebabkan oleh hal ini.
Perdebatan tentang Tuhan ini
terjadi disebabkan oleh cara manusia yang sering berpikir dengan membatasi
kemahakuasaan Tuhan oleh rasionalitasnya sendiri. Hal lain yang menjadi
penyebab pengulangan wacana ini yaitu: proyeksi Tuhan yang sering dihadirkan
dalam pikiran manusia, menyejajarkan apa yang berlaku bagi manusia tidak jauh
berbeda dengan apa yang terjadi dengan Tuhan sendiri. Pemberian atribusi-atribusi
kemanusiaan kepada Tuhan-lah yang menyebabkan perdebatan panjang tentang-Nya.
Tampak berbeda dengan para
nabi, filsuf, dan sufi-sufi terdahulu. Dalam mencerna keberadaan Tuhan, mereka
memiliki pikiran sederhana: yakini saja Tuhan itu ada. Dalam kisah Nabi Musa
dan Bani Israil, Musa telah mencapai konklusi tentang keyakinannya kepada Yang
Tunggal, tidak terjangkau oleh rasio, jauh dari pikiran manusia. Bani Israil
kemudian mendesak Musa untuk membuktikan jika Tuhan itu memang ada dan tentu saja
karena pandangan bangsa Yahudi ini menitikberatkan pada hetnoteisme: maka Tuhan
dihadirkan dan dipinta oleh mereka agar berpihak kepada kelompoknya saja.
Saat wabah melanda Mesir,
Ramses II berkata kepada Musa, saudara angkatnya, "inikah hasil kerja Tuhanmu
yang telah memorakporandakan negeriku?" Hal senada pernah diucapkan oleh
Bani Israil sendiri ketika diperbudak oleh Firaun, mereka berkata: Dimana
Tuhanmu saat ini ketika kaumnya sendiri ditindas oleh musuh-musuhnya.
Muhammad SAW pun dicemooh
oleh penduduk Mekah ketika anaknya bernama Ibrahim meninggal dengan perkataan:
Kasihan sekali, Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya. Dalam beberapa kisah
disebutkan, meskipun sebagai seorang nabi namun sifat-sifat dasar sebagai
manusia, Muhammad SAW hampir terpengaruh oleh olok-olok seperti ini, selama
beberapa bulan wahyu tidak turun juga.
Ini memiliki kemiripan dengan Isa yang mengatakan: Eli.. Eli.. lamaa
sabakhtani? Tuhanku.. Tuhanku, mengapa Engkau meninggalkanku?
Dari belahan dunia kuno ini
melahirkan pandangan Tuhan yang berpihak dan Tuhan yang memusuhi manusia lain
sebagai ciptaannya. Dalam tradisi Biblikal malah disebutkan ketika Izebel istri
Ahab, raja yang semula patuh kepada Elia atau Ilyas , berkata dengan lantang:
Siapapun yang tidak meyakini Baal sebagai tuhan maka hunusan pedang menjadi
temannya. Bagi Izebel, Baal, tuan orang Samaria itu merupakan tuhan yang
sebenar-benarnya tuhan sementara Yahweh yang disembah oleh Bani Israil
merupakan tuhan palsu.
Di abad ke-8 SM ini, para
nabi bukan hanya mengaku-ngaku merupakan pelayan Tuhan, bahkan bagi tuhan-tuhan
yang diyakini oleh setiap suku pun memiliki nabi-nabinya tersendiri. Dalam satu
kota bisa ditemui hingga 200 orang yang mengaku dirinya sebagai utusan dari
tuhan-tuhan yang mereka yakini.
Pembahasan tentang Tuhan
sering menemui benturan dengan hakikat Tuhan itu sendiri. Banyak lahir paradoks
dan kontradiksi dimana-mana. Sebagai contoh: dalam Surat Al-Ikhlas telah
diyakini: tidak ada satupun yang setara dengan-Nya. Hanya saja manusia bahkan
diri kita sering jatuh ke dalam perangkap antrophomorfisme, memberikan atribusi
mahluk kepada Tuhan, bisa jadi hal seperti ini dilakukan agar keberadaan Tuhan
lebih bisa dijiwai dan lebih dekat
dengan manusia. Meskipun ayat ke-4 dari Surat Al-Ikhlas ini begitu sederhana,
jika Tuhan tidak setara dengan mahluk maka apa saja yang dimiliki oleh mahluk,
dirasakan oleh mahluk, nihil dari Tuhan.
Ockham merupakan seorang
penganut Kristen Ortodoks yang menjadi seorang deis, dia cukup meyakini Tuhan
itu ada. Tanpa basa-basi dan menghubung-hubungkannya dengan tafsiran apapun
yang dibuat oleh manusia. Bagi Ockham, Tuhan adalah, seperti dalam Inji; Aku
adalah Aku. Tuhan, sangat jauh dengan pikiran manusia tentang-Nya. Hanya saja,
pemikiran Ockham seperti itu pun berkontradiksi dengan kemahakuasaan-Nya
sendiri. Sangat paradoks ketika Tuhan Maha Kuasa lantas tetap dibatasi oleh
deisme tentang ketidakterikatan Tuhan oleh persoalan-persoalan dunia ini.
Ada cuplikan menarik dalam
film The Birth of Nation (2016), sebuah film yang mengisahkan upaya pembebasan
perbudakan oleh Nat Turner di Amerika. Nat telah diramalkan oleh cenayang asal
Afrika yang dijadikan budak di Amerika, kelak dia akan menjadi seorang pembebas
dan itu merupakan takdir yang telah menetap dalam diri Nat. Dalam kehidupan
sebagai budak, kusam, diperlakukan tidak manusiawi oleh warga kulit putih, Nat
tumbuh menjadi seorang pendeta. Derita yang dialami oleh warga kulit hitam
telah mengubah cara pandang Nat terhadap ayat-ayat dalam Bible. Bagi Nat,
ayat-ayat dalam Bible tentang keharusan para budak taat dan patuh pada tuannya
telah disalahgunakan oleh warga kulit putih untuk memperbudak warga kulit
hitam.
Nat melakukan
ceramah-ceramah sederhana tentang hal ini. Bagi Nat, ayat-ayat Tuhan yang
diperjualbelikan tersebut telah merusak pesan penting dalam Bible tentang
kasih. Dia termenung ketika istri Hark, saudaranya, sesama budak dipaksa untuk
memuaskan birahi seorang kulit putih. Satu sisi, warga kulit putih menggunakan
ayat-ayat dalam Bible tentang perbudakan, pada waktu yang bersamaan, Nat dan
para budak kulit hitam pun menggunakan ayat-ayat dalam Bible untuk menghapus
perbudakan. Hark bertanya kepada Nat saat kepedihan dialami olehnya: Dimanakah
Tuhan saat ini? Dia membiarkan hambanya dipaksa meladeni nafsu bejat manusia
serakah itu? Banyak sekali paradoks dan kontradiksi antara kenyataan yang
dialami oleh warga kulit hitam dengan apa yang sering diceramahkan oleh Nat
tentang Tuhan.
Leibniz sebenarnya telah
menguraikan persoalan ini dengan mengatakan: Tuhan bukan tukang servis jam yang selalu harus turun
tangan ketika ada kejadian-kejadian di dunia ini. Bagi seorang saintis dan
kosmolog lainnya, kesempurnaan Tuhan itu hadir dalam sistem yang telah
disematkan kepada alam ini dalam bentuk tetapan kosmik. Keberlangsungan
kehidupan ini merupakan sistem sangat sempurna yang telah diciptakan-Nya,
sehingga seorang Leibniz berani mengatakan: Tuhan bukan seorang tukang servis
jam!
Berbeda dengan Newton, dalam
Principia Matematica edisi ke-3, Newton kembali menghadirkan Tuhan dalam
karyanya tersebut. Ada alasan, menghadirkan Tuhan dalam karya tersebut sekadar
untuk menghibur temannya saja. Di kemudian, kehadiran Tuhan dalam buku ilmiah
ini dicemooh oleh Leibniz dengan kata-kata: O, sangat kasihan sekali tuhannya
tuan Newton ini, Dia harus selalu mengoreksi apa-apa yang ada di alam ini.
Ada lagi satu hal menarik,
tentang kemahabesaran Tuhan. Sebuah pertanyaan mungkin akan mengusik diri kita:
Apakah Tuhan dapat menciptakan sebuah batu yang besarnya lebih besar dari Tuhan
sendiri? Jika pertanyaan ini dijawab dengan sederhana maka akan menimbulkan
berbagai ketimpangan. Pertama, jika jawaban terhadap pertanyaan tadi adalah
"dapat", maka akan ada mahluk yang besarnya melebihi Tuhan. Kedua,
jika dijawab "tidak", justru akan menghilangkan kemahabesaran-Nya.
Penjabaran dari persoalan di
atas adalah: pertanyaan tersebut berada pada ranah immanent bukan pada
persoalan transenden. Berkutat pada dugaan besar yang bisa diukur oleh
penginderaan manusia. Dengan bahasa sederhana, maka dapat disimpulkan: manusia
terlalu sering memandang Tuhan dengan rasionalitasnya sendiri, hal inilah yang
telah melahirkan paradoks disana-sini. Karena Tuhan merupakan hal yang
transenden, maka Dia hanya akan mampu diserap oleh pendekatan transenden, bukan
dengan kegaduhan berdebat dan mempersoalkannya dengan pikiran dangkal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar