Rabu, 14 April 2021

 

Embargo Vaksin Covid-19

Tjandra Yoga Aditama ; Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi, Guru Besar FKUI, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara

                                                         KOMPAS, 14 April 2021

 

 

                                                           

Embargo vaksin Covid-19 dikabarkan akan memperlambat laju vaksinasi di negara kita pada bulan-bulan sekarang ini.

 

Ada empat sumber vaksin yang bisa didapat suatu negara. Pertama adalah dengan membelinya di pasar dunia, langsung ke produsen vaksin di beberapa negara. Kedua melalui kerja sama bilateral dengan salah satu negara produsen vaksin, yang kemudian akan dapat mengarahkan vaksin yang diproduksi di negara mereka.

 

Ketiga, melalui kerja sama multilateral dengan Covax Facility, suatu badan yang dibentuk bersama oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), GAVI the Vaccine Alliance, Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), dan juga Unicef. Sumber keempat tentunya adalah dengan membuat vaksin sendiri di dalam negeri.

 

Embargo dan sebab lain

 

Berita embargo sekarang ini dipicu oleh kebijakan India yang akan menggunakan vaksin AstraZeneca produksi mereka untuk kebutuhan dalam negerinya. Pada beberapa bulan sesudah pertengahan 2020, angka kasus baru Covid-19 di India hampir mencapai 100.000 orang dalam sehari.

 

Angka ini kemudian dapat ditekan dan di awal 2021 turun tajam sampai hanya angka beberapa ribu, tetapi dalam beberapa minggu ini naik pesat lagi sampai kembali menyentuh—dan bahkan lebih dari—100.000 orang sehari. Artinya, angka kasus baru yang tadinya tinggi lalu menjadi rendah dan naik tinggi kembali. Karena itu, Pemerintah India lalu berkonsentrasi penuh untuk meningkatkan jumlah orang yang divaksin di dalam negerinya walaupun sekarang mereka sudah berhasil memvaksinasi lebih dari 3 juta orang per hari.

Untuk meningkatkan lagi cakupan vaksinasi inilah, vaksin yang mereka produksi, yang tadinya akan dijual ke dunia, lalu mereka embargo dan tidak dikirim ke luar negeri, termasuk vaksin AstraZeneca, satu dari beberapa vaksin Covid-19 yang mereka produksi.

 

Kebijakan ini tentu berdampak luas ke dunia, termasuk ke Indonesia. Kita tadinya sudah ada komitmen untuk mendapat vaksin AstraZeneca dari Covax sekitar 11,7 juta dosis dan tahap pertama sudah terkirim 1,1 juta pada 8 Maret 2021. Sisanya menurut rencana akan dikirim pada bulan ini dan mendatang, dan pengiriman lanjutan inilah yang jadi terkendala karena embargo ini sehingga jumlah yang bisa divaksinasi jadi berkurang.

 

Sebenarnya, selain embargo, ada juga berbagai masalah lain dalam ketersediaan vaksin di dunia. Hal ini terutama karena produsen vaksin belum dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhan vaksinasi penduduk dunia, baik karena vaksinnya belum terlalu lama melalui hasil tahap awal uji klinis fase ketiganya maupun karena yang harus divaksin jumlahnya banyak sekali di semua negara di dunia.

 

Pada Januari 2021, misalnya, Uni Eropa pernah mengeluhkan keterlambatan pengiriman vaksin dari Pfizer dan AstraZeneca, tidak sesuai dengan kesepakatan yang sebelumnya sudah dibuat. Hal ini karena ada masalah dalam proses produksi vaksin itu. Kita sudah pernah membaca juga bahwa Italia, misalnya, pernah memblokir pengiriman vaksin ke Australia.

 

Di sisi lain, secara umum nasionalisme vaksin (vaccine nationalism), yang berarti tidak mau membagi vaksin ke negara lain, juga sudah banyak dibicarakan. Direktur Jenderal WHO mengeluarkan pernyataan bahwa vaccine nationalism harms every one and protect no one, yang secara harfiah artinya tak mungkin pandemi diselesaikan kalau hanya negara-negara tertentu yang rakyatnya divaksin, sementara rakyat negara lain tidak mendapat vaksin.

 

Pemimpin Bank Dunia juga mengatakan, untuk mengakhiri pandemi ini, semua negara harus mendapat vaksin. Sejumlah pemimpin dunia, termasuk G-20 dan tentunya juga Presiden Jokowi, sudah menyerukan perlunya pemerataan vaksin di dunia, tetapi pada kenyataannya hal itu belum terwujud dengan baik.

 

Artinya, baik karena embargo maupun karena sebab lain, ketersediaan vaksin di dunia—dan pada gilirannya di Indonesia—memang masih terbatas, dan ini sebenarnya sudah disadari sejak awal dan seyogianya sudah diantisipasi pula.

 

Yang mungkin dilakukan

 

Dalam menghadapi keterbatasan ketersediaan vaksin ini, ada lima hal yang dapat dipertimbangkan dan tentunya juga telah ada yang diupayakan. Pertama, terus meningkatkan diplomasi kesehatan global, baik dengan negara lain dalam kerangka bilateral maupun melalui badan internasional secara multilateral.

 

Kita tahu bahwa beberapa negara tadinya menyumbangkan vaksin ke negara lain dalam berbagai bentuk hubungan bilateralnya.

 

India, misalnya, pada Januari 2021 memberikan vaksin dengan mekanisme hibah (grant), dimulai kepada enam negara tetangga, yaitu Bhutan, Maladewa, Bangladesh, Nepal, Myanmar, dan Seychelles, hingga kemudian juga ke negara lain bahkan ke Amerika Latin.

 

Pada awal Februari 2021, Pemerintah China juga mengirimkan vaksin Sinopharm ke Pakistan dan 13 negara lainnya, termasuk Kamboja, Nepal, Sierra Leone, dan Zimbabwe. Pemerintah Rusia juga sudah pernah melakukan hal serupa dengan vaksin Sputnik mereka. Semuanya dalam kerangka ”diplomasi vaksin”.

 

Hal kedua, memperkuat negosiasi dengan berbagai produsen vaksin di dunia, yang jenis vaksinnya kini makin banyak. Sejauh ini sudah ada ketetapan bahwa akan ada tujuh jenis vaksin yang akan digunakan di Indonesia, tetapi hal ini tentu dapat diubah sesuai dengan perkembangan yang ada.

 

Sampai awal April 2021 sudah ada empat jenis vaksin yang dapat izin emergency use of listing (EUL) dari WHO, yaitu Pfizer, AstraZeneca yang diproduksi oleh Serum Institute India, AstraZeneca yang diproduksi oleh SK Bio Korea Selatan (yang sekarang dipakai di negara kita), dan vaksin Johnson & Johnson yang hanya satu kali suntikan.

 

Selain kedua hal itu, untuk mendatangkan vaksin dari luar negeri, hal ketiga sampai kelima berikut ini adalah apa yang bisa dilakukan di Tanah Air.

 

Hal ketiga adalah memprioritaskan vaksinasi yang ada pada mereka yang amat berisiko tinggi tertular penyakit, yaitu para lansia dan mereka yang memiliki penyakit penyerta atau komorbid. Program vaksinasi untuk lansia sudah dilaksanakan, tetapi dari berita di media kita ketahui cakupannya belumlah memuaskan.

 

Artinya, hal ini perlu digenjot maksimal. Orang yang punya penyakit penyerta juga perlu diprioritaskan karena mereka rentan menjadi sakit dan rentan pula sakitnya menjadi berat dan bahkan kematian.

 

Beberapa negara memasukkan semua orang berusia di atas 40 atau 45 tahun dengan komorbid sebagai prioritas utama juga untuk divaksin, sama seperti warga lansia.

 

Selanjutnya, hal keempat adalah mengatur prioritas vaksinasi terlebih dahulu pada daerah-daerah dengan risiko penularan yang lebih tinggi. Ini tentu akan amat bermanfaat untuk meredam meluasnya penyebaran penyakit di masyarakat.

 

Vaksin dalam negeri

 

Selain keempat hal di atas, upaya kelima tentu adalah membuat vaksin sendiri di dalam negeri. Harus diakui hal ini tentu bukan hal sederhana dan perlu dukungan finansial dan kebijakan publik yang baik. Para pakar kita punya kemampuan memadai untuk memproses pembuatan vaksin ini dan Bio Farma punya pengalaman panjang dan dikenal di dunia internasional sebagai produsen vaksin yang tepercaya. Tentu saja semua proses pembuatan vaksin harus memenuhi kaidah ilmu pengetahuan agar vaksin yang dihasilkan benar-benar aman dan bermutu.

 

Vaksinasi merupakan salah satu upaya penting untuk menanggulangi pandemi ini. Namun, sudah disadari bahwa upaya pencegahan melalui 3M dan upaya pengendalian melalui 3T juga harus dijalankan bersama-sama, tidak mungkin bergantung hanya pada vaksinasi. Di sisi lain, timbulnya mutasi dan varian baru juga harus diwaspadai dan diantisipasi sejak kini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar