Sabtu, 24 April 2021

 

Bumi dan Krisis Iklim

Khalisah Khalid  ; Koordinator Desk Politik Walhi

KOMPAS, 23 April 2021

 

 

                                                           

”Musim semi yang sunyi, burung-burung menghilang”. Sosok perempuan bernama Carson menuangkan kekhawatiran atas maraknya penggunaan bahan kimia untuk kebutuhan pangan yang berdampak buruk pada manusia dan makhluk hidup lainnya.

 

Silent Spring (1962), keresahan yang dituliskan menjadi pemicu lahirnya gerakan lingkungan hidup di berbagai belahan dunia. Jika tak ada keresahan Carson saat itu, mungkin penduduk bumi akan terus terlena dan seakan rumah huniannya dalam keadaan baik-baik saja.

 

Setelah lebih dari setengah abad berlalu, penduduk bumi dihadapkan pada satu kenyataan pahit saat bumi semakin meranggas. Bahkan, semakin hari, tingkat pencemaran dan penghancuran lingkungan hidup semakin tak terkendali.

 

Pandemi Covid-19 dan krisis iklim menjadi penyampai pesan pilu bagaimana pemimpin-pemimpin negara di dunia telah gagal menyelesaikan krisis global yang melanda dunia.

 

Alih-alih menyadari kekeliruan besar atas paradigma pembangunan global yang bertumpu pada jargon pertumbuhan ekonomi dan mengubahnya, penghancuran alam kian menggila. Mesin-mesin sistem ekonomi kapitalisme kian rakus mengeruk sumber daya alam (SDA).

 

Sasaran utamanya di belahan dunia yang memiliki SDA melimpah, dan elite politiknya menjadi pengikut utama atas paradigma pembangunan global, di mana alam ditempatkan sebagai komoditas untuk mengakumulasi profit. Perut bumi dikeruk, hutan ditebang, sungai dan laut dicemari. Ekosistem karst dan gambut disulap menopang industri ekstraktif, polusi terhirup masuk ke dalam paru-paru, menyesakkan dan mematikan.

 

Lingkungan hidup diabaikan, hak asasi manusia ditinggalkan. Profit di atas segalanya!

 

Hasilnya, bumi semakin rapuh. Kemampuan bumi merestorasi dirinya kalah cepat dibandingkan laju kecepatan penghancuran alam yang bergerak dari menit ke menit tanpa mengenal jeda. Pandemi tetap membuat mereka tak bergeming, dan bahkan jika mungkin seluruh isi bumi dikuras untuk makin menyelamatkan sistem kapitalisme ini dari ancaman kebangkrutan yang justru mereka ciptakan sendiri.

 

Di Indonesia, akselerasi mesin-mesin industri ekstraktif masuk melalui sidang-sidang pembahasan UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Penghancuran alam dilegitimasi oleh UU. Paradoks, karena setiap detik keselamatan rakyat berada di ujung tanduk dengan bencana ekologis, dan krisis iklim akan kian meningkatkan tingkat bencana itu.

 

Menguji komitmen

 

Harian Kompas telah mengingatkan memori kolektif kita bahwa siklon tropis yang terjadi di Provinsi NTT merupakan peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya, dan ke depan ancamannya semakin meningkat akibat pemanasan global.

 

BMKG juga telah mengingatkan bahwa siklon tropis menjadi ancaman bagi wilayah Indonesia ke depan sehingga langkah adaptasi dan mitigasi mendesak dilakukan. BNPB jauh sebelumnya telah mengeluarkan laporan, sebagian besar bencana yang terjadi di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi. Ironisnya, dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan pembangunan, laporan kedua institusi ini nyaris tak menjadi referensi utama oleh pemerintah dan parlemen.

 

Indonesia telah menyampaikan komitmen iklim global, bahkan Presiden sendiri yang langsung menyampaikannya dalam COP-21 Paris. Kebijakan NDC menetapkan target penurunan emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan kerja sama internasional pada 2030.

 

Sayangnya, kebijakan ekonomi dan pembangunan Indonesia setidaknya sejak Paris Agreement, semakin menjauh dari komitmen yang telah ditetapkannya sendiri. Langkah penurunan emisi yang dilakukan Indonesia masih jauh dari trayektori penurunan emisi global untuk mencapai target menahan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius.

 

Dalam analisis kesenjangan kebijakan iklim Indonesia dalam perspektif keadilan antargenerasi yang dilakukan Walhi (2020), disebutkan bahwa komitmen iklim Indonesia pada 2030 tak konsisten dalam menahan laju pemanasan global hingga di bawah 2 derajat celsius, apalagi hingga 1,5 derajat celsius sebagaimana disyaratkan di Paris Agreement.

 

Kajian ini juga menilai proyeksi pembangunan rendah karbon Indonesia mencerminkan bahwa Indonesia belum memiliki target puncak emisi. Emisi Indonesia hanya akan turun hingga 2030 dan akan terus meningkat secara signifikan, bahkan hingga tahun 2045.

 

Dokumen Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050, LTS-LCCR 2050) yang disusun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang menyebutkan bahwa untuk menjaga agar suhu bumi tidak naik melebihi 1,5 derajat celsius, pemerintah menargetkan netral karbon di 2070, mencerminkan lemahnya ambisi Pemerintah Indonesia untuk mencapai netral karbon (net zero emission) pada 2050.

 

Sebuah langkah mundur dan patut disesalkan. Terlebih karpet merah semakin dibentang panjang untuk polutan dengan dicoretnya fly ash dan bottom ash (FABA) serta limbah sawit dari kategori bahan beracun dan berbahaya (B3). Tanpa komitmen politik yang sungguh-sungguh, artinya pengurus negara membiarkan bumi dan warganya perlahan-lahan tenggelam.

 

Hari Bumi

 

Krisis iklim adalah kenyataan yang dihadapi seluruh makhluk bumi saat ini, dan kita harus menyadari sedang berada di planet yang kondisinya tak sedang baik-baik saja. Indonesia tak dalam situasi perang, tetapi kelambanan dalam adaptasi dan mitigasi bencana ekologis telah mengakibatkan 4.508.605 orang mengungsi sejak awal 2021.

 

Situasi ini harus ditangani dengan tindakan yang lebih sistematis dan struktural melalui kebijakan negara, tak hanya pendekatan teknokratik. Ancaman meningkatnya bencana karena krisis iklim harus jadi momentum bagi negara untuk melakukan koreksi mendasar atas paradigma ekonomi yang selalu menawarkan mitos pertumbuhan dan kesejahteraan.

 

Pemerintah Indonesia juga dipaksa meningkatkan ambisi dekarbonisasi dan memastikan pemenuhan terhadap hak-hak dasar masyarakat, terutama hak atas keselamatan dan kesehatan. Darurat iklim harus dideklarasikan oleh pengurus negara!

 

Namun, yang tidak kalah penting adalah bagaimana komunitas rakyat membangun kesadaran dan kekuatan politiknya secara kolektif, memperluas solidaritas dan soliditas gerakan penyelamatan bumi.

 

Kita telah menyaksikan bagaimana masyarakat adat, masyarakat lokal di pelosok desa dan kampung kota. Perempuan, laki-laki, tua muda menjaga dan menyelamatkan tanah, air, kehidupan, generasi yang akan datang. Merekalah sesungguhnya penyelamat iklim dan bumi. Selamat Hari Bumi! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar