Mati-matian
Hitung Kematian Iqbal Elyazar ; Eijkman-Oxford
Clinical Research Unit Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Kolaborator Saintis
LaporCOVID-19 |
KOMPAS, 24 April 2021
Setelah 400 hari dari orang pertama yang
diakui oleh pemerintah meninggal akibat Covid-19, Indonesia sudah mencatatkan
43.073 orang yang meninggal terkonfirmasi Covid-19. Hanya malaikat maut yang punya catatan
lengkap dan angka kematian sebenar-benarnya. Tugas ilmuwan di dunia adalah
menemukan dan menyampaikan kebenaran. Salah satu di antaranya, menurut saya,
adalah menghitung kematian dan mengungkap catatan yang disembunyikan oleh
sang malaikat maut. Angka kematian adalah salah satu indikator yang penting
menilai keparahan bencana. Kematian 560.000 orang di Amerika Serikat, 361.000
di Brasil, 210.000 di Meksiko dan 173.000 di India, menandakan hantaman
pandemi memang lebih parah jika dibandingkan dengan di Indonesia, atau
misalnya dengan China (hampir 5.000 orang) sekalipun. Tahun 2020 dan 2021 akan dikenang sebagai
tahun krisis kemanusiaan besar pertama di abad ke-21. Setelah abad lalu
dilanda pandemi Flu Spanyol (30 juta-50 juta kematian), Perang Dunia I (20
juta), dan Perang Dunia II (75 juta), kali ini, hampir tiga juta orang
dilaporkan meninggal akibat virus ini. Dahulu Kurt Tucholsky (1925) menyatakan
“Der Tod eines Menschen: das ist eine Katastrope, Hunderttausend Tote: das
ist eine Statistik!, yang artinya “kematian satu orang adalah bencana,
kematian ratusan ribu orang adalah statistik”. Ternyata. kutipan itu masih relevan setelah
hampir 100 tahun kemudian. Sebagian orang tidak lagi sensitif terhadap
angka-angka kematian. Sebagian orang tidak lagi gentar hatinya dengan risiko
terinfeksi, masuk rumah sakit, sesak napas dan lalu mati. Seolah-olah giliran
kematian akibat virus ini hanya mengancam orang lain tapi tidak dirinya.
Sungguh suatu pertaruhan yang besar. Kematian
bukan statistik belaka Frustrasi dengan kesimpangsiuran catatan
kematian menjadikan statistik kematian bersifat lebih pribadi untuk saya.
Setiap catatan kematian dikumpulkan menyimpan energi kehilangan dari keluarga
dan bangsa ini. Apabila ingin merasakan energi kehilangan
itu maka bukalah situs Pusara Digital LaporCovid-19 (www.nakes.laporcovid19.org).
Situs pertama di Indonesia, mungkin di dunia, yang didekasikan untuk
mengabadikan jejak perjuangan tenaga kesehatan selama krisis ini. Sampai 15
April 2021, tercatat kehilangan 884 tenaga kesehatan. Ribuan komentar rasanya
membuat setiap catatan kematian kembali bernyawa, terhormat, dan tidak
terlupakan. Statistik
kematian selama pandemi Menurut definisi Kementerian Kesehatan,
kematian akibat Covid-19 adalah kematian dari orang yang terkonfirmasi
Covid-19 atau memenuhi gambaran klinis dari Covid-19 jika belum diketahui
hasil status infeksinya (probable). Angka kematian Covid-19 tergantung sekali
kepada kapasitas pemeriksaan karena ada yang meninggal tanpa sempat
diperiksa, atau sudah diperiksa tapi belum diketahui status infeksinya. Ada juga
yang meninggal di rumah dan langsung dimakamkan. Ada keterbatasan dalam menghitung catatan
kematian Covid-19. Alternatif indikator yang digunakan adalah kematian
berlebih (excess death). Angka kematian berlebih adalah angka kematian di
masa pandemi yang lebih tinggi dibandingkan dengan masa-masa sebelum pandemi.
Kematian yang dihitung adalah untuk seluruh sebab kematian. Sumber data perhitungan kematian berlebih
dapat berasal dari berbagai sumber pencatatan, misalnya laporan akta kematian
dari otoritas kependudukan dan catatan sipil, laporan pemakaman dan kremasi
dari otoritas pemakaman, atau laporan kematian di fasilitas kesehatan. Sumber data kematian ini bervariasi metode
dan kualitas pencatatannya. Walaupun demikian, setidaknya, indikator ini
dapat digunakan sebagai indikasi tingkat keparahan suatu wilayah. Dapat juga
digunakan untuk perbandingan sepanjang disebutkan perbedaan metodologi dan
kualitas pencatatan kematian. Artikel kali ini penulis fokus kepada
pencatatan kematian oleh otoritas kependudukan. Kebijakan
pencatatan kematian Pencatatan kematian diatur dalam
Undang-Undang (UU) No 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan untuk
menjamin ketertiban administrasi kependudukan, perlindungan dan pengakuan
status pribadi dan status hukum atas peristiwa penting dan peristiwa
kependudukan yang dialami Warga Negara Indonesia (WNI). Menurut UU ini, kematian merupakan
"Peristiwa Penting" dan "Peristiwa Kependudukan".
Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami seseorang, misalnya, kejadian
kelahiran dan kematian. Sedangkan Peristiwa Kependudukan adalah kejadian yang
dialami seseorang dan harus dilaporkan karena berakibat terhadap penerbitan
atau perubahan Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan atau surat keterangan
kependudukan lainnya. UU ini jelas menyatakan pencatatan kematian
merupakan dokumen penting sebagai bukti pengakuan negara terhadap warganya. Mekanisme pelaporan kematian di Indonesia
bersifat pasif. Dalam UU No 24 Tahun 2013 kewajiban pelaporan dibebankan
kepada ketua rukun tetangga (RT) di daerah domisili dari orang yang
meninggal. UU No 23 Tahun 2006 sebelumnya mewajibkan setiap keluarga atau
yang mewakili. Setiap kematian dilaporkan kepada instansi
pelaksana pencatatan sipil, paling lambat 30 hari sejak tanggal kematian,
berjenjang mulai dari rukun arga (RW), kelurahan/desa dan kecamatan. Setiap
penduduk dapat dikenakan sanksi administratif apabila melampui batas waktu
pelaporan sebesar maksimal satu juta rupiah. Pelaporan setiap kematian harus menyertakan
Surat Keterangan Kematian dari pihak yang berwenang seperti kepala rumah
sakit, dokter, paramedis, kepala desa/kelurahan atau Kepolisian. Surat
Keterangan Kematian memuat variabel penting seperti tanggal kematian dan
sebab kematian. Berdasarkan Surat Keterangan Kematian, Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota mencatat dan menerbitkan Akta Kematian paling
lambat tiga hari. Realita
pencatatan kematian Diperkirakan 1,6 juta orang Indonesia
meninggal setiap tahunnya dengan berbagai sebab kematian (Institute for
Health Metrics and Evaluation, 2019). Hasil riset berbagai institusi, sekitar
30-70 persen kejadian kematian luput dari sistem pencatatan kematian. Saya
berpendapat sepanjang pelaporan kematian hanya mengandalkan inisiatif dan
kesadaran perorangan, maka kelengkapan pencatatan tidak membaik. Belum pernah
ada laporan tentang pemberian sanksi administratif untuk terlambat lapor
kematian anggota keluarga. Sikap ketidakpedulian dan keengganan
anggota keluarga mungkin didorong oleh kurangnya pengetahuan tentang kegunaan
lain dari akta kematian (asuransi, dana pensiun dan warisan). Tapi yang sudah
pasti adalah tidak adanya tindakan tegas dan implementasi sanksi sebagai
konsekuensi bahwa akta kematian adalah dokumen penting untuk negara dan warga
negara. Reformasi teknologi pelaporan harus
dilakukan. Ketua RT harus didorong untuk melaporkan kematian warga dengan
perangkat teknologi. Dengan jumlah 30-50 KK per RT dan jumlah kematian per
tahun di RT biasanya tidak akan banyak, maka basis data dari RT dapat digunakan
sebagai pembanding atau validasi data kematian untuk sumber yang lain.
Kematian bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Sistem sekarang mungkin
melewatkan orang-orang yang meninggal di rumah dan tidak melaporkan
kematiannya. Kebijakan nasional mulai dari
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Surat Keputusan Menteri telah
diterbitkan mengatur registrasi, perekaman, perhitungan dan pelaporan
kematian. Namun yang hilang dalam berbagai aturan ini adalah integrasi dari
berbagai sumber rekaman data kematian. Rekaman data kematian dilakukan oleh banyak
instansi dan independen satu sama lain. Basis data kematian individu tidak
terhubung dengan basis data kematian di fasilitas kesehatan apalagi basis
data pemakaman. Tidak jelasnya institusi mana yang ditugaskan
mengintegrasikan data kematian ini. Setiap data individu harus punya nomor
identifikasi pribadi unik setiap individu. Nomor identifikasi unik ini lah
yang sebenarnya bisa digunakan untuk menyatukan beragam basis data. Setiap
anggota keluarga dibawah 17 tahun sebaiknya punya nomor identifikasi dan
kartu pengenal tersendiri. Segerakan
Master Data Kependudukan Nasional Mimpi besar dari UU Administrasi
Kependudukan adalah Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) dan database
kependudukan yang akurat. Database yang dimaksud adalah Master Data
Kependudukan Nasional yang isinya adalah seluruh WNI di mana variabelnya
minimal memuat data dari akta kelahiran dan akta kematian. Kemauan dan keputusan politik kepala
pemerintahan, menteri dalam negeri dan kepala daerah harus ada terlebih dulu.
Mimpi besar yang dulu pernah kandas disabotase pejabat dan pengusaha tamak,
mudah-mudahan tidak lagi jadi mimpi buruk yang berkepanjangan. Mudah-mudahan
Kementerian Dalam Negeri masih serius untuk menjadikan ini warisan pemerintahan
Presiden Jokowi dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Bisa lebih cepatkah?
● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar