Minggu, 25 April 2021

 

Universalisme Nasional Sang Garuda

Jean Couteau ;  Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu

KOMPAS, 25 April 2021

 

 

                                                           

Waktu saya masih baru tinggal di Indonesia dan mulai menguasai bahasanya, saya sering ’kesel’ mendengar setiap saat istilah ’bangsa’, ’Pancasila’ dan semboyan-semboyan terkait: saya masih bodoh. Maklum, saya lahir ketika horor-horor nasionalisme Perang Dunia Kedua masih hadir di benak lingkungan hidup keluarga saya.

 

Acuan pada bangsa, zaman itu, adalah sesuatu yang menakutkan dan saya belum tahu bahwa konsep nasionalisme Indonesia berbeda, bertujuan membangun ”kebersamaan” dalam negeri, bukan permusuhan terhadap orang luar. Alhasil, saya percaya bahwa prinsip-prinsip universalisme Perancis, bila ditegakkan, adalah cukup untuk menghasilkan dunia yang damai dan sejahtera. Kini saya menyadari bahwa lebih rumit dari itu. Khususnya di Indonesia. Mari kita lihat.

 

Apa prinsip-prinsip Revolusi Perancis yang diumumkan dengan sedemikian tegas bahwa meruntuhkan kerajaan dan kemudian menggoncangkan dunia: pertama soal hak asasi manusia, ”les droits de l’homme et du citoyen” (hak asasi manusia dan warga negara-1789). Kedua,  ”liberte, egalite, fraternite ou la mort” (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan atau maut -1793).

 

Prinsip itu baik, kan. Namun, hemat saya, ada kelemahannya. Ide-ide revolusi itu berhadapan langsung dan secara mutlak dengan realita sosial. Realita ditolak atas nama ideal. Akibatnya, begitu prinsip luhur kemanusiaan itu diumumkan, hasilnya bertolak belakang dengan niatnya semula. Bukanlah HAM yang berlaku, tetapi kekerasan.

 

Mulai waktu revolusi Perancis itu sendiri, dengan guillotine. Diteruskan dengan demam nasionalisme keras dan kolonialisme yang merajalela selama lebih dari 150 tahun dan memuncak ketika kesetaraan sosial hendak diterapkan dengan paksa di Uni Soviet dan dunia pasca-1917.

 

Jadi, betapapun indah gagasan ciptaan Pencerahan abad ke-18 ini, idealisme universalis itu cenderung bermuara pada teror.

 

Bagaimana itu ditanggapi di Indonesia. Itulah yang menarik, karena geniusnya Soekarno dengan angan-angan khas Indonesia miliknya. Dia tahu sedari kecil bahwa di negeri Nusantara ini yang penting bukanlah kekuatan definisi ketat suatu ide atau ”konsep”, melainkan ruang imajiner yang dilahirkannya.

 

Dia tidak keliru. Di Indonesia, agar suatu ide dirangkul umum, bukanlah logika yang diandalkan, tetapi simbol penyertanya. Rasa adalah lebih unggul daripada intelektualitas. Pemahaman dari pengertian. Daripada menyatakan, lebih baik mengungkap; daripada menyuruh, mengimbau. Indonesia bukan tanah Descartes, dan tidak ada salahnya.

 

Soekarno mafhum terhadap nilai-nilai pencerahan dan Revolusi Perancis di atas. Dia meraih pendidikan insinyurnya di dalam suasana di mana angan-angan revolusi itu dirangkul oleh semua aktivis kemerdekaan. Dia juga mendukung perjuangan untuk mencapai keadilan sosial.

 

Namun, ada sesuatu yang selalu dia sadari: bagi orang Indonesia yang tengah disadarkannya menjadi bangsa ini, ideal normatif abstrak tidaklah cukup. Harus dilokalkan, didagingkan di dalam rumusan yang mencerminkan pandangan dunia bangsa. Oleh karena itu, dia tidak sepenuhnya puas dengan tampilan Pancasila sebelum Pancasila itu dipatri di dalam narasi simbolis yang kuat.

 

Di mana Soekarno mendapat narasi itu? Pada cerita wayang yang diminatinya sedari kecil. Pada pakem sang Garuda yang berjuang melawan aneka raksasa dan makhluk menakutkan untuk akhirnya merebut air kehidupan abadi (amerta) di puncak Gunung Indrakila. Dengan amerta itu, Garuda lalu membebaskan ibunya dari ular-ular yang memperbudaknya.

 

Entah kapan, mengingat cerita itu, terlahirlah di benak Soekarno makna simbolis multitafsir yang dinanti-nantikannya: Garuda melambangkan bangsa yang berjuang demi meraih amerta kemerdekaan. Setelah tercapai, sang ibu, yaitu Pertiwi, terbebas dari ular-ular penjajahnya. Itulah pesan simbolis pertama. Selain itu, bila amerta merupakan keabadian bangsa Indonesia, keabadian tersebut hanya dapat terjamin bila bangsa bersatu di dalam kebinekaannya.

 

Oleh karena itu, dengan mengambarkan Garuda memegang erat-erat Bhinneka Tunggal Ika di cakarnya, tersampaikan syarat persatuan bangsa, dengan kelima prinsip Pancasila di dadanya, sebagai jantung hidupnya. Itulah pesan simbolis kedua.

 

Tidak mengherankan bila kini Sang Garuda hendak dijadikan pelindung istana negara oleh pematung Nyoman Nuarta. Dengan menaungi gedung istana negara, dia menerakan di dalam bentuk simbolis fisik keabadian Negara Indonesia di dalam kebinekaannya. Tentu, terlindungi di bawah sayapnya terdapat juga liberté, égalité, fraternité. Bukan lagi sebagai prinsip revolusioner, melainkan sebagai tawaran perilaku. Sebagai realita universalisme berakar lokal.

 

Bravo Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar