Misteri
Wajah Sang Pangeran Agus Dermawan T ; Kritikus dan penulis
buku-buku budaya dan seni |
KOMPAS, 25 April 2021
Setiap bulan Ramadhan bangsa Indonesia
selayaknya mengingat Pangeran Diponegoro. Lantaran pada Ramadhan 1830
Panglima Perang Jawa ini ditipu secara licik oleh Letnan Jenderal HM De Kock.
Caranya, Pangeran diajak bersilahturahmi oleh para petinggi pemerintah
Belanda di Magelang. Sekalian dengan merundingkan solusi mengakhiri perang
yang meletus hebat sejak 1825. Oleh karena niat itu diselenggarakan di
bulan suci, Pangeran bersedia memenuhi undangan. Namun ia diringkus oleh De
Kock di tengah “perundingan”. Pangeran Diponegoro lantas dipenjara sampai
wafatnya, 1855. Bersamaan dengan ingatan ihwal tabiat De
Kock, masyarakat Indonesia juga boleh tersadarkan bahwa selama ini wajah
Pangeran Diponegoro tidak pernah tergambarkan dengan jelas. De Stuers,
seorang perwira Hindia Belanda, memang pernah membuat sketsa Diponegoro.
Namun gambar itu sangat diragukan presisinya. Dengan begitu, wajah Diponegoro yang selama
ini muncul ke hadapan publik bisa dianggap sebagai interpretasi. Maka jangan
heran apabila wajah Diponegoro ternyata berbeda-beda dalam setiap penampilan.
Berikut adalah sejumlah cerita bagaimana wajah Diponegoro itu diciptakan oleh
para seniman dari zaman ke zaman. Dari
orangtua sampai Nyai Roro Kidul Pada 1947 Sudjono Abdullah melukis Pangeran
Diponegoro. Kakak pelukis sohor Basoeki Abdullah ini mengenal wajah Diponegoro
lewat gambar litografi. Gambar kecil itu sekali-sekali dipakai sebagai bahan
cerita sejarah ihwal kekuasaan kolonialis Hindia Belanda, kala Sudjono duduk
dibangku Hollandsch-Inlandsche School. Sudjono tak begitu saja mempercayai gambar
rekaan Belanda tersebut. Ia lantas mencari referensi lain, yang didapat dari
cerita ayah dan para sahabat ayahnya. Berdasarkan cerita itu ia menggubah
wajah Diponegoro. Dalam karyanya Diponegoro dilukiskan
sebagai lelaki kuat yang dipaksa menjadi tua oleh tekanan keadaan. Dalam
kanvasnya Pangeran digambarkan sedang marah, dengan bibir mengatup menahan
emosi. Matanya membelalak seolah ingin meluapkan rasa murka. Busananya hijau,
warna yang di kemudian hari dipakai sebagai warna khas dunia santri. Lukisan
setengah badan tersebut mencitrakan Pangeran sedang berdiri sigap sebagai
ratu adil dan pemimpin perang sabil, dengan keris Naga Siluman menyelip di
bawah dada. Di studio lain Harijadi Sumodidjojo
mencipta “Pangeran Ontowiryo“, yang tak lain adalah Diponegoro kala muda.
Dari mana Harijadi mendapat referensi wajah Pangeran? Agaknya : rahasia.
Beberapa teman yang terlibat dalam uji petik nominalisasi koleksi Istana
Presiden 2013 memberikan jawaban bergurau : dari wangsit, atau bisikan gaib.
Lha Diponegoro tua dan populer saja susah benar dicari rujukannya, apalagi
Diponegoro muda alias Ontowiryo! Pada suatu kali saya menanyakan soal
referensi wajah lukisan ini kepada keluarga Harijadi. Dua putrinya, Ireng
Lara Sari dan Saniputri menyatakan tidak tahu. Bahkan menurut mereka,
Harijadi tidak pernah bercerita bahwa dirinya pernah melukis Pangeran
Ontowiryo. Dari situ muncul dugaan bahwa lukisan
tersebut bukan karya serius Harijadi, meski hasilnya sungguh bagus. Dan wajah
Ontowiryo dalam lukisan diduga sebagai hasil rekaan dan imajinasi saja.
Apalagi ketika terlihat : tidak ada korelasi sama sekali garis wajah
Ontowiryo dengan (mitos) wajah Diponegoro tua, yang dikenalkan kepada umum
pada perempat abad 20. Pada 1949 Basoeki Abdullah melukis
“Pangeran Diponegoro Memimpin Perang”. Ia mengaku wajah pangeran di situ
adalah hasil “pandangan nyata” dia ketika berjumpa dengan Diponegoro di
Pantai Parangtiritis tahun 1933. Perjumpaan itu disponsori oleh Nyai Roro
Kidul, katanya. Nah, loe! Lantas, apakah Basoeki tidak mempercayai presisi
wajah Diponegoro yang pernah ia lihat di selembar litografi terbitan Belanda. “Hehehe. Vergeet dat soort foto’s gewoon!
(Lupakan saja gambar seperti itu!),” kata Basoeki. Menurutnya, para pelukis
Belanda suka bikin wajah tokoh sejalan dengan sosial politik mereka sendiri.
Walau itu sesungguhnya boleh-boleh saja. Oya, ketiga lukisan itu menjadi koleksi
Presiden Soekarno, dan kini menjadi hiasan penting Istana Presiden. Akurasi
gambar Jan Bik Pada perempat abad 20, salah satu (mungkin
hanya dari dua) gambar wajah Diponegoro yang beredar di komunitas Hindia
Belanda adalah karya Adrianus Johannes Bik, atau Jan Bik. Sangat bisa diduga,
gambar Bik itulah yang pernah dilihat oleh Sudjono Abdullah dan Basoeki
Abdullah. Lantas, siapakah Jan Bik? Jan Bik lahir di Dunkirk, Prancis 1790. Ia
adalah seorang hakim yang sangat gemar melukis. Untuk meluaskan obyek seni
lukisnya, Jan Bik merantau ke Hindia Belanda. Karena secara akademis
berpendidikan hukum, Jan Bik diangkat jadi hakim kota di Batavia. Meski di sela-sela
kesibukan mengurus perkara itu ia tetap saja melukis. Pada 1830 terjadi ribut-ribut di Magelang,
Jawa Tengah. Pangeran Diponegoro ditipu oleh Jenderal HM De Kock, untuk
kemudian ditangkap. Setelah melewati “proses hukum”, Diponegoro dibawa ke
Batavia, dan dimasukkan dalam kamar tahanan di Stadhuis, atau Balai Kota. Selama berada dalam penjara yang
berlangsung pada 11 April sampai 3 Mei 1830, Jan Bik diberi tugas mengawasi
Diponegoro. Melihat Pangeran yang legendaris itu, naluri kesenimanan Jan Bik
muncul. Ia lalu merekam wajah Diponegoro. Dalam gambar sang panglima perang
digambar sedang duduk. Pipinya cekung seperti orang sakit, matanya tenang,
agak lesu, dan menyiratkan asosiasi kalah. Dari sisi dokumentasi, gambar tersebut
sungguhlah penting. Mengingat pada waktu itu di Hindia Belanda belum ada
fotografi. Sementara Diponegoro sendiri adalah manusia yang pantang digambar.
Lalu gambar itu disimpan saja oleh Jan Bik sebagai dokumen semata. Jan Bik menyelesaikan tugasnya sebagai
hakim kota pada 1839. Sambil melukis Jan Bik menekuni bisnis perkebunan tebu,
sampai akhirnya kaya raya. Tahun 1847 ia kembali ke Eropa dan menetap di
Amsterdam. Gambar masih saja disimpan sebagai dokumen pribadi dan keluarga.
Baru ketika Jan Bik wafat pada 1872 gambar itu keluar, dan dihibahkan ke
Rjiksmuseum. Museum ini pada puluhan tahun kemudian mempublikasikan dalam
bentuk litografi sejarah. Pada 1975 Indonesia mengeluarkan uang
kertas pecahan 1000 rupiah, bergambar Pangeran Diponegoro. Busana di situ
mengacu kepada lukisan Jan Bik. Namun wajah sang pangeran sudah berbeda.
Agaknya Sadjiroen, perancang uang, yang kurang percaya dengan gambar versi
Jan Bik, mencipta wajah Diponegoro dengan imbuhan tafsirannya sendiri. Sementara pada 1857 Raden Saleh menggubah
lukisan “Penangkapan Diponegoro”. Dalam kanvasnya Diponegoro digambarkan
menurut versi tutur-tinular : berwajah orang Jawa yang berhati keras, nekat
dan bandel. Ini berbeda dengan yang tertuang dalam lukisan Nicolaas Pieneman,
“Diponegoro Menyerah”. Di situ jagoan tempur ini digambarkan seperti lelaki
kantoran, alusan, dan tidak biasa menembus hutan. Wajah Diponegoro memang misterius. Suatu
hal yang membuat para seniman yang ingin mengabadikannya harus kreatif,
sekaligus berhati-hati. Pada 1979 Teguh Karya membuat film “November 1828”
yang menceritakan kesewenang-wenangan Kapten van der Borst kepada
Kromoludiro, pada era perang Diponegoro. Dalam film itu Teguh sama sekali tidak
menghadirkan wajah Diponegoro. “Bagaimana saya menemukan pemainnya, apabila
saya sendiri tak pernah tahu jelas wajah ndoro Pangeran?!” alasan Teguh
Karya. Hendra Gunawan melukis “Pangeran Diponegoro
Terluka” pada 1982, dalam suasana kolosal. Seluruh bagian lukisan itu
berhasil diselesaikan selama beberapa minggu. Namun ada satu bagian yang tak
kunjung digarap, yakni wajah Diponegoro. Bahkan sampai ia wafat, wajah
Diponegoro dalam lukisan itu dibiarkan kosong melompong. “Saya bingung,
bagaimana wajah Diponegoro yang sebenarnya,” alasan Hendra. Lukisan yang
belum selesai itu menjadi koleksi Ir Ciputra. Pada Februari 2019 di Jogja Gallery,
Yogyakarta, digelar pameran Gambar Babad Diponegoro, karya puluhan seniman.
Sri Margana dan Mikke Susanto bertindak sebagai kurator. Unik tentu ketika
terlihat betapa wajah Diponegoro dalam pameran satu sama lain berbeda. “Saya
selalu sangsi untuk memastikan wajah Diponegoro yang asli,” kata F Sigit
Santoso, salah seorang peserta. Dalam kesangsian itu akhirnya Sigit melukis
Diponegoro dengan wajah Presiden Joko Widodo. Pada tengah April 2021 saya menerima
kiriman foto lewat whats app dari Galuh Taji Malela. pelukis ahli cat air
berprestasi internasional. Galuh mencipta lukisan berjudul “Firasat”, yang
menggambarkan Pangeran Diponegoro sedang tercenung, dengan lengan bersidekap,
dan mata melihat langit. Apabila diperhatikan, wajah Diponegoro yang
dilukiskan adalah “wajah terbaru” dari Pangeran. Karena Galuh sesungguhnya
memang sangsi dengan wajah Diponegoro yang disiarkan sebagai mitos. “Saya cari wajah yang berkarakter
ndiponengoro ke mana-mana. Muter-muter di Yogyakarta, tidak dapat. Eh,
ketemunya di Bandung. Dan wajah itu dimiliki oleh seorang tukang bakso,”
kisahnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar